Part 8

1646 Words
Falisha kembali ke apartemen dengan pemikiran baru dan juga rencana kehidupan yang baru. Dengan tenaga yang dimilikinya akhirnya ia memindahkan semua barang yang bisa ia pindahkan dari apartemen Gilang ke apartemen milik Gibran. Falisha tidak tahu apakah Gibran nantinya akan marah jika ia memakai ruang pria itu untuk ia gunakan, tapi seharusnya Gibran tidak memarahinya kan? Setelah selesai menata barangnya yang sebenarnya tak seberapa—karena sebagian besar barang miliknya masih ada di rumah orangtuanya—Falisha mulai membuka isi lemari es. Isinya tidak terlalu banyak, tidak sebanyak isi lemari es yang ada di apartemen pamannya. Alhasil, Falisha membawa sebagian bahan dari apartemen Gilang dan mulai memasak. Dari yang Falisha tahu, jadwal kerja Gibran di rumah sakit hari ini berakhir pada pukul dua siang, namun setelahnya pria itu akan mulai praktik di klinik dan kemungkinan besar akan kembali saat makan malam tiba. Disaat menunggu kembalinya sang suami, Falisha kemudian memikirkan kembali ucapan Carina tentang pekerjaan. Mau tidak mau Falisha harus akui bahwa Gibran terlalu sibuk bekerja. Bahkan sebelum mereka menikah pun, waktu Gibran sepenuhnya tersita untuk pekerjaan. Rumah sakit, klinik dan kadang membimbing para residen dalam menyusun tesis mereka dan tentunya Falisha tidak bisa hanya duduk diam saja di rumah menunggu pria itu kembali. Secara ekonomi Falisha memang tidak kekurangan. Uang jajan yang selama ini ia dapatkan dari orangtuanya lebih banyak ia tabung dibandingkan dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berguna. Dan jika dihitung, sebenarnya tabungannya cukup untuknya membuka sebuah usaha. Sayangnya, sampai sejauh ini Falisha tidak tahu kemana arah passion nya. Dia tidak memiliki minat yang ingin ia tekuni seperti saudara kandung ataupun sepupu-sepupunya yang lain. Akara—Adik kembar Falisha—sejak kecil sudah sangat menyukai hal-hal yang berbau medis. Sepupunya, Ilker—yang juga seusia sama dengannya dan Akara—sudah teramat menyukai musik. Dia bahkan sudah bekerja di perusahaan yang kini berada di bawah pimpinan Carina, sebuah rumah produksi yang bernama Kralligimiz. Lantas adik Ilker, kakak sepupu Falisha yang bernama Faiqa sejak muda sudah menyukai hal-hal yang berbau kecantikan. Dia juga suka menjadi sorotan orang, sama halnya seperti adik sepupu Falisha yang kini tinggal di Turki, Hanira. Karena itulah keduanya sudah berkecimpung dalam dunia entertainment. Faiqa suka membuat vlog yang membahas kecantikan sementara Hanira sudah menjadi model untuk brand pakaian ibunya sendiri. Adik kandungnya Rayyan dan kakak sepupunya—adik bungsu dari Syaquilla, Ilker dan Faiqa—Mirza, keduanya sudah bergelut dengan dunia konstruksi karena jelas keduanya akan menjadi penerus perusahaan ayah mereka. Rayyan akan meneruskan Levent Corp yang merupakan usaha ayah Falisha, Lucas. Dan Mirza akan meneruskan Coskun Company milik ayahnya, Adskhan. Sepupu Falisha yang lain, Serkan dan Halil juga sudah punya tujuan hidup mereka sendiri. Serkan sudah jelas ingin menjadi seorang chef ternama, dan Halil, meskipun pria itu juga sama handal dalam urusan memasak, namun sudah jelas bahwa dia akan meneruskan usaha hotel dan resto milik ayahnya, Erhan. Jadi, satu-satunya yang tidak punya cita-cita, tidak punya minat dalam hal apapun, orang yang tidak pernah bermimpi kelak ingin menjadi apa dalam keluarga besar mereka hanyalah Falisha. Falisha tidak pernah berangan ingin menjadi sesuatu atau akan membuat usaha sesuatu, apalagi meneruskan usaha seseorang. Selama masa remaja sampai usianya saat ini, yang dia lakukan dan dia inginkan hanyalah sembuh dari penyakitnya. Fisiknya jelas tidak bisa diajak untuk lelah, otaknya tak memungkinkannya untuk berpikir terlalu keras, dan sebisa mungkin yang dia lakukan selama ini adalah menahan diri supaya tidak membuat khawatir keluarganya di saat bersamaan dirinya ingin banyak melakukan hal yang gila sebagaimana remaja pada umumnya. Dan membuat orang tidak mengkhawatirkannya tidak bisa disebut sebagai cita-cita kan? Jadi benar kata Carina, ia harus menggunakan gelarnya untuk bekerja, toh dokter sudah menyatakan kalau dia sudah sembuh sekarang. Meskipun tetap dia masih harus membatasi diri dan tidak melakukan hal yang terlalu berlebihan. Ia bekerja bukan karena ia butuh uang—bukan karena Falisha sombong sebab terlahir dari keluarga kaya raya—namun ia memiliki seorang analis keuangan yang membuatnya semakin kaya selama ini. Ya, saudara kembarnya Akara dan juga sepupunya Ilker selama ini sudah membuatnya terjun dalam permainan saham. Keduanya sudah mulai mengandalkan otak encer mereka dalam mengelola keuangan yang pada akhirnya menarik Falisha turut serta yang beruntungnya jarang mengalami anjlok. Beruntung mereka memiliki ayah dan nenek yang berotak cerdas. Falisha menunggu dengan gugup, ia takut melihat respon Gibran saat mengetahui keputusannya untuk tinggal bersama dan mengabaikan keinginan Falisha untuk memulai hubungan mereka dengan berkencan ala anak remaja di hari sebelumnya. Ia sudah merangkai kalimat yang akan dia susun sebelum mengucapkan semuanya pada Gibran. Dan ingat kata Carina, ia harus berbicara setelah suaminya merasa nyaman. Gibran datang menjelang waktunya isya. Pria itu tidak menyembunyikan keterkejutannya saat membuka pintu apartemen dan melihat Falisha sedang duduk santai di depat televisi. “Kamu disini?” Tanya Gibran seraya melepas sepatunya. Falisha tersenyum dan menganggukkan kepala. “Mas pikir kamu masih ada di sebelah, tadinya Mas mau kesana setelah membersihkan diri dan mengajak kamu makan diluar.” Ucap pria itu yang membuat perasaan Falisha seketika berbunga-bunga. Ia berjalan mendekati suaminya saat Gibran meletakkan kunci di gantungan kecil yang ada di atas lemari sepatu sebelum memasukkan sepatunya ke dalam rak dan berjalan masuk, menerima uluran tangan Falisha yang kemudian mencium punggung tangan suaminya. “Fali udah masak makan malam.” umum Falisha yang kembali membuat suaminya tampak terkejut. “Mau mandi dulu atau makan dulu?” tanyanya seraya mengambil tas Gibran dan membawanya ke kamar. Gibran melirik meja makan dan melihat tudung saji berukuran sedang disana. Ia tersenyum pada Falisha sebelum menjawab. “Mandi dulu, boleh?” yang dijawab anggukkan oleh Falisha. “Mmmm…” Falisha mengulum bibirnya dengan ragu, membuat Gibran yang hendak masuk ke kamarnya menahan langkah. “Fali udah bawa barang-barang Fali dari unit sebelah kesini. Fali simpen pakaian Fali di lemari Mas juga, maaf kalo ngelakuinnya tanpa ijin.” Ucapnya ragu. Gibran hanya menganggukkan kepala dan membuka pintu kamarnya. Keduanya masuk ke dalam kamar. “Kalau lemarinya masih kurang besar, bilang aja. Kita bisa membuat satu set yang baru.” Ucap Gibran saat Falisha meletakkan tas Gibran di atas meja kerjanya yang ada di salah satu dinding. Falisha memandang berkeliling dan cukup bingung juga jika Gibran menambah lemari, ruangan itu akan menjadi semakin sempit. “Kita bisa mindahin meja kerja itu dan rak buku ke kamar bekas Galih.” Ucap Gibran seraya melepas dasinya dan mulai membuka kancing kemejanya. Falisha membelalakkan matanya. Yang ia tahu, saat ini Galih memilih untuk tinggal di lantai teratas resto dimana studio musik milik suaminya itu berada. “Galih masih galau, apa dia harus beli apartemen atau beli perumahan.” Lanjut Gibran menjawab kebingungan Falisha. “Sampai dia memutuskan, barang-barangnya memang masih ada disini, tapi setelah itu, Mas bisa pakai untuk ruang kerja supaya kamar ini bisa muat lemari baru.” Ujarnya yang dijawab anggukkan Falisha. Tanpa membuka kemejanya di depan Falisha, Gibran masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sesaat setelah pintu tertutup, Falisha mulai celingukan. Ia sedang berusaha menjadi istri yang baik, mencoba untuk melayani suaminya termasuk menyediakan pakaiannya. Karena itulah, ia berjalan menuju lemari dan mengeluarkan pakaian ganti untuk Gibran—meskipun ia tidak tahu apakah pilihannya akan tepat atau tidak. Apakah Gibran tipe orang yang mengenakan pakaian resmi saat makan malam di rumah sendiri? Atau dia pria santai yang biasa mengenakan pakaian apa saja? Falisha ingin menanyakan itu, tapi rasanya tak enak juga jika harus menggedor pintu kamar mandi saat terdengar guyuran shower di dalam sana. Alhasil ia mengeluarkan sebuah kaus lengan pendek berwarna abu dan celana bahan panjang berwarna hitam, lengkap dengan celana dalam bermerk yang membuat wajahnya memanas kala memegangnya. Ya Tuhan, dia sudah menyentuh barang pribadi milik suaminya. Hal itu membuatnya malu sendiri, padahal jelas sebelumnya dia juga sudah mengenakan pakaian Gibran dengan tanpa ijin sang suami dengan harapan bisa menggoda suaminya itu. Sambil menggigit bibir bawahnya dan menahan rasa malunya, Falisha meletakkan semuanya di ujung tempat tidur. Setelah merasa cukup puas, Falisha memilih untuk keluar dari kamar dan menyiapkan alat makan untuk mereka berdua. Gibran keluar tak lama setelahnya. Cukup terkejut saat melihat pakaian gantinya ada di atas tempat tidur. Tanpa sadar Gibran mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum. Setelah meninggalkan kediaman ibunya dan pergi kuliah—hingga saat ini yang berarti sudah enam belas tahun lebih—Gibran tidak pernah dilayani secara pribadi seperti ini. Bahkan mungkin, sejak kecil saat ia sudah mampu memilih dan melakukan sesuatu ia sudah terbiasa melayani dirinya sendiri. Ia bukan anak manja yang makan disuapi atau pakaian disiapkan oleh suster meskipun dulu ayahnya menyediakan pelayanan itu untuknya. Saat tinggal bersama ibunya, ia pun sudah lebih mandiri. Ia tidak pernah mengijinkan asisten rumah tangga ibunya untuk masuk ke dalam kamarnya dan membereskan apapun disana. Sekalipun mereka menyetrikakan pakaiannya, cukup sampai pakaian itu mereka letakkan di atas tempat tidur, selebihnya Gibran yang membereskannya ke dalam lemari. Ia menjadi lebih mandiri saat harus meninggalkan kediaman ibunya. Kuliah sekaligus bekerja membuatnya tak bisa bermanja-manja. Dan hal itu sudah ia biasakan hingga kini. Ia tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Untuk makanan dia memilih membeli di restoran atau memasak sendiri jika ia tidak terlalu lelah. Untuk pekerjaan rumah, dia membagi pekerjaan dengan Galih atau meminta jasa pembersih beberapa kali dalam seminggu jika dirasanya rumah sudah terasa berdebu. Untuk pakaiannya, ia memilih menggunakan jasa laundry. Dan semua itu, tidak pernah ia ijinkan mereka untuk masuk ke ruang pribadinya. Kamarnya. Alasannya sederhana, ia tidak mau orang lain melanggar privasinya. Ia tidak mau orang lain menyentuh atau sampai merusak barang-barangnya. Dan bekerja adalah salah satu cara baginya untuk menghabiskan waktu tanpa memikirkan hal yang tidak-tidak. Namun sekarang, Gibran kembali melihat pakaiannya, keberadaan Falisha tentu membuatnya harus merubah kebiasaannya. Ia mau tak mau harus beradaptasi dengan kebiasaan Falisha, karena itulah satu-satunya cara yang membuat dirinya dan Falisha bisa hidup bersama. Inilah resiko sebuah pernikahan, bukan? Gibran meraih pakaian yang diletakkan Falisha dan mengenakannya. Setelahnya ia membawa handuk yang sudah dikenakannya ke bagian belakang apartemen dimana ruang cuci setrika berada dan bersiap untuk menghadapi istrinya yang sedang galau itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD