Part 5

1123 Words
“Baiklah.” jawab Gibran setelah diamnya yang bisa dikatakan cukup lama. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Gibran lagi. Sejenak Falisha berpikir. Ya, apa yang harus mereka lakukan sekarang? Bukankah dia yang menyarankan mereka untuk berkencan dan berpacaran? Tapi Falisha sendiri sebenarnya minim pengetahuan akan hal itu, jadi dia tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan saat ini. Dia memandang Gibran. Entahlah, kenapa jantungnya selalu saja berdebar dengan sangat kencang setiap kali dia melihat suaminya itu. apa ini juga yang dirasakan mereka yang dimabuk cinta. Kalau iya, sampai kapan perasaan ini berakhir? “Jadi?” Gibran kembali bersuara kala Fali tak juga memberikan jawaban. Falisha hanya bisa menarik napas panjang. “Tunggu sebentar, biar Fali cek dulu di internet tentang apa yang harus kita lakukan.” Ucapnya lagi. Gibran hanya bisa memandang istrinya itu dengan mata membulat dan gelengan kepala. “Udah, sambil Fali nyari-nyari, Mas Dokter sana mandi dulu. Pasti sejak semalem gak mandi kan?” tanya Falisha seraya kembali membuka layar ponselnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya notifikasi pesan dan juga panggilan telepon dari Gibran. “Mas Dokter hubungin Fali sebanyak ini?” tanya Falisha pada suaminya. Gibran hanya memandang Falisha dalam diam. Gadis itu hanya bisa nyengir karena malu dan menggumamkan maaf tanpa suara. “Apa gak seharusnya kamu kesini?” tanya Gibran lagi. Falisha yang sedang berselancar di dunia maya mendongakkan kepala dan memandang suaminya. Ia lantas menggelengkan kepala. “Kalo emang Mas mau, Mas nya aja yang kesini. Passwordnya masih sama kok.” Jawabnya yang kemudian diangguki Gibran. Falisha kembali mendudukkan tubuhnya di atas ayunan kayu yang tadi membuatnya terlelap. Saking asyiknya mencari sesuatu di layar, dia bahkan tidak sadar kalau Gibran sudah duduk di sampingnya dan bahkan turut melirik pada benda pipih yang menyala itu. “Ada sesuatu yang menarik?” tanya pria itu dengan suara yang pelan. Falisha menggelengkan kepala seraya menggigit bibirnya. “Apa sih kata pencarian yang cepatnya?” tanyanya pada suaminya dengan polosnya. “Fali cari ‘cara berkencan yang romantis’ si gugel malah ngasih ide buat kencan di rumah aja. Fali kan gak mau.” Ucapnya kesal. “Memangnya kalo kencan di rumah aja kenapa?” tanya Gibran ingin tahu. Falisha memandang suaminya dengan kedua alis menyatu. “Enggak. Itu bukan ide yang bagus. Kalo di rumah kan suasananya gimana gitu. Ntar yang ada malah kita ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh.” “Aneh-aneh apa maksudnya?” tanya Gibran lagi. “Ya aneh-aneh lah. Kan kalo laki-laki sama perempuan berduaan, yang ketiganya itu setan.” Gibran terkekeh. “Ya gak apa-apa juga, kan kalo kita berdua ngelakuin yang aneh-aneh udah gak bakalan dosa. Malah jadi ibadah.” Ucap Gibran mengingatkan. Falisha menggelengkan kepala. “Justru itu yang Fali takutin.” Falisha langsung mengubah posisi duduknya. Dia menaikkan sebelah kakinya dan menghadap Gibran. “Fali tahu kalo saat ini prioritas Fali itu Mas Dokter. Fali tahu bahwa melayani Mas Dokter itu adalah ibadah. Tapi Fali juga mau Mas Dokter ngerti keadaan Fali.” Gibran hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Tanpa sadar tangan pria itu terangkat dan membetulkan posisi rambut Falisha yang tertiup angin ke belakang kepalanya. “Fali itu ngerasa insecure sama diri Fali sendiri, dan Mas Dokter harusnya paham itu.” ucapnya dengan lirih. “Atau seenggaknya Mas Dokter mau pahamin itu.” lanjutnya dengan takut-takut memandang Gibran. Gibran kembali tersenyum dan menganggukkan kepala. “Mas ikutin aja apa maunya Fali.” Jawab pria itu dengan sungguh-sungguh. Falisha tersenyum dan mengangguk antusias. “Jadi?” tanyanya lagi tanpa melepaskan pandangannya dari Falisha yang kini kembali memusatkan perhatiannya pada ponsel. Falisha mendongakkan kepala dan memadang suaminya dengan tatapan kesal. “Fali belum dapat apa-apa, Mas DokterKu sabar donk.” Cetusnya kesal. Gibran terkekeh mendengarnya. “Bukan itu.” ucap Gibran yang kemudian mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Falisha yang sedang memegang ponsel. “Jadi, apa yang terjadi di perjalan saat kamu menuju ruangan Mas?” Falisha mengerutkan dahi. Memandang Gibran dengan tatapan bingung. “Alif bilang dia lihat kamu di parkiran rumah sakit, tapi kenapa kamu gak pergi ke ruangan Mas? Atau memang ada orang lain yang kamu temui di rumah sakit?” Falisha memandang suaminya. Dalam hati ia bingung apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, memangnya apa yang akan merubah fakta? Toh kenyataannya kalau bukan dirinya yang dikasihani Gibran karena penyakitnya. Maka Gibran lah yang harus dikasihani karena terjebak hidup bersamanya. Falisha kembali menunjukkan senyumnya dan menganggukkan kepala. “Tadi Fali ketemu Abang-Uncle. Fali keasyikan ngobrol eh tau-taunya dianterin pulang kesini.” Ucapnya dmasih dengan senyum di wajahnya. Gibran hanya bisa terdiam. Tangan pria itu tiba-tiba saja terangkat dan mengusap kepala Falisha dengan pelan. “Lain kali, kalau memang kamu mau ke rumah sakit, kasih tahu Mas. Jangan sampai Mas tahu dari orang lain.” Ucapnya yang dijawab anggukan pelan Falisha. Kemudian tangan itu turun menyusuri rambut Falisha hingga terhenti di wajah gadis itu. “Mas minta maaf.” Ucapnya lirih yang seketika membuat Falisha membulatkan mata. “Bahkan di hari pertama pernikahan kita Mas membuat kamu kecewa. Mas ninggalin kamu gitu aja di depan apartemen padahal seharusnya Mas ada sama kamu sepanjang malam.” Terharu? Tentu saja Falisha terharu. Ternggorokannya tiba-tiba tercekat dan airmatanya perlahan menggenang. Ia memandang suaminya dengan tatapan tak percaya sekaligus bahagia. Tak percaya karena permintaan maaf itu keluar dari suaminya dan bahagia karena ternyata suaminya memikirkan perasaannya. “Mas…” “Mas gak bisa janji kalau kedepannya hal seperti itu tidak akan terjadi.” lanjut Gibran lagi. “Mas juga gak bisa selamanya minta kamu untuk mengerti semisal keadaan memaksa Mas harus memilih. Tapi Fali harus ngerti, kalau inilah profesi Mas. Inilah tanggung jawab Mas. Dan inilah jalan yang Mas ambil jauh sebelum Mas kenal sama Fali. Jadi, Fali mau kan maafin Mas?” tanya pria itu dengan lembut. Falisha hanya bisa memandangnya. Dadanya berdebar semakin kencang seiring tatapan yang diberikan pria itu terhadapnya. Belum lagi usapan ibu jari pria itu di wajahnya. Semuanya membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Falisha menelan salivanya, ia menatap Gibran lama sebelum akhirnya perlahan menganggukkan kepala. Gibran kembali tersenyum. Senyum yang entah kenapa sudah ia lihat beberapa kali hari ini, dan memang sebenarnya sudah sering ia lihat sejak lamaran pria itu terakhir kali. Jadi, haruskah ia masih meragukan perasaan suaminya itu? haruskah ia masih merasa takut kalau sebenarnya Gibran menikahinya karena kasihan? Sementara pria itu sudah berlaku sedemikian lembut padanya. Bahkan pria itu tanpa segan meminta maaf padanya? Haruskah ia melanjutkan permainan yang baru saja ingin ia mainkan? Haruskah ia menguji perasaan pria itu? Falisha mengiyakan dalam hati. Ya, ia masih harus memainkannya. Karena mungkin, semua tindakan Gibran saat ini didorong oleh rasa bersalahnya. Atau mungkin, seseorang telah membujuknya lebih dulu untuk meminta maaf pada Falisha. Falisha tidak tahu .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD