7. Kutang Si Mbah

1404 Words
Prank Djatmiko setidaknya membuahkan hasil. Patri yang merasa tidak enak karena Janu sudah menjadi sasaran kebandelan anaknya terus-menerus  mulai melunak. Siapa yang menyangka jika hadiah beha berlanjut menjadi keduanya sering bertemu, berpacaran dan dengan penuh kesabaran, lima tahun kemudian akhirnya menikah. Jika ditelusuri, Janu harus berterima kasih kepada Djatmiko dan beha warna hitam pertama yang dibelinya.  Karena merekalah kini ia memiliki keluarga yang bahagia seperti yang diharapkannya. *** Kembali ke masa kini, Patri menatap Djatmiko dengan pandangan sedih. Pria itu sedang mengemasi barang-barang yang hendak di bawanya ke Bandung. Sesebal-sebalnya ia kepada Djatmiko, putranya itu adalah anak pertamanya. Satu-satunya anak laki-laki yang sudah pasti mendapatkan tempat paling spesial dalam hati Patri. Dua puluh enam tahun lamanya ia mengasuh Djatmiko. Mulai dari bayi hingga sekarang sudah sebesar onta, tentu saja kepergian Djatmiko akan membuatnya merasa kehilangan.   “Kamu mau berangkat nya kapan sih, Djat?” tanya Patri berjalan masuk ke dalam kamar. “Seminggu lagi, Bu. Nunung sudah belikan tiket kereta ke Bandung.” Patri mengerutkan keningnya. “Lha masih lama kok sudah berbenah dari sekarang?” tanya wanita itu. “Ya siap-siap, Bu. Biar tidak ada yang ketinggalan. Kan repot nanti kalau sudah jauh di Bandung, Djat perlu odol.” “Ya kan bisa aja beli di sana, Djat. Bandung kan Kota besar, apa juga ada di sana. Kamu bisa beli. Ngapain ini juga bawa odol satu lusin begini?” tanya Patri sambil mengangkat 12 biji odol dari koper Djatmiko. “Oh, iya juga ya. Hehe…,” cengir pria itu sambil memamerkan giginya yang walaupun melenting keluar tapi putih seputih su-su sapi dicampur bayclean. Patri mengusap rambut Djatmiko yang kasar dan tidak beraturan. “Nanti di sana, jaga diri ya, Le. Jangan bertingkah yang aneh-aneh dan bikin malu ibu bapak mu. Ingat ya, jangan menghamili anak orang—” “Ehhhh ibu. Ya kalo bukan anak orang masa Djat menghamili anak sapi sih.” PLAK! “Waduh!” teriak Djatmiko kesakitan. Tangan Patri yang tadi sedang mengelus mendadak mengemplang belakang kepala pemuda itu. “Diajak ngomong selalu jawab aja sih kamu! Ya tahu kan maksudnya ibu itu gimana. Jangan melakukan sesuatu yang kamu belum siap, Djat! Jangan jadi seperti bapak kandungmu. Bikin susah anak orang trus ngilang kayak ninja.” “Iya iya, Bu. Kan cuman becanda. Emang Ibu tau ninja itu yang macem gimana?” tanya Djatmiko. “Ya tahulah. Ibu kan juga nonton pelem kartun-kartun jepang itu. Ibu juga nonton itu… siapa itu namanya… yang rambutnya kuning kayak tumpeng… Naruko? Makuto? Kroto? Ah… Siapa lah itu…” “Naruto kali, Bu.” “Yah itu lah… Gini-gini ibukan masih berjiwa muda,” sombong Patri sambil membusungkan da-danya. “Weeehhh iya pastesan kerjaannya bikin anak terus sama bapak. Bleh!” Djatmiko mengeluarkan lidahnya memasang raut wajah jijik. Bayangan benda-benda yang melorot tidak pada tempatnya kembali menghantui benaknya. PLETOK! Kali ini Patri menggetok kepala anaknya dengan selusin dus odol yang ada di dekatnya. Cukup untuk membuyarkan bayangan Djatmiko dan mengagetkan beberapa kutu yang bersarang di rambut pemuda itu. “Astagah Ibuk! Bisa amnes Djatmiko di kemplangin terus kepalanya. Gak Nunung, gak Ibuk, seneng bener nyiksa Djatmiko sih. Lagian tenang saja, Bu….” Lanjut Djatmiko menenangkan ibunya. “Tujuan Djatmiko ke Bandung kan buat cari uang. Biar bisa keluar negri ketemu model-model cantik itu lho. Syukur-syukur nanti Djat bisa bawa pulang satu buat mantu, ibu apa gak seneng,” lanjut Djatmiko kembali nyengir hingga semakin mirip kuda. Mendengar jawaban anaknya yang luar biasa, Patri hanya bisa menarik nafas sambil menggeleng gelengkan kepala. Pasrah kemana nasib akan membawa anak sulungnya itu dan berharap yang terbaik untuknya. Beberapa hari berikutnya di gunakan Djatmiko untuk berpamit-pamitan. Dimulai dengan salah satu  lang-ganan yang sering menyewa jasa gerobak motornya untuk mengangkut barang belanjaan sepulang dari pasar. Pedagang nasi pecel yang cukup terkenal di kota Madiun, yang bernama Mbah Murni. Kepada Mbah Murni ini jugalah dulu ibu Djatmiko bekerja dan belajar meracik bumbu pecel. “Mbah, saya mau pamitan dulu ya,” ucap Djatmiko. Ia sedang mengendarai motor gerobaknya menuju warung Bu Murni yang baru pulang berbelanja. Wanita uzur 65 tahunan yang sedang duduk meringkuk disebelah kangkung dan bayem itu menoleh ke belakang. Kearah Djatmiko yang menyetir. Rambut Mbah Murni yang dikonde mentul-mentul setiap gerobak melewati jalanan tidak rata. “Heh? Pamit mau ke mana lho Djat?” tanya Si mbah kebingungan. “Saya mau ke Bandung, Mbah. Mengadu nasib.” Wanita itu menatap wajah Djatmiko tanpa berkedip. Mbah Murni yang memang sudah kenal Djatmiko sejak kecil merasa kaget dengan niat pria itu yang mendadak.   “Nasib kok diadu. Mending juga adu ayam, Djat,” celetuk Mbah Murni. “Lagian ngapain jauh jauh ke Bandung kalau mau merantau? Ke Solo aja kan bisa. Atau ke Surabaya.” “Kebetulan ada temen nawarin kerja, Mbah. Dia punya pabrik di Bandung soalnya.” “Wuih…kaya donk temen kamu. Pabrik apa?” “Eh… itu, anu…,” balas Djatmiko sambil senyam senyum. “Pabrik itu tuh… baju….” “Oh… kaos-kaos distro gitu ya? Mbah dengar Bandung memang gudangnya pakaian.” “Bukan kaos. Hehe… tapi pabrik kutang….” “Ya ampun, Djat!” seru Mbah Murni melotot. “Apa ngga ada dagangan lain gitu ya? Masa tampang model kaya kamu jualan kutang? Itu cantelan kutang nyangkut di gigimu tau rasa!” “Ya elah, Mbah Murni… kasi doa lah, biar sukses gitu.” Mbah Murni mengelus da-danya. Setelah ia bisa menenangkan kekagetannya, ia pun mengangguk. “Iya iya. Semoga sukses lah, Djat. Nanti kalau sudah sukses jangan lupa sama Mbah. Mampir ya ke warung kalau pulang Madiun.” “Pasti, Mbah. Pecel mana lagi yang terkenal paling enak se-Madiun, kalau bukan Pecel Murni,” puji Djatmiko membuat Mbah Murni makin mesam-mesem. “Gimana ibumu? Dia ngasih kamu pergi?” tanya Mbak Murni. “Iya lah, Mbah. Seneng malah. Jadi kan berkurang seorang buat diurusin.” “Jangan gitu, Djat. Gimanapun seorang ibu pasti sedih ditinggal anaknya. Apalagi anak pertama. Nah kalau udah yang tengah-tengah tuh… ilang juga mungkin ga kerasa. Siapa aja tuh nama adikmu yang kembar?” “Pingky, Pungki,” sahut Djatmiko. “Nah ya itu. Pingky, Pungki, dan seterusnya. Kalau gak pulang sehari juga mungkin ibu bapak mu gak sadar.” Obrolan terhenti begitu Djatmiko mulai mengerem karena sudah sampai di depan warung Si Mbah. Begitu motor berhenti sempurna, Djatmiko pun turun dari motor dan mulai mengangkati barang belanjaan yang ada di gerobaknya sementara Mbah murni ngesot turun dari atas gerobak. “Berapa, Djat?” tanya wanita itu setelah Djatmiko selesai menurunkan semua barang. “Biasa, Mbah. Dua puluh ribu saja.” Mbah Murni merogohkan tangannya masuk ke dalam baju motif batik solonya dan mulai mengaduk-aduk. Mata Djatmiko langsung melotot melihat ulah lang-ganan satunya itu. “Astagah, Mbah… Ngapain ngodok-ngodok gitu? Gatel?” “Hehh ini lagi nyari duit buat bayar. Bentar…bentar…” Wanita itu menarik keluar tangannya dari dalam baju. “Eh… Bukan, dink… Kunci,” ucapnya. Ia kembali menjulurkan tangannya masuk ke dalam dan merogoh. Ketika keluar tangannya menggenggam sesuatu tapi bukan uang. “Hm… Hape….” Kembali tangan itu masuk. “Lah Kartu kredit…?” Diikuti, “Sapu tangan…. Karet gelang…. Gunting….. minyak telon… sirih…. Loh kok bisa ada sisa rempeyek masuk ke dalem, ya?” Mbah Murni menggaruk-garuk kepalanya yang ubanan karena bingung. “Mbah!” samber Djatmiko. “Bawa apa aja sih di dalem beha? Kok mirip kantong doremon aja, segala ada?” “Ya tasku sobek, Djat. Jadi ya terpaksa semua masuk ke dalem beha. Lagian lebih aman kayak gini, kan. Gak ada yang bakal nge-begal,” celetuk Murni kembali mengaduk-aduk isi behanya. “Lah akhirnya! Dompet!” Mbah Murni menarik keluar kantong plastik berisi uang rupiahan itu dan menghitung isinya. “Nih tak lebihin ya. Dua puluh lima rebu, buat kamu jajan nanti di Bandung.” “Wuih… Asik. Makasih ya Mbah. Lumayan…” celetuk Djatmiko mengipas-ngipaskan lima lembar lima ribuan di depan hidung sambil menghirup aromanya dalam-dalam. Waduh! Serunya dalam hati sambil ngelirik ke arah Si Mbah yang sudah berjalan menjauh.  Uangnya asem. Bau kringet! NOTE: Dari Be Ha aku belajar bahwa nyimpen barang di kutang, baunya bakalan kecut~D.F.E Share ya kalian belajar apa dari Beha. Nanti aku Quote filosofi Be Ha kalian di catatan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD