[chapter 21+]
Kilatan kamera terakhir menyala, lalu suara fotografer terdengar puas.
“Perfect, Sean. Itu cukup untuk sesi pagi ini.”
Para fotografer berkemas, asistennya merapikan properti. Gwen, yang sejak tadi berdiri kaku di sudut ruangan, segera melangkah maju, berusaha menjaga suaranya tetap profesional meski dadanya masih berdebar kencang.
“Pak Sean, saya hanya ingin mengingatkan… Anda harus bersiap ke altar tiga puluh menit lagi.”
Sean menoleh. Tatapan matanya menusuk, tidak berkedip. Ada sesuatu dalam sorot itu—kejutan, marah, sekaligus rindu—yang membuat Gwen hampir terjebak lagi.
Gwen menelan ludah, mencoba fokus. “Saya akan kembali ke bawah untuk memastikan venue siap.”
Namun sebelum ia berbalik, suara Sean yang dalam dan tegas memotong udara.
“Tinggalkan kami berdua.”
Semua kepala menoleh. Fotografer dan staff saling pandang, bingung, tapi Sean tidak menunggu persetujuan. “Keluar. Sekarang.”
Tidak ada yang berani membantah. Dalam hitungan detik, ruangan itu sunyi. Tinggal Gwen dan Sean, berdiri berhadapan dengan jarak yang terlalu dekat untuk disebut aman.
Gwen meremas clipboard di tangannya, menahan diri agar tidak terlihat goyah. “Kenapa… kamu melakukan itu? Aku di sini bekerja.”
Sean melangkah mendekat, langkah kakinya berat namun pasti. “Bekerja? Jadi itu alasanmu pergi tanpa sepatah kata pun pagi itu? Meninggalkan aku begitu saja, seolah malam itu tidak pernah terjadi?”
Gwen menunduk, menggigit bibirnya. “Malam itu… sebuah kesalahan. Aku tidak seharusnya—”
“Tidak seharusnya pergi begitu saja? Aku sudah bilang akan mengantarkanmu pulang malam itu—sebelum kita bercinta.” Ucap Sean.
Gwen menggelengkan kepalanya. “Sudah aku bilang malam itu adalah kesalahan. Kita berdua mabuk, terlalu terbawa suasana. Anggaplah kita hanya partner one night stand.”
“Partner one night stand katamu?” Sean tertawa miris. “Aku tidak tidur dengan sembarang wanita dan kamu juga tidak tidur dengan sembarang pria, bukan?”
Gwen mengerjapkan mata, lalu mendongakkan dagunya. “Kata siapa? Aku tidur dengan banyak pria—”
“Tidur dengan banyak pria tapi masih perawan?” Sean memutus ucapan Gwen, membuat Gwen langsung mengatupkan kedua bibirnya karena malu. “Dan aku jadi pria pertama yang menyentuhmu, Gwen.”
“Sebaiknya kamu lupakan itu, Sean. Kamu akan menikah.” Ucapnya. “Dan bodohnya aku tidak mengetahui jika Sean Mahardika yang akan menikah dengan Nadine Park yang secantik itu adalah pria yang tidur bersamaku kemarin malam. Itu benar-benar kesalahan besar.”
“Tutup mulutmu.” Sean menahan kata-katanya dengan nada serak, penuh amarah yang dibungkus kerinduan. Ia kini berdiri tepat di hadapannya, tubuhnya menjulang, panas napasnya terasa di wajah Gwen. “Jangan pernah bilang itu kesalahan. Karena aku tidak bisa melupakannya.”
Gwen membeku. Punggungnya bersentuhan dengan kaca dingin jendela besar yang menghadap rimba tropis. Dari luar, cahaya pagi menyorot masuk, membuat bayangan mereka terpantul samar di kaca.
Sean mendekat lebih jauh, wajahnya hanya sejengkal. “Kamu tahu? Aku benci kenyataan bahwa aku menikah hari ini… tapi yang ada di pikiranku hanya kamu.”
Gwen mengerjap, hatinya berperang. Semua logika berteriak agar ia mendorong Sean menjauh, mengingatkan bahwa ia hanyalah event coordinator yang kebetulan bertemu dengan pengantin pria. Namun tubuhnya tidak patuh.
Saat Sean mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh pelipis Gwen, menelusuri pipinya dengan lembut, Gwen hampir menyerah. Napasnya tercekat.
“Itu semua tidak berarti. Kamu harus melupakannya.” Lirih Gwen.
“Kalau memang tidak berarti…” bisik Sean, suaranya dalam, “kenapa aku tidak bisa melupakanmu?”
Sebelum Gwen sempat menjawab, Sean menunduk, meraih bibirnya.
Ciuman itu meledak bagai badai yang tertahan terlalu lama. Hangat, menuntut, dan nyaris putus asa. Gwen terhuyung sesaat, tapi tangannya secara refleks meraih kerah jas Sean, menariknya lebih dekat.
Sean merangkul pinggang Gwen, menekan tubuhnya ke kaca. Suhu dingin dari jendela kontras dengan panas yang membakar tubuh mereka. Gwen sempat ingin mendorong, tapi tubuhnya berkhianat; ia justru tenggelam lebih dalam dalam ciuman itu, merasakan setiap tarikan napas, setiap desakan hasrat yang tak pernah ia duga akan kembali muncul di hari Sean menikah.
Gwen menghela napas terputus-putus di sela ciuman, tubuhnya gemetar. Sean menurunkan ciumannya ke rahangnya, lalu ke lehernya, membuat Gwen menahan desah lirih dengan bibirnya sendiri ketika tangan Sean ikut andil dan meremas buah dadaanya. Bahkan Sean melakukan hal gila karena mulai melepas tiga kancing teratas Gwen di sela-sela ciuman mereka.
“Sean…” suaranya lirih, nyaris pecah. “Kita tidak boleh—”
Sean berhenti sebentar, menempelkan dahinya ke dahi Gwen, napasnya memburu. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu aku menginginkanmu, bahkan lebih dari apa pun sekarang.”
Tatapan mereka bertemu lagi, dan seakan waktu berhenti. Gwen bisa merasakan hatinya runtuh, logikanya terkalahkan oleh sesuatu yang lebih kuat—perasaan yang bahkan tak bisa ia beri nama.
Dan sekali lagi, bibir mereka bertemu, lebih dalam, lebih intens. Kali ini tanpa penolakan.
Lalu—ketukan pintu keras dari luar memecah segalanya.
“Pak Sean, waktunya berganti jas untuk prosesi utama!” suara salah satu staff terdengar.
Gwen tersentak. Dengan cepat ia mendorong d**a Sean, wajahnya memerah. “Aku harus kembali bekerja.” Suaranya terguncang, tapi ia memaksakan diri keluar.
Sean tidak mengejarnya, hanya berdiri terpaku di depan kaca besar, napasnya berat. Tatapannya gelap, menahan sesuatu yang tak boleh ia ucapkan.
Ia baru saja hampir menghancurkan pernikahannya—sebelum janji suci itu terucap.
***
Begitu Gwen keluar dari kamar Sean, ia langsung tersentak kaget begitu melihat Xavier yang bersandar disamping pintu kamar dengan kedua tangan terlipat didepan dadaa.
Xavier meliriknya, “sudah?”
Gwen sontak mengulum bibir, kelihatan salah tingkah mengingat Sean barusaja mencumbunya dengan begitu brutal. “A-apa yang kamu maksud sudah? Tadi didalam aku hanya mengingatkan Sean untuk segera ke altar tiga puluh menit lag—”
Ucapan Gwen sontak terhenti ketika Xavier langsung menarik tangannya dan berpindah masuk ke kamar sebelah Sean—yaitu kamar Xavier. Pria itu mengajak Gwen masuk ke kamarnya begitu para staff Sean yang lain mulai kembali berdatangan ke kamar Sean. Begitu masuk ke kamar, Xavier langsung mendorong Gwen ke dinding dan menyentuh kancing kemeja Gwen.
Gwen sontak berteriak dan menahan tangan Xavier. “Apa yang kamu lakukan?!”
“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan dengan Sean didalam sana hingga kamu keluar dengan tiga kancing teratas yang terbuka?!” Nada Xavier meninggi, wajahnya resah, namun ia dengan cepat mengkancingkan kembali kemeja Gwen yang tadinya sampai memperlihatkan belahan dadaa Gwen. “Bagaimana kalau staff lain yang melihat? Mereka bisa berpikiran aneh-aneh.”
Gwen berdeham, lalu menundukkan kepala. “Waktuku tidak banyak, aku harus bekerja.”
“Ya, sebaiknya kamu bekerja dengan baik dan jangan menghancurkan pernikahan orang lain.” Ucap Xavier ketika Gwen melangkah melewatinya sebelum keluar dari kamar. “Kamu hanya orang baru bagi Sean, sedangkan aku mengenal Sean dan keluarganya dari aku kecil. Jadi sebaiknya perhatikan setiap langkahmu dan jangan macam-macam dengan Sean serta keluarganya.”
Xavier hanya mengingatkan, namun Gwen memilih untuk menganggapnya sebagai angin lalu. Kini fokusnya adalah mempersiapkan pernikahan pria yang barusaja menciumnya sebelum menikahi Nadine Park.
---
Follow me on IG: segalakenangann