New Life

758 Words
Satu minggu usia pernikahan Suci dan Satya. Namun, mereka masih hidup terpisah. Satya masih tinggal bersama Bening. Tidak ada giliran waktu bersama. Suci yang menginginkannya. Untuk hal tersebut, Pras tidak bisa memaksakannya pada mantan istrinya. Pagi itu, tidak seperti biasanya. Matahari sudah mulai meninggi, tetapi Pras belum juga keluar dari kamar. Pamannya yang kini bertugas keluar masuk kamar memeriksa keadaan dan apa yang dibutuhkan, karena sudah bukan mahram, Pras memang melarang Suci masuk kamarnya. Pria yang hanya berbeda sepuluh tahun dari Pras itu masuk ke kamar keponakannya. Di sana, di ranjang terlihat Pras masih tertidur di bawah selimut. "Sudah siang, Pras ... apa kamu tidak enak badan?" tanyanya sambil membuka jendela agar udara segar pagi masuk. Tidak ada jawaban. Ia mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Pras...." Digoyangkannya tubuh pria itu. Kaku. Paman Pras memeriksa tubuh Pras, begitu dingin. Saat memeriksa napas dan denyut nadi, ia sadar. Keponakannya, keluarga kandung satu-satunya, sudah pergi untuk selama-lamanya. *** Pras dimakamkan. Kesedihan jelas sekali terlihat di semua wajah yang melayat. Tetangga, juga karyawan Pras, mereka semua kehilangan. Begitu juga dengan Suci, Satya, dan Bening. Istri pertama Satya yang hanya mengenal sekilas pun merasakan kehilangan yang begitu dalam. *** Pagi yang sama seperti kemarin, dan hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Suasana duka masih sangat terasa. Meskipun sudah hampir 40 hari Pras pergi, Suci masih dirundung kesedihan. Anis dan Ikbal sudah lebih baik. Mereka perlahan sudah bisa menerima Satya sebagai pengganti ayahnya. "Ayah" adalah panggilan yang mereka gunakan untuk ayah sambungnya tersebut. Bukan hal yang sulit bagi kedua bocah itu untuk menerima Satya. Sikap penyayang dan perhatian pria itu mampu mengetuk hati Anis dan Ikbal. Ayah sambungnya nyatanya bisa memberikan apa yang selama ini tidak mereka dapatkan dari papanya. Memang,semenjak kepergian Pras, Satya pindah ke rumah itu atas permintaan paman dan pengacara Pras. "Anak-anak, sudah siap?" tanya Satya setelah selesai sarapan. Rutinitas Satya di pagi hari, mengantar anak-anak ke sekolah, baru setelahnya ia berangkat ke kantor. "Sudah, Yah," jawab Anis dan Ikbal bebarengan. Mereka menggendong tas masing-masing. Kemudian, pamit kepada sang mama yang baru saja keluar dari kamar. Semenjak Pras meninggal, Suci memang masih suka mengurung diri di kamar. Untuk urusan putra-putrinya, ia serahkan kepada asisten rumah tangga. *** Setelah mengantar putra-putrinya, sebelum ke kantor Satya menyempatkan diri datang ke kontrakan. Pintu diketuk. Tidak lama, Bening muncul. Wanita itu langsung memeluk suaminya. Waktu bersama yang sekarang terpangkas, membuat Bening selalu merindukan suaminya. Karena itulah, setiap kali bertemu, Bening tidak pernah menyia-nyiakan. Ia selalu bermanja dengan Satya. Pria itu pun sangat menikmatinya. "Selamat pagi, Sayang," sapa Satya. "Pagi ...," balas Bening. "Bagaimana kabarmu?" "Aku harus bilang, kalau aku baik-baik saja. Hanya saja, rindu ini terasa sangat menyiksa." "Maafkan aku, ya ... gara-gara aku-" Tidak ingin Satya melanjutkan kalimat yang diucapkannya, Bening langsung membungkam bibir Satya dengan kecupan. "Aku hanya ingin, ketika kita bertemu, kita hanya membicarakan cinta dan rindu. Jangan yang lain." Satya tersenyum. "Terima kasih untuk selalu memahamiku." Dikecupnya kening istrinya. Bening pun mencium pipi Satya. "Malam ini, aku akan tidur di sini. Jadi, kamu tenang saja ... rindumu akan terobati." Bening tersenyum. "Bagaimana kabar Mbak Suci dan anak-anak, Mas?" "Mbak Suci masih berduka. Kalau anak-anak, semakin baik." "Semoga Mbak Suci juga semakin bisa ikhlas, ya, Mas." "Aamiin." "Lalu, Mas di sana tidur di mana?" "Masih di kamar tamu." Bening melirik ke arah jam dinding. Kemudian tersenyum nakal. "Kalau saja belum siang, aku pasti akan menservis Mas." Satya mencubit hidung Bening pelan. "Nanti malam, kamu harus melakukannya. Awas saja kalau aku tidak puas." "Kapan aku pernah membuatmu kecewa, Mas...." Mereka tertawa bersama. Kalau bicara ikhlas, mana ada istri yang benar-benar ikhlas untuk membagi hati dan raga suaminya. Namun, Bening terus belajar untuk itu. Ia tidak ingin hanya karena perasaan duniawinya, pria yang dicintainya harus menanggung dosa. Ia yakin, dengan perasaan ikhlas, kehidupan poligami tidak semenakutkan yang orang-orang katakan. Toh, pernikahan mereka memiliki tujuan yang baik. *** Aku yakin, cerita ini pasti akan menimbulkan pro kontra seperti halnya cerita poligamiku yang lain. Tapi, aku tidak akan berhenti. Yang mau lanjut baca silakan lanjut, yang nggak sanggup, takut baper, bebas untuk memilih tidak membaca cerita ini. Kenapa sering buat cerita poligami? Pengalaman pribadi kah? Bukan. Hanya saja, cerita poligami selalu sukses mengaduj emosi pembaca. Aku suka itu. Dalam dunia nyata, aku juga bukan orang yang mau dipoligami. Namun, tidak ada alasan untuk membenci. Lewat cerita ini pun sebenarnya aku sedang belajar. Belajar ikhlas. Mengikhlaskan tokoh utama cowok membagi cinta. Aku ingatkan, cerita ini bukan genre religi, ya ... jadi kalau ada adegan sedikit v****r, jangan diprotes. *** Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD