Sebelum Selamanya!
Hari-hari menjelang pernikahan biasanya jadi hari tersibuk sekaligus mendebarkan dengan rasa antusias untuk para calon pengantin, apalagi akan menikah dengan pujaan hati yang sangat dicintai. Namun, tidak bagi Hansika Kamaniya Lais. Jas putih masih utuh melekat pada tubuhnya, tangan mengerat gemetar memegang kemudinya. Tatapannya lurus menembus kaca mobil yang basah oleh hujan, mengarah ke rumah dua lantai bercat putih—rumah impian yang seharusnya akan segera ditinggalinya bersama calon suaminya setelah pernikahan. Lalu pandangannya bergeser memerhatikan sebuah mobil SUV hitam yang sangat dikenalinya. Entah sudah berapa lama ia berada di sana.
Petir menggelegar, diikuti hujan yang semakin deras. Hansika belum juga turun, hanya mematung dengan jantung berdegup cepat.
“Nando benar di sini,” gumamnya.
Tangannya terlepas, ia ambil ponselnya dan saat terbuka langsung menunjukkan ruang pesan dari nomor asing. Tangannya kembali bergetar dengan dadanya yang dipenuhi rasa sesak. Beberapa foto kebersamaan yang tak seharusnya ada. Bukan dirinya yang sedang pria itu rangkul pinggangnya, atau bahkan posisi intim yang menunjukkan hubungan lebih di belakangnya.
Detik itu, menjadi penentu jika kebahagiaannya yang disiapkan sejak berbulan-bulan bahkan setahun bisa hancur hanya dalam kurung waktu hitungan detik.
Ia menahan napasnya sejenak, lalu melepas lagi sambil terus mempertimbangkan. Saat akan menyimpan ponsel justru telepon masuk dari seseorang yang membuatnya tertegun beberapa detik lalu pilih mengabaikannya. Walau risikonya ia tahu, kepergian tanpa pengawalnya dan tanpa kabar hanya akan membuat orang tua tercintanya gaduh. Sekali lagi, selain ia tak bisa berpikir jernih setelahnya Hansika berhasil pergi sendiri, ia tidak butuh siapa pun untuk membuktikan kebenaran fotonya. Ia hanya ingin memastikan dengan mata dikepalanya sendiri.
Jaman ini teknologi sangat maju, bisa saja foto-foto itu editan? Sebagian kepalanya masih berusaha rasional, atau cintanya yang terlalu besar sampai lebih takut dengan kenyataannya?
Tangannya membuka pintu lalu segera keluar. Membiarkan air langsung menyerbu tubuhnya. Hansika membanting pintu karena terburu-buru... kaki jenjangnya berlari menuju teras. Lalu menuju pintu, tak perlu menekan bel, jarinya langsung menekan kombinasi angka dari tanggal pernikahannya nanti. Sandi pintu rumah yang mereka sepakati.
Begitu mudah ia masuk, langkahnya cepat hingga pandangannya menelusuri. Napasnya tercekat saat melihat ada sebotol Wine terbuka dengan dua gelas yang jelas baru beberapa waktu dinikmati bersama.
Jantungnya kian memompa cepat, lalu Hansika menuju kamar utamanya—kamar yang akan jadi miliknya dan suaminya nanti. Berada di lantai dua, namun belum sampai kakinya sudah semakin gemetar oleh rasa lemas. Perutnya mulai mual menemukan dua pasang sepatu, milik Nando dan lainnya jelas sepatu perempuan, berceceran seolah mereka terburu-buru melepasnya.
Ia memaksa langkahnya mendekat, samar-sama suara desahan menjijikkan terdengar semakin jelas hingga Hansika berhenti depan pintu.
“Aaaahh, ah! Nan-dooo!”
“Ya begitu sayang, kamu nikmat sekali!”
"Nando, lihat aku!" pinta wanita itu, "bahkan Hansika tidak akan bisa menyenangkanmu sepertiku, kan?"
Nando terkekeh, "tentu sayang. Jangan membahasnya, dia terlalu penurut dengan papinya itu. Ditambah, sial aku benci bodyguard-nya yang selalu bersamanya itu! Dia membuatku tidak bebas!"
Hansika mengepalkan tangannya erat, tidak mau menunggu lebih lama langsung membuka pintu.
Detik pertama, ia tidak percaya dengan apa yang dilihat.
Detik kedua, seluruh tubuhnya membeku.
Detik ketiga, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Keadaan paling menjijikkan itu ada di atas ranjangnya. Baju mereka juga berserakan di atas lantai. Matanya menatap pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan mendapati dua tubuh yang saling merengkuh.
Seketika, waktu berhenti bersamaan sesuatu di dalam dirinya pecah berkeping-keping. Perempuan yang tengah mendesah kenikmatan dengan inti tubuh mereka yang menyatu, perempuan itu terus bergerak di atasnya, sementara pria itu mendekap dengan menenggelamkan wajah dalam ceruk leher si wanita. Di luar hujan, dinginnya membuat menggigil. Tetapi dua manusia ini tengah berpeluh.
Matanya menahan perih, tapi rasa mual ingin muntah lebih mendesaknya.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bukan, melihat calon suaminya bercinta di rumah, kamar bahkan di atas tempat tidur yang harusnya hanya diperuntukkan untuk mereka.
Langkahnya alih-alih mundur, justru membuat Hansika punya tenaga untuk melangkah bahkan berlari.
“Kalian benar-benar b******n menjijikkan!” Teriak Hansika yang langsung membuat keduanya membeku, terdiam “in our bed?! The night before our wedding?! Apa kamu enggak waras, Nando?!”
Nando mendorong perempuan itu dari atas tubuhnya, terburu untuk meraih apa pun supaya menutupi bagian bawah tubuhnya yang belum tuntas. Hansika menatap marah, dan saat perempuan yang tadi menunggangi calon suaminya berbalik. Menunjukkan wajah, ia jauh lebih murka hingga tangannya terangkat dan menyasar rambut panjang berantakan tersebut.
“Akhhhh! Han-hansika, lepaskan!”
“Persetan jalaaang! Aku enggak akan memberimu ampun!” Dia semakin menariknya, perempuan yang beberapa detik lalu mendesah kenikmatan, kini langsung berteriak menahan sakit karena perbuatannya.
“Han-hansika!” Nando yang sudah memakai boksernya, mendekat. Berusaha membuat calon istrinya berhenti menyiksa perempuan itu. “Hansika, lepas!”
Tidak Hansika hiraukan, sampai Nando menarik tangan Hansika dan mendorongnya.
“Aku bilang, berhenti!” sentak Nando dengan suara tinggi.
Hansika mundur, kemudian tatapan mata mereka beradu. Hansika tidak menangis sama sekali. Nando mengusap wajahnya kasar, lalu Hansika mundur dengan tangan gemetar ia meraih cincin pertunangan mereka, dan ia lemparkan tepat ke wajah Nando. Cukup keras bahkan mengenai mata Nando.
“Hansika!” Dia mengumpat.
Lalu ia melirik pada perempuan yang sudah menutupi tubuh penuh tanda kemerahan menjijikkan itu dengan selimut. Dia tertunduk.
“A-apa salahku pada kalian? sampai kalian melakukan semua ini di belakangku?!” bisiknya dan tidak ada yang menjawab.
Napasnya masih terengah-engah, Hansika menggelengkan kepala pelan. Lalu wajahnya berpaling sesaat. Hatinya yang hancur berusaha mengais sisa kekuatannya.
“Pasti sudah lama,” katanya lagi. Hening hingga Nando hendak mendekat dan Hansika mundur.
“Kenapa harus temanku, Nando?” tanyanya lagi, kemudian ia menggeleng pelan dan berbalik.
Nando segera meraih tangannya, mencekalnya, “Hansika... aku bisa jelaskan.”
“Kamu pikir aku butuh penjelasanmu? Semua yang kulihat sudah menjelaskan segalanya!” lalu ia melirik Nayla, “ambil saja pria ini! Kalian memang cocok!”
Hansika kembali berbalik, pergi. Sudah pasti pernikahannya akan dibatalkan, namun ia baru akan menuruni tangga saat Nando bergerak cepat menghalangi jalannya.
“Minggir!” Ia menatap marah, tajam pada pria yang sebenarnya ia cintai.
“Enggak akan, Babe! Kamu enggak akan pergi sebelum kita bicara!”
“Dasar enggak tahu malu, masih berani panggilku begitu?! Sekarang yang ingin kulakukan hanya memberitahu keluargaku, perbuatanmu kalian ini!" Sakit sekali hatinya.
Nando seolah melepas topeng yang selama ini dipakainya saat mendekat, tatapannya berubah. Alarm tanda bahaya muncul dalam hati Hansika, terutama saat langkah mundurnya sudah terpojok.
“Kamu pikir aku akan biarkan kamu keluar dari sini, Babe? Lalu membatalkan pernikahannya?”
Hansika menepis tangan yang akan menyentuhnya, namun tiba-tiba Nando mengurungnya dan tangannya mencengkeram leher Hansika.
“Nando! Le-lepas!” Hansika sampai sulit bernapas.
Pria ini tidak pernah bersikap kasar, seingatnya. Bahkan selalu menghargainya. Tapi hari ini, saat Hansika berusaha mendorongnya, Nando justru semakin menahannya bahkan dengan sentuhan kasar. Dia menarik rambut Hansika yang agak lembap karena menerobos hujan tadi.
Air matanya yang tadi tertahan akhirnya jatuh, saat Nando mencengkeram wajahnya dan menyeringai, “susah payah aku mendapatkan tuan putri sepertimu. Dibanding kubiarkan kamu bertingkah, lebih baik kita berbulan madu lebih dulu. Terlebih sekarang, bodyguard sialanmu itu enggak menjagamu seperti biasa!” Katanya dan saat ia hendak mendekat, Hansika tetap berpikir.
Ia mengingat dasar-dasar bela diri yang sempat diajarkan oleh seseorang—lalu ia biarkan Nando berpikir menang saat perlawanannya berkurang padahal ia menitikkan kekuatan pada lutut dan...
“Ah, Sial!” Nando mengaduh saat Hansika menendang tepat ke kejantanannya. Ia langsung menjauh, membungkuk memegangi bagian prinadi yang berdenyut sakit, ngilu yang luar biasa dari tendangan perempuan.
“Kamu harusnya berpikir ulang sebelum bersikap makin b******n, dan tahu berhadapan dengan siapa?! Putri keluarga Lais, enggak bisa kamu perlakukan begini, sialaan!” katanya.
Hansika berlari menuju tangga, tapi tiba-tiba seorang memukul kepalanya dari belakang.
Pukulan keras membuat pandangannya berkunang. Ia menyentuh belakang kepala, merasakan darah mengalir di ujung jarinya.
Ia bawa telapak tangannya ke depan, dan warna merah itu juga mengenai ujung lengan jas putih kebanggaannya. Ia berbalik, perempuan tadi berdiri dengan wajah tegang.
“Ka-kamu...” Hansika tidak percaya, perempuan ini membantu Nando.
“Kerja bagus sayang!” Ucap Nando dan menyeringai dan bangkit ia meraih tangan Hansika. Lalu tidak pedulikan tangis Hansika saat menyeretnya, tenaganya hampir mengajaknya menyerah. Benar-benar menyerah. Ia yakin Papi, keluarganya bahkan pengawal setianya akan menemukannya.
Hansika benar-benar menyesal sudah kabur sendiri tadi. Tanpa penjaganya.
Ia menatap tangga, Hansika menarik tangannya kemudian menggigit keras lengan Nando. Begitu kembali berhasil, meski berdarah-darah kepalanya, Hansika langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.
Dua orang ini berbahaya! Mereka bisa melakukan apa pun, bahkan membunuhnya. Hansika harus bisa pergi dari sana, bagaimana pun caranya.