9. Miko Aja

2456 Words
Perjalanan Madiun-Bandung baru jalan lima menit dan Nunung sudah mulai mengeluarkan nasi bungkus dari tasnya. “Mau?” tanya wanita berbadan bongsor itu sambil menyerahkan sebungkus kepada temannya. Djatmiko langsung menyambar bungkusan nasi dan membukanya. Seporsi nasi kucing lengkap dengan sate usus dan tempe penyet. Ah pas buat menemani dinginnya perjalanan, desah Djatmiko mengelus perutnya yang memang sudah keroncongan pake kendang. “Wuih… makasih, Nung. Terbaik deh kamu,” timpal Djatmiko sambil melirik lagi ke dalam tas temannya. “Ada ayam gorengnya gak?” “Udah dikasi malah ngelunjak ni orang! Udah makan aja. Diem!” bentak Nunung melotot macem jerawat yang udah mateng nunggu di pencet. Djatmiko langsung mengkerut sambil menyendokkan makanannya tanpa banyak protes lagi. Obrolan beralih menjadi tentang pekerjaan. Nunung memiliki rencana besar untuk pabrik yang baru di rintisnya. “Jadi nanti bagian penjualan bukan hanya kamu seorang ya, Mik,” celetuk Nunung menyuapkan sesendok kering tempe ke mulutnya. Gara-gara makan sambil ngomong, beberapa butir nasi yang beruntung, terbebas dari lahapan mulut godzila, dan melompat keluar lagi. Nemplok di rambut orang yang duduk di depan Nunung. Mengabaikan nasi-nasi yang berlarian, Nunung melanjutkan, “Ada dua orang lain di bagian sales. Dong dan Kuntol.” “Eh gimana?” celetuk Djatmiko sambil melotot. “Ngomong apaan? Kok tau-tau maki-maki sih?” “Maki-maki gimana?” “Lah itu tadi apaan?” “Apaan?” “Tiba-tiba kok ngomongin K*ntol” PLAK! Tangan Nunung langsung menampar pipi Djatmiko. “Apaan sih, Nung?! Udah maki-maki orang sekarang nampar-nampar. Situ kesurupan apa gimana sih?” gerutu Djatmiko mengelus pipinya yang merah kena tangan sosis Nunung. “Ngawur. Siapa yang maki-maki. Situ yang maki-maki. Itu kan nama sales ku. Mereka itu kakak adik orang Thailand. Namanya Dong…. Sama K U N T O L! Kuntol!” ulang Nunung mengeja. Mendengar itu, Djatmiko hanya bisa melongo. Bibirnya yang dower terlihat semakin dower. “Salah apa ya mereka sama bapak ibunya sampe di kasi nama begitu,” gumam pria itu. “Ya gak salah apa-apa lah. Nama mu juga pasti terdengar aneh kalo di negara lain. Djatmiko… Djatmiko… Udah pasti lidah bule juga ga bisa itu ngeja namamu.” “Iya juga sih,” timpal Djatmiko menggaruk belakang kepalanya. “Makanya sejak SD kan aku minta di panggil Miko aja. Biar Go internasional gitu. Apa sekarang aku tambahin huruf ‘c’ biar jadi Miko gitu? Atau Mick? Keren mana?” timpal Djatmiko. “Terserah lah. Mau Miko, mick pake c, atau Miki mos juga boleh. Gak penting nama nya siapa yang penting bisa jualan beha,” celetuk Nunung mulai kesal. “Ehhh jangan anggap remeh, Nung. Aku tuh orangnya perseneleng, tau.” “Hah? Perseneleng? Struk ya kamu ini? Ngomong apaan sih?” “Itu tuhh kalo seles kan ngomongnya harus pinter. Bisa membujuk orang biar beli, gitu… apa sih namanya…per- per… perkutut? Perselotip? Hm…Gak mungkin perselotip, selotip kan buat nempelin. Apa ya?” tanya Djatmiko sambil menggaruk kepalanya. “Persuasif?” tebak Nunung. “LAHH!! Ya ituuu!” geplak Djatmiko ke punggung temannya sampai nasi nyembur lebih banyak lagi keluar dari mulut Nunung. “Aku itu persuasif orangnya. Buktinya itu tadi kuli panggul ngasih aku kerjaan. Bukti lainnya… kamu juga ngasih aku kerjaan, kan.” Nunung yang tersedak, mengeluarkan botol minum dari tasnya dan meneguknya sambil bergumam pelan. “Persuasif gundulmu. Ngebujuk cewek biar cari pacar aja ngga dapet-dapet.” “Ehh… Bukan nggak dapet, Nung. Akunya aja yang terlalu baik dan menarik. Sampe-sampe semua orang yang aku tembak bilang kalau lebih mending jadi temen daripada pacar. Pacar kan bisa putus. Nah kalau teman, kan selamanya, Nung. Macem persabahatan kita yang bagaikan kepompong. Ya kan?” tanya Djatmiko dengan kepede an yang tidak kalah dengan calon kepala daerah. Nunung kembali ngakak sampai-sampai orang yang ada di dalam gerbong kaget karena mengira ada kuda yang lepas dari kandang ikut di dalam kereta. Tapi kalau dipikir-pikir, walaupun kadang terdengar keluar dari mulut orang mabok udara, apa yang diucapkan Djatmiko ada benarnya juga. Itulah yang menjadikan pertemanan mereka masih awet hingga saat ini. Keduanya, walaupun berbeda jenis spesies, tapi tidak pernah menyampur persahabatan mereka dengan percintaan. Selain memang karena tidak saling tertarik secara harafiah, keduanya juga sudah menganggap satu-sama lain lebih dari seorang sahabat dan lebih seperti keluarga. Setelah makanan habis di santap, dan obrolan mereda, keduanya pun memutuskan untuk menarik selimut dan tidur. Dan untuk pertama kalinya, entah mungkin karena AC dari kereta kelas eksekutif atau karena janji masa depan yang lebih cerah, Djatmiko malam itu tidur dengan lelapnya bak seorang bayi yang baru lahir. Saking lelapnya bahkan ketika kereta mulai melambat dan memasuki stasiun Kota Bandung, pria itu masih juga meringkuk di dalam selimut birunya. “Bangun, Mik! Heh sudah sampai!” goncang Nunung ke pundak Djatmiko yang masing nyungsep di kursinya dengan bibir terbuka lebar macem sumur. “Heh? Apa?” tanya Djatmiko gelagapan sambil mengelap pipinya yang belepotan iler. “Sudah sampe! Ayo cepetan aku kebelet ke wc nih! Dingin banget udara di kereta, bikin mules.” Djatmiko  yang mulai tersadar berdiri sambil meregangkan tubuhnya yang kaku karena meringkuk dikursi semalaman. Setelah mengucek matanya yang belekan, ia pun mulai melipat selimut yang di dapatnya dari petugas kereta dan dimasukkannya ke dalam tas. “Woi, Maling!” jerit Nunung melotot. “Selimut punya kereta jangan dibawa!” “Loh ini bukannya dikasih ya?” tanya Djatmiko bingung. “Kan udah bekas ilerku gini, Nung. Masa iya di minta balik?” “Itu dikasi pinjem, lah. Nanti juga di cuci, sebelum dikasi orang lain.” Djatmiko pun magut-magut mendengar penjelasan Nunung. Ditariknya lagi selimut yang sudah tersimpan di dalam tasnya keluar.   Sekarang ganti diraihnya bantal biru pemberian petugas. “Itu juga engga!” jerit Nunung melotot, paham apa yang hendak dilakukan Djatmiko. “Mahal amat ya kalo gitu biaya kereta. Padahal cuman numpang, ga di kasi apa-apa,” gerutu Djatmiko. “Udah gak bayar, masi aja ngomel. Mau murah? Naik becak sono dari Madiun,” bales Nunung mulai berjalan keluar dari kereta, dengan Djatmiko mengikuti dari belakang. Begitu menapakkan kakinya di lantai stasiun, pria itu langsung menarik nafas dalam-dalam. Menyongsong masa depan baru  yang sudah menunggunya dengan penuh rasa suka cita dan jiwa optimis. Bagaikan membuka lembaran baru yang masih kosong menunggu ditulis, pria itu mengangkat kakinya hendak melangkah maju, ketika mendadak… PREEETTT! TET TET TET! Sebuah suara terompet mengejutkan Djatmiko. “Nung,” bisik Djatmiko. “Kamu kentut ya?” Nunung mendekatkan wajahnya ke telinga temannya. “Hooh,” balas Nunung balik berbisik. “Aku kan udah bilang mau ke toilet. Jagain tas ku!” Wanita itu melempar tas dan koper yang di bawanya ke arah Djatmiko, dan langsung berlari sambil menahan luapan hawa anget yang hendak meluncur dari bagian belakang tubuhnya. *** Setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di dalam taksi online meluncur menuju pabrik sekaligus mess yang akan ditinggali Djatmiko selama menetap di Bandung. Baru pertama kali mendatangi kota besar, Djatmiko melongokkan wajahnya keluar dari jendela taksi online, mirip pudel kalo di bawa jalan-jalan naik mobil. Rambut Djatmiko yang gelap berombak terbang melambai-lambai tertiup angin dingin kota Bandung yang masih pagi “Seger ya… udaranya.” Ia menarik nafas dalam-dalam sambil nyengir. “Beda sama di Madiun. Pagi-pagi udah panas.” “Jangan kampungan ah Mik, masukin kepalanya. Tar ketabrak tiang listrik trus copot tau rasa,” omel Nunung. Djatmiko menurut dan memasukkan kepalanya kembali ke dalam taksi. Dua puluh menitan berjalan, taksi mulai membelok dan memasuki kompleks perumahan yang kian membuat Djatmiko terpukau. Deretan rumah-rumah megah berpagar tinggi berjejer satu dengan yang lain tampak tiada akhirnya. Taksi akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah berpagar putih yang terlihat bak sebuah istana kepresidenan. Nunung membayar taksi dan turun, diikuti Djatmiko. Pria itu melongo menatap rumah gedong yang ada di depannya. “Wuihhh, Nung. Gak nyangka pabrik mu mirip istana raja begini!” “Bukan yang itu pabriknya!” jawab Nunung menarik kopernya. “Lah trus? Sebelahnya? Depannya? Yang mana juga sejalan rumahnya gede-gede! Keren bener...,” puji Djatmiko. “Bukan juga. Noh liat itu?” Djatmiko menyipitkan matanya mengikuti arah yang ditunjuk Nunung. Kesebuah jalan sempit dengan lebar tidak lebih dari semeter setengah, terjepit diantara dua rumah mewah. “Apaan?” tanya Djatmiko. “Gang itu?” Nunung mengangguk, “Iya lewat situ. Nah berhubung aku itung gajimu mulai hari ini. Nih! Bawain!” Wanita itu melemparkan kopernya ke arah Djatmiko dan berjalan berlenggang masuk ke dalam gang sempit yang ditunjuknya. Keduanya berjalan berhimpitan semakin masuk ke dalam gang. Tubuh Nunung yang gempal menabrak Djatmiko beberapa kali, menghimpit tubuh kurus pria itu ke tembok. “Nung, kamu bawa aku ke kota bukan mau ngejual aku kan?” tanya Djatmiko mulai was-was. “Jual gimana?” tanya Nunung bingung. “Ya siapa tau aku kamu jual buat di jadikan bahan arisan tante-tante atau apa gitu. Habis ini kok serem banget sih lokasi pabrik nya. Nyelip di dalam gang begini?” Tawa Nunung langsung membahana di dalam gang sempit, membuat beberapa anak kecil yang sedang bermain di gang langsung kabur lari masuk ke dalam rumahnya masing-masing karena mengira ada gempa bumi. “Oalahh Mikkoooo…  Miko… emang tampang modelan begini laku buat bahan arisan? Yang ada juga tante-tante pada kabur ngeliat hadiah arisannya macam kamu begini. Lagian denger dari mana sih berita begituan? Emang ada arisan model begitu?” “Ada lah… gak punya tuiter kan kamu. Ada yang pernah nge tuit soal arisan brondong. Asal tahu aja ya, bukannya aku nolak sih. Kalau ada yang mau bayar ya aku sih… mau mau aja,” cengir pemuda itu sambil memanggul tas di kanan dan kiri bahunya. Melewati warung, rumah penduduk, agen isi ulang air, tukang londry, tukang gali sumur, dan usaha kecil menengah lainnya, akhirnya keduanya sampai di sebuah rumah berpagar hitam dengan pekarangan kecil. tiga buah sepeda motor terparkir di depannya. Menggunakan perut, Nunung menabrak pagar halaman hingga terbuka dan melangkah masuk. TING TONG! Ditekannya bel rumah yang ada di dekat pintu. “Kebanyakan penjahit pulang pergi setiap harinya. Selain Dong, Kuntol, aku sama kamu tidak ada lagi yang tinggal di mess pabrik,” jelas Nunung. “Duh Nung, dari pertama kamu nyebutin pabrik, aku tuh mikirnya bangunan guede, megah pake cerobong asap. Eh… taunya cuman rumah kontrakan kecil begini. Yakin ini kamu bisa ngegaji aku sampe aku bisa keluar negri buat ketemu model-model itu?” “Jangan ngehina, ehhh kampret! Ngapain punya pabrik pake ceroboh buat bikin beha? Emang bikinnya di bakar apa?” Obrolan terhenti ketika seseorang membuka pintu depan. “Heeei! Bu Felysia Inez Gianina! Sudah pulang?” seru seorang pria dengan tubuh kekar tinggi kulit putih dan rambut mancung keatas mirip maskot larutan penyegar yang ada badak-badaknya. “Hah? Siapa?” celetuk Djatmiko bingung. “Ya nama ku, To-lol! Kamu kira namaku Nunung? Itu kan kamu yang ngasi julukan buat aku, trus jadi diikuti sama semua orang!” semprot Nunung mendelik. “Oiya… Hehe… lupa….” Sementara Djatmiko cengengesan, Nunung kembali mengalihkan pandangannya ke pada pria yang berdiri di sebelah pintu. Wajah Nunung yang semula cemberut gara-gara ucapan Djatmiko langsung berubah menjadi kembali ceria begitu menatap pemandangan segar di depannya. “Halo, Dong,” sapa Nunung sambil meraih lengan pria itu dan meremas-remasnya macem pikin adonan bakpao. “Wiii…nambah gede aja ni otot. Latihan terus ya selama aku pulang?” Dong yang tampak girang oleh pujian bosnya kian menjadi. Ia kini malah memperagakan berbagai pose atlet angkat besi dan menonjolkan otot-otot di lengannya. “Duh bikin gemes aja sih kamu, Dong. Jadi pengen gigit deh,” celetuk Nunung mengeratkan remasannya. Remasan pada lengan Dong, ya… awas trepeling sebelum waktunya. Dehaman dari Djatmiko membuyarkan pertunjukan otot Dong. Nunung pun baru sadar ia masih berdiri di depan pintu dengan diamati oleh Djatmiko yang mulai capek memanggul tas dan koper miliknya. “Oh iya sampe lupa ada kamu Mik. Kenalkan, ini salah satu sales yang tadi aku ceritakan,” ucap Nunung ke arah Djatmiko. Wanita itu lalu menoleh lagi ke si ganteng Dong. “Sedangkan ini teman sekampungku yang kurekrut jadi sales, namanya Djatmiko Falafel Ekatepe.” Sementara Djatmiko masih melongo mengamati Dong yang berdiri menjulang di depannya, Dong sudah menjulurkan tangannya ke arah Djatmiko dengan wajah tersenyum lebar. Bukannya membalas salaman Dong, Djatmiko berjalan menghampiri Nunung dan berbisik. “Pst! Itu sales apa bintang pelem sih, Nung? Ganteng bener?” Nunung langsung cengengesan. “Masa sih? Kok aku gak sadar ya… hehe…” “Halah, modus ah kamu!” timpal Djatmiko ngelirik ke arah Dong yang juga sedang menatapnya dengan wajah bingung, karena bukannya menyalaminya Djatmiko malah bisik-bisik dengan Nunung di pojokan kaya cicak. “Udah situ kenalan. Kasihan itu di anggurin gitu tangannya.” Nunung mendorong Djatmiko. Kedua pria bersalaman. “Halo…,” sapa Djatmiko. “Panggil saja aku Miko ya, pake C.” Dong menggoncang tangan Djatmiko naik turun sambil tersenyum lebar. “Oke Miko pake C,” ulang Dong. “Eh… bukan… bukan pake C. Miko aja.” “Oh….,” seru Dong. “Oke Miko aja.” Djatmiko melepaskan tangan Dong dan kembali menghampiri Nunung. “Itu laki agak ngga kumplit apa gimana ya?” bisik Djatmiko. “Halah gak usah sok pinter, deh. Dong kan orang Thailand asli, jadi bahasa Indonesianya ya gak lancar. Gitu-gitu dia sales nomor satuku, tau!” Nunung kembali menoleh ke arah Dong. Suaranya yang sengak ketika berbicara dengan Djatmiko langsung berubah melankolis ketika bercakap-cakap dengan Dong. “Dong,” panggilnya dengan nada suara E mayor. “Tolong antar Miko ke kamar diatas ya. Aku mau tidur dulu. Setelah naik kereta semalaman, badan ku lelaaahhh bangettt… Capek nya gak kira-kira, deh. Nanti setelah kamu antar Miko, kamu ke kamar ku ya. Kangen deh dipijitin ala thailand sama kamu,” centil Nunung sambil mengedipkan mata kakinya, eh matanya. Begitu tubuh gempal Nunung menghilang naik, Dong meraih salah satu koper yang di bawa Djatmiko dan ikut naik.   “Ikuti aku, Miko. Kamar kita ada di lantai tiga.” Keduanya berjalan beriringan sementara Dong menjelaskan. “Jadi lantai satu adalah ruang produksi, yang di pakai penjahit untuk bekerja. Bos kita, Bu Felysia, menggunakan lantai 2. Sementara kau, aku dan kakakku, semua tinggal diatas,” jelas Dong menemani Djatmiko melongok longok penasaran. Rumah sekaligus pabrik itu terlihat sempit tapi memanjang ke belakang. Berlantai 3 dengan penerangan minim tanpa jendela, membuat suasana di dalam rumah terasa gelap walaupun masih pagi. Begitu sampai di lantai 3. Dong membuka salah satu pintu di lantai itu dan mempersilahkan Djatmiko masuk. “Silahkan istirahat, Miko Aja,” celetuk Dong dengan wajah tersenyum ramah yang membuat Djatmiko akhirnya pasrah di panggil Miko Aja oleh pria itu. NOTE: Ayo dong, share lagi filosofi behanya. Gak usah malu. Gak akan ada yang baca kok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD