Marah Yang Tertahan

873 Words
Ponsel Mikayla bergetar di atas meja rias. Ia menatap layar sebentar sebelum mengangkat panggilan itu. Suara Tuan Mahendra terdengar berat, namun tetap berusaha ramah. “Kayla, Papa minta kamu bantu Arsenio malam ini. Ada jamuan pemegang saham di rumah. Papa dan ibumu harus terbang malam ini juga.” Mikayla menggenggam ponselnya erat, menatap bayangan wajahnya di cermin. “Anda mau ke mana?” tanyanya pelan, rasa penasaran menyelusup di hatinya. Mahendra menarik napas panjang di seberang sana. “Papa tidak pernah cerita, tapi sejujurnya ini bukan sakit ringan. Papa butuh perawatan intensif di luar negeri. Tolong jaga rumah ini untuk Papa, ya.” Mikayla terdiam. Kata-kata itu terasa seperti beban baru. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi akhirnya hanya menjawab singkat. “Baik, Pa.” Sambungan terputus. Mikayla menunduk, jantungnya berdebar. Ia tahu Mahendra menitipkan kepercayaan besar. Namun kenyataannya, yang harus ia hadapi adalah Arsenio. Pria itu lebih menyerupai mimpi buruk yang terus menghantuinya dibandingkan kakak tiri. “Apa aku harus terus diteror pria gila itu,” gumamnya sambil memejamkan mata. Malam ini akan panjang, tanpa Mahendra dan ibunya. --- Jamuan malam dimulai. Rumah mewah itu berubah seperti istana kaca. Lampu kristal bergemerlap, denting gelas beradu dengan tawa para pemegang saham. Mikayla berdiri di ujung ruangan, mengenakan gaun hitam elegan yang dipilihkan Hilda. Gaun itu sederhana, tetapi justru menonjolkan siluetnya. Sebuah suara muncul di belakangnya, rendah dan menusuk. “Aku tidak percaya kau bisa terlihat seperti ini.” Mikayla memutar tubuhnya. Arsenio berdiri di sampingnya, setelan hitam pekat membalut tubuhnya. Aura dinginnya mendominasi, membuat seisi ruangan terasa lebih kecil. “Kalau tidak bisa memuji dengan normal, lebih baik diam,” sahut Mikayla, menegakkan dagunya. Arsenio menyeringai tipis. “Kenapa harus diam kalau kau memang enak dilihat?” Ia menyesap wine dengan santai, seolah komentar itu tidak menyalahi norma. Mikayla menatapnya sinis. “Kau lupa tujuan pesta ini?” “Aku tidak lupa. Aku hanya muak dengan wajah-wajah tua penuh kepura-puraan. Malam ini aku butuh hiburan, dan ternyata sudah ada di depan mata.” Ucapan itu membuat napas Mikayla tercekat, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Arsenio meraih pergelangan tangannya. “Tuan rumah mengajak keluarga untuk berdansa, bukankah wajar?” “Aku tidak berdansa denganmu,” Mikayla menepis pelan, tetapi Arsenio menunduk, membisik di telinganya. “Kalau kau menolak, mereka akan berpikir kita sedang bertengkar. Dan gosip itu akan jadi racun untuk Papa.” Mikayla menggertakkan gigi, lalu dengan terpaksa meletakkan tangannya di genggaman Arsenio. Musik mulai mengalun, tubuhnya ditarik mendekat. Langkah mereka selaras, seolah sudah terlatih. “Gaun ini terlalu polos,” gumam Arsenio dengan nada rendah dekat lehernya. “Tapi entah kenapa justru membuatmu lebih berbahaya.” Mikayla menahan napas, pipinya panas, tetapi ia menjawab datar. “Dan kau tetap menjijikkan.” Arsenio tertawa pelan, tatapannya menusuk. “Kata-katamu manis, tapi pipi merahmu lebih jujur.” Ia memutar Mikayla sekali, lalu menariknya kembali. Genggamannya menguat. “Aku suka saat kau berusaha membenciku. Justru itu yang membuatmu semakin menyenangkan.” Mikayla ingin berteriak, tetapi tatapan para tamu membuatnya terjebak. Ia akhirnya menginjak kaki Arsenio dengan sengaja. “Ups, maaf. Tidak sengaja, Tuan Arsenio,” katanya manis, meski matanya penuh tantangan. Arsenio tidak terkejut, justru menyeringai. “Tidak apa-apa, Mikayla. Aku tidak menuntutmu untuk kecelakaan kecil ini,” jawabnya dengan nada ringan, tetapi genggamannya semakin keras. --- Beberapa saat kemudian, Arsenio menyeret Mikayla ke hadapan tiga pemegang saham penting. Senyum dinginnya terlihat menawan di depan mereka. “Kenalkan, ini Mikayla,” katanya dengan nada sarkas. “Adik tiriku, sekaligus alasan Papa masih mau tersenyum setelah menikahi ibunya.” Mikayla menegang. Ia ingin menepis tangannya, tetapi genggaman Arsenio menahannya di tempat. “Cantik, bukan? Sayang, dia lebih cocok jadi wanita seseorang daripada sekadar dipanggil adik tiri.” Tawa kecil para pemegang saham terdengar. Sebagian menanggapi sebagai candaan, sebagian lagi menatap Mikayla dengan tatapan yang membuatnya ingin menghilang dari bumi. Wajah Mikayla memerah, matanya berair, tetapi ia tetap mendongak, mencoba menahan harga dirinya. “Aku lebih baik mati daripada jadi apa yang kau tuduhkan tadi,” suaranya bergetar, namun cukup jelas menusuk telinga Arsenio. Arsenio menoleh, senyumnya melebar. “Berani sekali bicaramu di depan orang-orang, Mikayla. Tapi aku justru suka. Kau membuat malam ini lebih hidup.” Mikayla menarik tangannya sekuat tenaga dan mundur selangkah. Sorot matanya penuh luka sekaligus amarah. Ia membenci dirinya yang harus bertahan dalam permainan kotor Arsenio, tetapi lebih dari itu, ia membenci betapa pria itu bisa menguasai seluruh ruang hanya dengan satu kalimat. --- Setelah pesta usai, Mikayla berlari ke kamarnya. Ia melempar sepatunya, merobek gaun hitam itu dengan kasar, lalu jatuh di atas ranjang. Nafasnya tersengal, matanya panas. Ia memukul bantal sekuat tenaga. “Aku benci dia. Aku benci pria itu!” Namun semakin ia mencoba melampiaskan amarah, bayangan Arsenio semakin kuat di kepalanya. Tatapan dinginnya, senyumnya yang menusuk, genggamannya yang tak bisa ia lawan. Semuanya menempel di pikirannya, membuatnya gemetar antara marah dan takut. “Kenapa harus dia!” jeritnya, air mata tumpah tanpa henti. Ia memeluk bantal itu erat, seolah bisa menahan semua perasaan yang mendesak keluar. Di balik pintu, Arsenio bersandar, menyesap sisa wine di tangannya. Senyumnya samar, matanya gelap. Ia tahu Mikayla menangis. Dan anehnya, itu justru membuat dadanya bergejolak dengan kepuasan aneh. “Menarik sekali melihatmu hancur, Mikayla. Tapi kenapa aku malah ingin terus melakukannya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD