Bab 5: Siapa Dia?

2680 Words
*** Beverlyn masih terpaku di tempat. Tatapannya terkunci pada sosok pria tua di ambang pintu. Rambutnya sepenuhnya memutih, wajahnya dipenuhi garis usia yang tegas namun tampak berwibawa. Kedua mata Beverlyn nyaris tak berkedip. Ia memperhatikan setiap detail dengan hati-hati … lalu, samar, sesuatu muncul di benaknya. Sebuah potret. Sebuah foto yang sempat ia lihat beberapa waktu lalu—foto yang tersimpan dalam sebuah dokumen yang ditunjukkan oleh Oscar sebelumnya. Dan kini, berdiri di hadapannya… Morgan Grey Kingston. ‘Apakah beliau … Grandpa Morgan?’ Pikirannya riuh. Dadanya bergemuruh. Ia bahkan tak sadar bahwa pria tua itu telah melangkah mendekat dan kini berdiri tepat di depannya. Hanya berjarak dua langkah. Lalu suara itu terdengar. “Selamat datang di New York, Beverlyn.” Nada suaranya lembut, nyaris tak sepadan dengan penampilannya yang mengintimidasi. Tapi Beverlyn tahu betul suara itu. Ia tidak mungkin salah. Itulah suara yang selama bertahun-tahun menemaninya dari kejauhan—menanyakan kabarnya saat ia sakit, memastikan pendidikannya berjalan lancar, bertanya tentang aktivitas hariannya. Suara yang setiap kali terdengar di ujung sambungan telepon, membuat Beverlyn merasa tenang, merasa aman—meski dia hidup sebatang kara. Meski tidak pernah bertemu langsung, Beverlyn selalu tahu … suara itu adalah suara seseorang yang peduli. Kini, pria pemilik suara itu berdiri di hadapannya. Bukan sebagai bayangan samar di balik telepon, tapi nyata—hidup dan menatapnya dengan mata yang tak asing. Dan Beverlyn hanya bisa berdiri diam. Terpaku. Menatap Morgan Grey Kingston—sosok yang selama ini tak pernah ia sangka akan ditemui secara langsung. “Grandpa…?” Suara Beverlyn terdengar ragu. Pelan. Nyaris seperti bisikan yang terseret perasaan haru. Morgan memahami. Ia menarik kedua sudut bibirnya, menciptakan senyum lembut yang jarang sekali muncul di wajah itu. “Ya, aku Morgan. Orang yang selama ini selalu memperhatikanmu dari jauh,” ucapnya tenang, suara yang hangat dan mantap—suara yang selalu membuat Beverlyn merasa aman. Beverlyn mengerjap pelan. Kedua matanya memanas, dadanya sesak oleh gejolak emosi yang sulit dibendung. Sosok di hadapannya ini—pria tua yang hanya ia kenal dari suara dan perhatian samar—kini berdiri nyata di depan matanya. Sosok yang selama ini ingin sekali ia peluk. Sosok yang selalu hadir dalam bayang-bayang doanya. Ia mengangguk pelan, tersenyum dengan mata yang berusaha tetap jernih meski bening airnya telah mendesak keluar. “Terima kasih, Grandpa…” ucapnya sedikit terbata. Morgan mengangguk. Lalu sebelah tangannya yang bebas—karena tangan satunya masih menggenggam tongkat—terulur perlahan. “Selamat datang di kehidupan Kingston. Mulai hari ini, kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini, Nak,” ujarnya sembari melangkah maju. Beverlyn mengerti maksud gerak itu. Ia pun maju, mendekatkan tubuhnya, lalu mengangkat kedua tangan dan memeluk sosok tua yang telah menjadi pelindung diam-diam selama bertahun-tahun. “Aku tidak menyangka akhirnya bisa bertemu langsung denganmu, Grandpa…” gumamnya lirih, mata terpejam dan bibirnya membentuk senyum kecil. Tangan keriput Morgan membalas pelukan itu dengan lembut, mengusap rambut halus Beverlyn seperti seorang ayah yang penuh kasih. Senyum hangat tak pudar di wajahnya. “Bukankah Grandpa pernah berjanji? Suatu saat nanti kamu akan datang … dan menemui Grandpa. Nah, inilah saat yang Grandpa janjikan. Maaf jika semua ini terasa begitu lama bagimu … tapi percayalah, Nak, semua ini demi kebaikanmu. Demi kebaikan kita.” Beverlyn menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk dalam pelukan itu. “Ya … tidak apa, Grandpa. Aku mengerti…” Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Menatap wajah Morgan lekat-lekat. Dan saat itulah air matanya jatuh, perlahan menyusuri pipi. Tangis yang tenang. Tangis karena rasa haru, rasa aman, dan rasa syukur yang begitu dalam. Sementara itu, tanpa mereka sadari, sepasang mata tajam tengah memperhatikan dari balik tembok. Oscar Grey Kingston. Ya, pemimpin dingin klan Black Tiger itu ternyata belum benar-benar pergi. Bukannya meninggalkan tempat itu, ia justru memilih bersembunyi di balik tembok, diam-diam mengamati. Bukan karena peduli. Hanya … penasaran. Entah kenapa, ia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh kakeknya dengan wanita yang selama ini dianggapnya sebagai sumber keributan hidupnya. Dengan ekspresi teramat jengkel, Oscar memutar mata malas, lalu mendengus keras. ‘Dasar pria tua tidak tahu diri.’ Dalam hati, ia menggerutu. ‘Rambut sudah sepenuhnya putih. Wajah keriput. Jalan saja dibantu tongkat. Sisa usia tinggal sejengkal. Tapi kelakuan masih saja tidak sadar diri. Masih gatal. Masih bisa-bisanya memeluk wanita muda dengan hangat!’ Oscar melipat tangan, bersandar ke dinding dingin di koridor itu, menatap tajam ke arah sosok Morgan dan Beverlyn. ‘Dan selama ini, dia bilang dia mencintai Grandma-ku? Mana buktinya? Hah? Di belakang istrinya, dia sibuk memeluk wanita lain. Dasar gatal. Apakah dugaanku benar? Wanita itu dilindungi karena mau dijadikan istri muda? What the fùck, Morgan?’ Geramnya berputar-putar di kepala. Kemudian, bisikan dalam benak kembali menggema penuh ancaman. ‘Lihat saja nanti. Begitu aku pulang ke mansion, akan kuadukan semua ini pada Grandma. Biar dia dimarahi, dihukum. Syukur-syukur kalau Grandma mengusir dia dari rumah. Biar hidup kami tenang, tanpa suara-suara menyebalkan pria tua itu.’ Meski begitu, Oscar bukan membenci Morgan. Tidak mungkin. Cinta dan hormat itu tetap ada. Bahkan, bisa dibilang ia menyayangi Morgan lebih dari ia menyayangi ayah kandungnya sendiri—Lucas Spencer Kingston. Tapi akhir-akhir ini, kelakuan sang kakek memang membuatnya ingin menampar dinding. Iblis tua itu benar-benar keterlaluan. Dan ya, Oscar tahu kalau sikapnya kerap kali terdengar kurang ajar terhadap Morgan. Tapi apa boleh buat? Morgan sendiri yang memancingnya lebih dulu. Masih belum cukup, Oscar mengingat kembali satu hal yang paling membuatnya geram—gosip tentang orientasi seksualnya. Ia disudutkan, dijadikan bahan tertawaan dunia bawah tanah. Semuanya bilang kalau dia itu menyimpang. Gay. Penyuka sesama jenis. Seriously? What the hell?! Dan yang paling menyakitkan, sumber semua kabar itu … diduganya berasal dari Morgan sendiri. Setiap ia dekat dengan wanita, gadis-gadis manis yang sempat mencuri perhatiannya, semuanya menghilang dalam waktu kurang dari 24 jam. Tidak bisa dihubungi. Tidak bisa ditemui. Seolah ditelan bumi. Dan Oscar tahu, semua itu bukan kebetulan. Satu demi satu menghilang. Bukan karena mereka takut padaku. Tapi karena ada seseorang yang menyingkirkan mereka diam-diam. Dan satu-satunya orang yang mungkin cukup berkuasa untuk melakukan itu—adalah Morgan Grey Kingston—keturunan Kingston yang paling menyebalkan sepanjang sejarah. Hah—udahlah. Memikirkan semua itu hanya membuat kepalanya semakin berat. Semakin jengkel. Dan semakin ingin mencapik kepala kakeknya sendiri. Oscar mendengus kasar. Lebih baik dia pergi—sekadar menenangkan pikiran, mendinginkan otaknya yang panas, juga hatinya yang entah kenapa terasa sesak. Terserahlah Morgan mau berbuat apa dengan wanita merepotkan itu. Oscar tidak peduli. Tidak sekarang. Lelaki itu berbalik dan melangkah menjauh dari tembok tempatnya bersembunyi. Kali ini, dia benar-benar pergi. ** Beberapa menit kemudian… Beverlyn kini tengah duduk di sebuah ruangan yang berada tak jauh dari ruang pribadi Morgan. Masih di lantai yang sama. Namun suasananya—sungguh berbeda. Ruangan itu luas, gelap, dengan pencahayaan yang temaram. Cahaya redup keemasan menyorot dari lampu gantung antik di tengah ruangan, memantulkan bayangan samar pada dinding marmer gelap. Suasana di dalam ruangan itu begitu sunyi, nyaris tanpa suara, hanya terdengar bunyi detik dari jam dinding tua di salah satu sisi. Aroma kayu mahal dan tembakau mahal tercium samar, menciptakan atmosfer yang tak asing dalam dunia bawah tanah. Inilah ruangan paling penting di markas Black Tiger. Ruang rapat tertutup. Tempat keputusan-keputusan besar diambil. Tempat nama bisa diangkat … atau dihapus dari sejarah. Tak sembarang orang diizinkan menginjakkan kaki di sini. Bahkan tidak semua anggota klan bisa memasukinya. Hanya orang-orang tertentu—petinggi, ahli strategi, dan para penerus. Namun kini, Beverlyn Lovandra Vale duduk di salah satu kursi kulit hitam di ruangan itu. Satu-satunya wanita asing—yang bukan keturunan Kingston—yang pernah memasuki tempat ini. Wajahnya tampak sedikit pucat, tapi tidak menunjukkan rasa takut yang berlebihan. Tangannya mengepal di atas pahanya, matanya menatap ke sekeliling, menelusuri setiap sisi ruangan. Morgan berdiri di sisi kanan kursi Beverlyn. Nada suaranya tenang saat berkata, “Tenanglah. Kau tidak perlu takut.” Ia memberi jeda sejenak, lalu melanjutkan, “Kau harus mulai terbiasa dengan suasana seperti ini, Beverlyn. Karena ini adalah konsekuensi … saat seseorang memutuskan untuk menginjakkan kaki dalam kehidupan keluarga Kingston.” Suara pria tua itu dalam dan stabil. Ia tak ingin Beverlyn merasa terintimidasi. Tapi ia juga tak berniat menyembunyikan kenyataan bahwa menjadi bagian dari keluarganya bukanlah hidup yang biasa. Dan Beverlyn … harus mulai memahami itu. Beverlyn mengangguk pelan. “Ya, Grandpa. Aku hanya … mungkin aku hanya belum terbiasa … dengan suasana seperti ini,” ucapnya, mencoba tersenyum meski senyum itu tampak sedikit dipaksakan. Morgan mengangguk mengerti. Ia bisa memaklumi kebingungan itu—bagaimanapun, ruangan ini bukan tempat yang akan pernah terasa ramah, bahkan bagi mereka yang sudah bertahun-tahun berada dalam lingkaran Black Tiger. Tanpa berkata apa-apa, Morgan kemudian menarik kursi di hadapannya dan duduk perlahan. Punggungnya menyandar ringan, matanya menatap lurus ke arah Beverlyn. Lalu, dengan nada halus, ia bertanya, “Apakah liontin itu bersamamu sekarang?” Beverlyn menegakkan tubuhnya, lalu mengangguk kecil. Ia tahu betul liontin yang dimaksud oleh pria tua itu—benda kecil yang selama ini selalu ia jaga seakan menjadi bagian dari dirinya. “Iya, Grandpa. Liontin itu ada di dalam tasku,” ucapnya sembari menunduk dan membuka tas selempang yang tak pernah lepas dari bahunya. Tangannya menyusup masuk, dan sesaat kemudian, sebuah liontin mungil ia keluarkan dari dalam sana. Liontin itu tampak tua, namun tidak lusuh. Rangkanya terbuat dari logam perak antik yang sudah mulai memudar, dengan detail ukiran halus di setiap sisinya. Di bagian tengah, terdapat batu berwarna biru gelap berbentuk oval yang memantulkan cahaya redup dengan samar. Meski terlihat usang, ada kesan elegan dan bernilai tinggi dalam setiap sudutnya. Seperti benda yang tak sekadar perhiasan, melainkan menyimpan rahasia besar di dalamnya. Morgan menyodorkan tangan kanan pelan-pelan. Suaranya tenang namun penuh arti. “Boleh aku melihatnya?” tanyanya lembut. Beverlyn menatap tangan keriput itu sejenak, lalu mengangguk kecil sebelum meletakkan liontin itu di telapak tangan Morgan. Dan di detik itu pula—mata tua itu menajam. Tepat pada liontin yang kini berada dalam genggamannya. Sesuatu dalam pandangannya berubah. Seolah waktu yang lama terhenti di sana. Morgan memperhatikan liontin itu dalam diam. Jemarinya yang menua menyentuh permukaan logam perak itu perlahan, seolah sedang menyentuh peninggalan sejarah yang sangat rapuh—namun justru sangat kuat. Batu biru di bagian tengah liontin itu memantulkan cahaya redup dari lampu gantung di atas mereka, menciptakan bayangan samar di wajah Morgan. Ia menelusuri detail ukirannya dengan mata penuh kehati-hatian. Lalu, dengan gerakan nyaris tak terlihat, Morgan menyentuh sisi samping liontin dan menekannya sedikit. Sebuah klik kecil terdengar. Sangat halus. Dan batu tengah itu pun bergerak sedikit, membuka celah setipis kuku. Di balik celah itu, tersembunyi satu benda kecil: seukuran kuku jari kelingking—chip mikro transparan dengan titik-titik tembaga di dalamnya. Morgan menahan napas sejenak. Hanya satu chip, tapi di dalamnya tersimpan akses ke jaringan lama milik keluarga Vale—jaringan yang sempat mengendalikan sistem informasi keuangan dan transaksi gelap lintas negara, dan bisa membuka kembali pintu-pintu kemitraan besar, aliansi, dan juga konflik berdarah. Sementara itu, Beverlyn memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi Morgan. Dan ketika ia melihat wajah tua itu diam dalam sorot mata yang tak biasa, Beverlyn akhirnya bertanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Apakah benar dugaanku selama ini, Grandpa? Kalau liontin inilah yang membuat nyawaku … berada dalam bahaya?” Morgan menarik pandangannya perlahan dari liontin dan mengalihkan matanya ke arah Beverlyn. Untuk sesaat, dinginnya menguap. Garis wajah itu melembut. Bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang menenangkan. “Kamu akan baik-baik saja,” ujarnya tenang. “Justru, akan ada banyak pihak yang ingin mengucapkan terima kasih padamu. Termasuk Grandpa sendiri … karena kamu sudah menjaga liontin ini selama ini. Karena kamu—” Morgan menatap dalam, “—kamu adalah kunci dari benda ini, nak.” Beverlyn menatapnya, diam. Matanya menunjukkan keraguan yang sama seperti pertanyaan di dalam kepalanya. Ia belum benar-benar mengerti. Yang dia tahu hanyalah satu hal—liontin ini dulu dititipkan padanya oleh kakeknya, Thomas Vale, sebelum pria itu dibantai oleh kelompok mafia belasan tahun yang lalu. Ia masih kecil saat itu. Ia bahkan tak tahu arti sebenarnya dari benda itu. Namun kini, tatapan Morgan, nada suaranya, dan benda kecil yang tersembunyi di balik liontin itu, membuat semuanya perlahan mulai masuk akal. Benda kecil itu—chip kecil yang tersembunyi dalam liontin tua itu—telah mengubah hidupnya selamanya. Setelah memperhatikan liontin itu dengan penuh kehati-hatian, Morgan akhirnya menutup kembali celah kecil di tengahnya dan mengembalikan liontin itu ke tangan Beverlyn. “Simpanlah baik-baik. Jangan sampai hilang,” ucapnya pelan. Beverlyn menerima liontin itu dengan kedua tangan, lalu menatap pria tua itu dengan sorot mata ragu. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya membuka suara, suara yang sedikit menggetar. “Kalau misalkan … benda ini hilang karena ketidaksengajaanku, lantas apa yang akan terjadi, Grandpa? Apakah semua orang akan menyalahkanku termasuk kamu? Karena seperti yang kau bilang tadi, akan ada banyak pihak yang berterima kasih padaku karena telah menjaganya. Tapi … bagaimana kalau aku tidak sengaja menghilangkannya?” Morgan tidak langsung menjawab. Ia menatap Beverlyn dalam diam, sorot matanya tidak berubah. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. “Kamu tidak akan disalahkan oleh siapapun,” jawabnya akhirnya. “Tapi akan ada satu pihak … yang sangat berbahaya, yang akan mengincarmu. Kalau liontin ini hilang, dan jatuh ke tangan yang salah, maka mereka akan memburumu habis-habisan. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkanmu, karena benda ini tidak akan berguna tanpa kamu.” Morgan berhenti sejenak. Suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. “Seperti yang aku katakan tadi … kamu adalah kunci dari liontin ini. Bahkan aku sendiri tidak bisa melakukan apapun terhadapnya … tanpa kamu.” Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Beverlyn menunduk, terlihat berpikir keras. Sorot matanya menunjukkan kebingungan, dan Morgan memahaminya. Wanita muda itu bukan agen lapangan, bukan pula bagian dari dunia gelap yang mereka hidupi. Beverlyn hanyalah seorang dokter—seorang spesialis jantung berusia 28 tahun, yang selama ini hidup dalam logika dan sains, bukan konspirasi dan pelarian. “Kamu tidak usah terlalu memikirkannya,” ujar Morgan lebih lembut. “Saran Grandpa hanya satu: cukup berhati-hati dengan benda ini. Jangan sampai hilang, ya, Nak? Bila perlu, pakailah selalu.” Beverlyn mengangguk pelan. “Selama ini aku memang selalu memakainya, Grandpa. Hanya saja … kemarin, aku sempat melepasnya. Tapi ketika aku berada dalam bahaya, aku tidak melupakannya. Selain menyelamatkan nyawaku, aku juga memastikan liontin ini selamat. Dia menjadi prioritas … seperti yang selalu kamu ingatkan padaku selama ini.” Morgan tersenyum puas. Kepalanya mengangguk kecil. “Grandpa tidak salah mempercayakan semua ini padamu,” ujarnya dalam nada yang hangat. “Ya, Grandpa yakin padamu, karena bagaimanapun juga … kamu adalah seorang Vale. Dan Grandpa tahu … kamu tidak akan mengecewakan.” Beberapa menit berlalu sejak keheningan terakhir menyelimuti ruangan itu. Tidak ada suara lain kecuali detak waktu yang terasa lambat, seolah menunggu sesuatu yang belum diucapkan. Morgan akhirnya kembali membuka suara, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan mantap. “Sekarang … kita akan membahas satu hal penting,” ucapnya sambil menautkan jemari di atas tongkat yang bertumpu di lututnya. Tatapannya mengarah lurus ke wajah Beverlyn. “Sesuatu yang selama ini selalu Grandpa bicarakan padamu. Kamu masih ingat? Alasan kenapa Grandpa melarangmu menjalin hubungan dengan pria manapun di luar sana?” Beverlyn mengangguk pelan. “Ya, aku ingat, Grandpa,” jawabnya lirih namun mantap. Suaranya nyaris tenggelam dalam atmosfer ruang remang yang dingin dan penuh tekanan. Sejak dulu, Morgan memang selalu menekankan hal itu padanya—bahwa ia tidak diperkenankan menjalin hubungan dengan pria manapun, bahkan dengan rekan kerjanya sekalipun. Hubungan apa pun akan berakhir sia-sia, karena pada akhirnya … Beverlyn akan dinikahkan dengan pria yang sudah dipilihkan oleh Morgan sendiri. Dan tak ada ruang untuk menolak. “Tentu aku ingat,” ulang Beverlyn dengan napas yang sedikit bergetar. “Apakah … sekarang waktunya?” Morgan mengangguk perlahan, dengan senyum tipis yang nyaris tak terbaca maknanya. “Ya, sekarang adalah waktunya,” jawabnya tenang. “Grandpa tidak akan membawamu kesini kalau waktu itu belum tiba. Kamu akan menikah dalam waktu dekat … dengan pria yang sudah Grandpa pilih untuk mendampingi hidupmu.” Beverlyn menatap Morgan, sorot matanya memancarkan rasa penasaran yang teramat sangat. “Siapa, Grandpa?” tanyanya pelan, tapi jelas. “Siapa pria itu?” Morgan tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil … dan kembali terdiam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD