01 - UNDANGAN

1007 Words
Liona tampak pucat menatap undangan yang ada di tangannya. Hubungan yang dia bina bersama dengan kekasihnya selama sepuluh tahun ini harus kandas dengan datangnya sebuah undangan ke rumahnya dan terlihat nama pengantin yang terukir indah di undangan tersebut. “Ini serius? Dia mau nikah? Setelah putusin gue dua minggu yang lalu?” tanya Liona pada sahabatnya—Riva. Riva mengangguk dan menepuk pelan pundak Liona. Dia prihatin dengan apa yang dialami oleh sahabatnya ini. Sudah berjuang selama sepuluh tahun namun akhirnya semua perjuangan Liona sia-sia. Pria itu menikah dengan perempuan lain dan memutuskan hubungan dengan Liona dua minggu yang lalu. Tidak punya hati sama sekali. “Lo datang ke pernikahan dia? Kalau lo nggak mau datang nggak usah datang aja. Lagian buat apa lo datang juga.” Riva kesal kalau sampai sahabatnya ini datang ke pernikahan pria tidak berguna itu. Pria yang hanya bisa memberikan janji manis. Ternyata semua itu hanya bualan dan tidak berniat membawa sahabatnya ke atas pelaminan dan malah mengajak wanita lain. Yang lebih parah lagi, ternyata dia menghamili wanita itu. Benar-benar kurang ajar. Pria seperti itu yang patut disembelih. Liona tersenyum. “Gue akan datang. Masa gue nggak datang di hari pernikahan dia? Sama aja gue seperti cewek lemah yang susah melupakan dia. Gue harus datang dan nggak boleh nangis sama sekali,” ucap Liona sudah bertekad untuk datang ke pernikahan mantan kekasihnya itu. Riva yang mendengarnya hanya bisa mendukung setiap keputusan yang diambil oleh Liona. Dia tidak akan melarang Liona lagi untuk tidak datang ke pernikahan itu. Memang benar kata Liona, harus datang dengan keberanian dan jangan terlihat lemah. Ah … tidak seperti Riva ketika melihat kegebetannya nikah saja sudah membuatnya tidak mau datang ke pernikahan itu dan membuatnya terlihat lemah. Liona yang pacaran selama sepuluh tahun dan akhirnya ditinggal nikah saja mau datang ke pernikahan itu. “Lo emang kuat banget. Gue salut ama lo. Gue bakalan temenin lo terus Liona saat di acara pernikahan si laki-laki brengsek itu.” Riva sangat gemas membahas mantan Liona ini. Dia tidak tampan dan juga tidak terlalu kaya. Namun, tingkahnya sok tampan dan kaya. Memang dasar laki-laki tidak pantas untuk sahabatnya. Untung saja sudah putus dan tidak akan pernah balik lagi pada Liona. “Brengsek-brengseknya dia. Dia pernah menempati ruang di hati gue. Udah jangan bicara tentang dia lagi. Lo mau ikut sama gue? Gue mau beli baju untuk ke pernikahan dia.” Ucap Liona. Riva mengangguk. “Gue ikut. Dan nanti mampir di salon ya. Biar mantan lo itu nyesal karena ninggalin lo yang berlian ini demi perempua seperti itu,” ucap Riva yang masih saja tidak ikhlas menerima semua ini. Padahal bukan dia yang ditinggal nikah, tapi, dia yang dari kemarin terus merasa kesal dan marah-marah sendiri. Dan tidak terima Lioan ditinggal begitu saja dengan perempuan yang terlihat biasa saja dan lebih cantik Liona tentunya. “Ush! Nggak boleh ngomong begitu. Siapa juga yang mau nikah dalam keadaan hamil duluan. Gue kasihan ama ceweknya dia pasti nggak mau juga nikah keadaan hamil begini.” “Udah sih. Kalau mereka berdua mau sama mau. Ya jadilah begitu. Kita berangkat sekarang?” tanya Riva. Liona mengangguk dan turun dari atas ranjang. Liona mengganti pakaiannya dan mengambil tasnya. “Ayo, kita pergi sekarang. Nanti Mama dan Papa marah kalau perginya lama,” ucap Liona. “Yuk. Eh, Mama dan Papa lo ke mana? Gue nggak lihat mereka tadi.” “Mereka lagi ke rumah Kakek dan Nenek. Nanti malam baru pulang. Gue kirim pesan sama Papa kalau mau beli baju dan juga ke salon. Dan dia nggak akan izinin kalau pulangnya tengah malam,” ucap Liona. Riva memutar bola matanya. “Lo mau ngapain sampai pulang tengah malam? Ini aja baru jam sepuluh pagi. Lo mau borong mall-nya?” tanya Riva kesal. Liona tertaw.a “Ya. Kagakla. Udah pergi sekarang. Nanti makin lama lagi,” ajak Liona. Riva mengangguk dan berdiri. Keduanya keluar dari dalam kamar dan akan ke salon terlebih dahulu baru nanti mencari pakaian yang akan mereka pakai ke acara pernikahan laki-laki brengsek itu. Kalau saja undangan itu tidak sampai di tangan Liona. Liona tidak perlu ke salon dan mencari pakaian untuk menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Sudah pacaran seperti kredit rumah. Ujung-ujungnya malah ditinggal nikah. Ya. jodoh tidak ada yang tahu. Bisa saja nanti jodoh Liona lebih baik dari pria itu. Semoga saja. *** Tuhan juga sudah mengatur rezeki, jodoh, dan maut. Liona percaya, kalau dirinya akan mendapatkan jodoh lebih baik dibanding mantan kekasihnya, yang akan menikah dengan orang lain. Bukan dengan dirinya. Pacaran bertahun-tahun memang tidak menjamin ke pelaminan. Kata orang, Liona sia-sia menjaga jodoh orang lain. Pada akhirnya sang laki-laki menikah dengan perempuan lain. Menyakitkan? Ya. Cukup menyakitkan, ketika dirinya dulu dan pria itu saling memberi perhatian satu sama lain, dan akan manja-manja saat bertelepon. "Lo, kagak akan nangis, 'kan? Kalau nanti datang ke pesta nikahan mantan lo!" Riva tersenyum mengatakan itu. Liona menatap Riva sinis. "Kagaklah! Palingan gue beri selamat ama dia. Moga langgeng dan kagak nyakitin bininya," kata Lional yang langsung mendapatkan cibiran dari Riva. "Cielah! Gaya lu! Udah kayak malaikat aja. Nanti mudahan di sana lu dapat jodoh deh. Gue doain!" kata Riva tertawa sumbang. Liona mendengarnya menggeleng kecil, sambil memilih pakaian yang akan dibawanya ke pesta pernikahan sang mantan kekasih. "Apaan sih lu! Kagak banget doa lu! Eh, ini bagus nggak?" tanya Liona pada Riva. Riva melihat pakaian yang berada di tangan Liona dan mengangguk. Bagus dan warnanya juga cocok di kulit Liona yang putih mulus. "Bagus kok! Beli deh. Gue yakin, bakalan banyak yang terpesona ntar," kata Riga tersenyum pada Liona. Liona mengangguk dan memasukkan pakaian itu ke dalam tempat khusus untuk pakaian. Liona masih memilih beberapa pakaian lagi untuk dibelinya, sebelum mereka ke salon. "Lo beli yang mana?" tanya Liona pada Riva. "Yang ini aja deh. Kagak usah cantik-cantik amat. Nanti tamu bingung, mana pengantin wanita dan mana tamu," kata Riva tertawa pelan. Liona ikut tertawa dan mendorong bahu sahabatnya itu pelan. "Percaya diri bener!!" "Kalau nggak percaya diri, nanti nggak akan ada yang mau." Keduanya tertawa bersama dan kembali memilih pakaian yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD