“Rambutmu bisa botak jika kamu mengacak-acaknya sekasar itu, Gwen.”
Bahu Gwen langsung merosot lemas, tangan dan kakinya bahkan langsung lemas. Tidak, tidak… ia harap ini semua cuma mimpi. Diantara sebelas jiwa lebih orang di Jakarta, kenapa Gwen harus bertemu lagi dengannya?
“Gwen?” pria dengan suara berat itu kembali memanggilnya, suara berat yang juga meneriakkan namanya ketika pelepasan nikmat saat bercinta di ranjang yang ada di Bali.
Dihadapannya kini adalah Sean Mahardika—yang entah bagaimana bisa kembali dihadapannya dan bertemu dengannya. Tersenyum tanpa dosa ketika menemuinya lagi walaupun kini sudah beristri.
Gwen segera berdiri dari duduknya, menatap Sean tidak suka. “Kenapa kamu bisa disini?!”
“Kan sudah aku bilang kalau aku akan mencarimu sendiri.” Jawab Sean dengan senyuman yang membuat wajahnya semakin terlihat tampan. Bahkan beberapa pekerja kantoran yang baru pulang dan berada di halte ini langsung menatap Sean terang-terangan.
Bagaimana tidak melihat secara terang-terangan jika pria yang berdiri disamping Gwen berfisik bak aktor film barat yang tinggi, putih, tampan, dan sangat rapi dengan setelan jas kerjanya.
“Kamu menguntitku, ya?!” tuduh Gwen.
Sean berpikir sejenak. “Hm… sepertinya tidak menguntit. Aku hanya meminta sekertarisku untuk mencari keberadaanmu.”
Gwen mendesah frustasi dihadapan Sean. “Itu sama saja!”
“Hei, kenapa marah-marah? Setelah lama tidak bertemu bukankah seharusnya kamu bersikap manis seperti di Bali saat itu?”
Gwen memicingkan matanya, telunjuknya menekan d**a Sean berkali-kali. “Sebaiknya kamu dan sahabatmu itu pergi menjauhiku sekarang. Entah apa yang kamu bilang pada Xavier sehingga ia menganggapku wanita murahan.”
“Xavier? Kamu mengenalnya?”
Gwen lalu mengibaskan tangannya. “Sudahlah, kalian sama-sama menyebalkan.”
“X bilang apa padamu?”
Gwen meliriknya dan berdecak, “tanya saja sendiri padanya dan lebih baik kamu pulang saja, Sean. Istrimu menunggu dirumah. Aku mau pulang, bus-ku sudah datang.”
Bus TransJakarta akhirnya merapat, pintunya terbuka dengan suara desis khas. Gelombang orang langsung bergerak, sebagian keluar, sebagian lagi berebut masuk. Gwen melangkah cepat, mencoba menyelinap di antara kerumunan. Namun dari sudut matanya, ia sadar—Sean ikut naik bersamanya.
Bagi Gwen, itu sudah cukup membuat kepalanya pening. Tapi bagi Sean—CEO muda, pewaris keluarga konglomerat, terbiasa dengan mobil mewah dan sopir pribadi—ini adalah pengalaman yang aneh sekaligus asing.
Begitu masuk, tubuh Sean langsung terdorong arus penumpang lain. Jasnya sedikit terlipat, sepatu kulitnya terinjak seseorang tanpa sengaja. Wajahnya sempat menegang, jelas tidak terbiasa berada di tengah kerumunan sesak yang bergerak tanpa ampun.
Gwen sempat menoleh, hampir tak bisa menahan senyum kecilnya melihat ekspresi Sean. Lucu, pikirnya, pria setampan dan sekaya ini—yang terbiasa disuguhi kenyamanan—kini berdiri kikuk di antara pekerja kantoran, mahasiswa, hingga ibu-ibu dengan belanjaan.
Orang-orang terus mendorong, dan Sean spontan bergerak ke sisi Gwen, menempatkan tubuhnya sebagai perisai. Ia berdiri tepat di belakang Gwen, satu tangannya terangkat memegang gantungan besi, tubuhnya melindungi Gwen dari senggolan penumpang lain.
“Diam di sini. Aku tidak mau kamu terhimpit,” gumam Sean rendah di telinganya. Suaranya berat, nyaris tertelan riuh bus, tapi cukup membuat wajah Gwen memanas.
Ketika bus berhenti mendadak, tubuh Gwen ikut terdorong ke depan, namun tangan Sean cepat menahan pundaknya, menjaga agar ia tetap tegak. Jarak mereka terlalu dekat, sampai Gwen bisa merasakan wangi aftershave Sean yang bercampur samar dengan aroma kulit dan sabun dari tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, seorang penumpang berdiri dari kursinya. Tanpa ragu Sean menepuk bahu Gwen. “Duduklah,” ucapnya singkat.
“Tapi kamu—” Gwen hendak menolak, namun Sean sudah menarik pelan sikunya, membimbingnya duduk di kursi kosong itu. Sean sendiri tetap berdiri, tubuh tegapnya menjulang, tepat di hadapan Gwen. Satu tangan memegang gantungan besi, sementara mata tajamnya menyapu sekeliling—gelisah sekaligus awas.
Gwen menatap wajah Sean dari bawah, melihat guratan resah yang jarang terlihat di wajah pria itu. Wajah yang biasanya tenang dan percaya diri kini sedikit tegang, seolah Sean merasa tidak pada tempatnya di tengah hiruk pikuk rakyat biasa.
Tanpa sadar, bibir Gwen melengkung tipis. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya melihat Sean dalam keadaan seperti ini—rentan, kikuk, tapi tetap berusaha melindunginya.
Bus terus melaju, melewati halte demi halte, hingga akhirnya Gwen berdiri bersiap turun. Sean segera mengikutinya, langkah panjangnya tak pernah lebih dari dua jengkal di belakang Gwen.
Begitu kaki mereka menginjak trotoar, Gwen berjalan cepat menembus keramaian jalanan sore. Sean tetap mengiringi, kali ini lebih tenang, tanpa banyak bicara. Jalan kecil membawa mereka ke arah kos eksklusif tempat Gwen tinggal, gedung modern dengan pagar tinggi dan resepsionis di depan.
Gwen berhenti di depan pintu masuk, menoleh tajam ke arah Sean. “Kamu nggak seharusnya ikut sampai sini,” katanya dingin.
Sean hanya menatap balik, matanya gelap namun berkilat. “Aku sudah bilang, Gwen. Aku akan mencarimu. Dan aku akan terus di sini… sampai kamu berhenti menghindariku.”
Tepat setelah Sean berucap seperti itu, tetes-tetes air hujan mulai turun. Gwen hanya menghela napasnya. “Kamu akan tetap disini walaupun hujan?”
“Tentu saja, yang terpenting kamu tidak menghindariku lagi.”
“Sean,” Gwen terlihat resah, ia menyisir rambut panjangnya—yang malah membuat Sean terpesona akan kecantikannya. “Harus berapa kali aku bilang? Kamu sudah punya istri, kamu sudah menikah. Maka berhenti datang padaku.”
Gwen kemudian membalikkan badannya, hendak masuk. Sampai ucapan Sean menghentikan langkahnya.
“Itu semua hanya pernikahan bisnis. Tidak ada cinta antara aku dan Nadine. Aku bahkan tidak menyentuhnya sampai sekarang.” Ucap Sean.
“Sampai sekarang?” Gwen membalikkan badannya, menatap Sean tak percaya.
Sean hanya mengangguk, tetes-tetes air hujan kemudian turun semakin deras disertai anginnya. Gwen berdecak, lalu dengan cepat menggenggam tangan Sean dan menariknya masuk ke Gedung kosnya.
“Masuklah dulu, meneduh sampai hujannya reda.”
Hujan deras di luar kamar jatuh bertalu-talu, menimbulkan irama konstan di balik jendela kaca yang sedikit berembun. Gwen menyalakan lampu kuning hangat, dan seketika kamar kecilnya dipenuhi suasana yang intim. Lantai kayu parket berkilau lembut, rak buku mungil berisi novel dan planner, meja kerja sederhana dengan vas bunga kering—semuanya rapi, sederhana, namun penuh kepribadian. Ada wangi lavender dari lilin aromaterapi di sudut, aroma yang selalu mengingatkan Gwen pada rumah.
Sean berdiri di tengah ruangan, mengedarkan pandangan. Bagi pria yang terbiasa dengan penthouse dan kamar hotel seluas aula, ruangan ini bahkan tak lebih besar dari walk-in closet miliknya. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami bagaimana Gwen bisa tinggal di ruang sekecil ini dan tetap menjadikannya begitu hangat.
Gwen menangkap ekspresinya, lalu bersandar ke meja kayu kecil, menyilangkan tangan di d**a. “Kenapa? Terkejut lihat kamar kos sekecil ini?” nada suaranya tenang, tapi ada sedikit getir di ujung kalimat.
Sean menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Aku tidak terkejut,” jawabnya akhirnya. “Aku hanya… kagum. Kamu bisa membuat ruang kecil jadi terasa… lebih hidup.”
Gwen terdiam, sedikit canggung. Ia berbalik, pura-pura sibuk merapikan selimut di ranjang, padahal pipinya memanas. Suasana kamar mendadak dipenuhi keheningan yang janggal, hanya suara hujan dan napas mereka yang terdengar.
Ia kemudian mengambil handuk kering dari lemari kecil yang ada didekat kasurnya, mulai mengeringkan rambut basahnya dan juga melepaskan cardigannya yang tadi menutupi bagian daaa dari dress yang ketat. Begitu dilepas, Sean dapat dengan jelas melihat buah dadaa besar dan belahan dadaa Gwen itu.
Sean melangkah mendekat, hingga jarak mereka hanya tinggal sehelai napas. Gwen bisa merasakan kehadirannya di belakang punggungnya—aroma aftershave, kehangatan tubuhnya, getaran samar dari langkahnya. Perlahan, Gwen menoleh, dan mereka bertatapan.
Waktu seolah berhenti. Mata Sean yang gelap dan dalam menahan pandangan Gwen, menelusuri wajahnya dari mata, hidung, hingga bibir. Tanpa sadar, Gwen membiarkan dirinya larut dalam sorot mata itu, seakan ada magnet yang menariknya lebih dekat.
Tangan Sean terangkat, perlahan menyentuh lengan Gwen, lalu menariknya lembut ke dalam dekapannya. Gwen tidak melawan. Ia terdiam, membiarkan tubuhnya melebur dalam pelukan Sean yang hangat dan kokoh. Jantungnya berdetak begitu keras, seolah hendak pecah.
Dalam pelukan itu, napas mereka bercampur, wajah mereka hanya berjarak tipis. Sean menundukkan kepala, bibirnya mendekat begitu dekat hingga Gwen bisa merasakan hembusan napasnya di kulit wajahnya.
Namun justru karena kedekatan itu, kesadaran menusuknya lebih dalam. Gwen menutup mata rapat, berusaha menahan gejolak yang kian membakar. Lalu, dengan suara lirih namun tegas, ia berkata, “Sean… kamu seharusnya kembali pada istrimu. Itu tempatmu. Bukan di sini, bersamaku.”
Sean terdiam, matanya menatap Gwen dalam-dalam. Wajahnya mendekat, begitu dekat hingga bibirnya nyaris menyentuh bibir Gwen. Napasnya berat, penuh perlawanan antara logika dan hasrat.
“Aku tahu aku sudah menikah sekarang.” Ucapnya perlahan, suaranya serak. “Tapi aku merasa tidak bisa jauh lagi darimu.”
Gwen menatapnya, mata berkaca-kaca, hatinya berteriak ingin menolak, tapi tubuhnya terperangkap dalam pelukan itu.
Sean menurunkan suaranya lebih dalam, nyaris berbisik. “Kamu bisa memintaku kembali pada Nadine beribu-ribu kali. Tapi sebaliknya, aku juga akan kembali lagi kepadamu daripada kepada istriku sendiri.”
Jarak di antara mereka semakin tipis, nyaris lenyap. Gwen menahan napas, matanya bergetar, bibirnya terbuka sedikit tanpa suara.
Dan saat itu juga, Sean berbisik, kata-kata yang menghantam d**a Gwen bagai kilat di tengah badai. “If we can’t together as a married couple. So, would you be… my mistress?”
Kata-kata itu meluncur di antara jarak tipis bibir mereka. Gwen membeku, matanya bergetar, tubuhnya tertahan dalam dekap Sean. Bibir mereka nyaris bersentuhan—hanya tinggal sehelai rambut di antara mereka—dan di titik itu, dunia seakan lenyap, menyisakan hanya mereka berdua, dalam ruang kecil penuh kayu dan wangi lavender, diiringi hujan deras yang menjadi saksi.
---
Follow me on IG: segalakenangann