Di dalam rumah itu memang semewah kelihatannya. Rumah yang didominasi dengan warna putih, entah dari funiture atau dindingnya, membawa perasaan damai dan tenang. Elegan.
"Kamar pak Candra ada di lantai dua–"
Jennie sibuk mengagumi segala sesuatu yang ada di sana, dan saat suara satpam itu terdengar, dia segera menoleh. Mengangguk, "Iya, pak! Makasih. Kalau gitu saya ke sana dulu!"
Pak Odi jelas melihat binar bahagia dimata ibu muda itu. Tiba-tiba, dia ingin segera menghentikan Jennie yang sudah naik kelantai atas. Dia mendongak, melihat lampu kristal yang menggantung indah di langit-langit. Dia tau resiko melakukan ini. Membawa seseorang masuk kedalam rumah tanpa izin bosnya ... ah ... Mengapa kehidupan orang kaya begitu rumit? Untung saja gajinya besar, kalau tidak, Pak Odi tidak yakin dia akan bisa bertahan selama dua tahun ini.
Di sisi lain, Jennie hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju sebuah pintu. Itu adalah pintu yang sangat besar. Dilihat sekilas, pun, dia tau bahwa itu adalah kamar utama yang merupakan kamar Candra. Jennie menelan ludah gugup, jantungnya berdebar dengan cepat. Ada senyum yang tidak bisa dia tahan di setiap langkah kakinya.
"Can...sayang!"
Hanya tinggal tiga langkah lagi ketika tubuhnya membeku ditempat. Mendengar suara yang jelas-jelas dia tau itu suara apa. Langkahnya melambat, suara itu sangat nyaring, membuat telinga Jennie berdengung mendengarnya.
"...yah, sayang..."
Desahan serak-berat seorang pria terdengar, beriringan dengan suara si perempuan yang mendesah penuh kepuasan.
Tangan Jennie gemetar, meraih gagang pintu kamar yang tidak terkunci. Harap-harap cemas. Semoga dia salah rumah. Meski suara pria didalam memang familiar...
"Sayang..."
"Hum?"
Brak!
Saat pintu terbuka dengan keras. Jennie membeku. Dan kedua pasang manusia di atas ranjang besar itu juga membeku. Waktu tampaknya berhenti, detiknya yang lamban membuat sebuah anak panah melesat dengan tajam, menikam hati Jennie dengan kejam.
Pria yang jelas-jelas adalah Candra itu segera bangkit, memakai celananya.
"APA YANG KAMU LAKUIN!!" Jennie meraung. Berlari menjambak rambut wanita ditempat tidur.
"Haaa–lepas! Lepas!" Wanita itu berteriak kesakitan. Tubuh telanjangnya terseret karena jambakan Jennie yang keras.
Jennie melepaskan jambakan, nya dengan nafas memburu karena marah. Dia meraih sebuah buku tebal di atas meja, membentur-benturkan, nya pada kepala wanita itu. Disaat itulah, Candra bereaksi. Dia menarik Jennie, melemparkannya hingga Jennie terseret membentur tembok.
"Cukup!" bentak Candra dengan dingin.
Pandangan Jennie kabur karena air mata, kepalanya sakit karena terbentur dan suara sentakan dingin Candra membuat tubuhnya gemetar.
"BIADAB KAMU MAS! b******k!"
Rasa sakit, kecewa, semua harapan terakhirnya nyatanya seperti bola lampu yang tergantung di tali yang sudah lapuk. Hanya menunggu angin menerpa sebelum akhirnya jatuh. Pecah berkeping-keping. Air mata yang sudah dia tahan selama empat tahun terakhir, saat suaminya sudah mulai jarang mengabari, jatuh begitu saja. Harapannya musnah tak berbekas. Apa ini? Dia menunggu selama itu, setia menunggu bersama anak-anaknya, menunggunya pulang...
Saat Jennie tersadar, tubuhnya sudah diseret keluar oleh Candra. Dia terhuyung-huyung, mengikuti setiap langkah Candra keluar dari rumah itu.
"LEPAS! LEPASIN AKU! JAHAT! b******k!" Jennie meronta, mengucapkan kalimat sumpah serapah pada Candra.
Pak Odi kaget ketika melihat bosnya yang hanya mengenakan boxer menyeret wanita itu dengan kasar. Pak Odi dengan khawatir segera mengikuti dengan rasa takut.
"Saya gaji kamu bukan buat masukin orang asing seenaknya kedalam rumah!" bentak Candra pada pak Odi.
"Ma-maaf, pak!"
"Mas! Tega kamu, mas! Aku, aku nungguin kamu selama itu dan apa yang kamu kasih ke aku! Kamu selingkuh! b******k! b******n!" Jennie yang dilempar keluar dari pintu bangkit, meraung dengan marah kearah Candra.
"Sayang?" Suara lembut seorang wanita terdengar dibelakang Candra. Wanita itu adalah selingkuhan Candra. Dia sudah tidak lagi telanjang, melainkan memakai sebuah dress dan rambutnya masih agak acak-acakan.
"Hei, kamu gak pa-pa?" tanya Candra dengan nada lembut. Meraih perempuan cantik itu kedalam rengkuhannya. Tatapan kejam Candra beralih pada Jennie.
"Udah selesai?" tanyanya mengejek. "Pak Odi, keluarin dia dari sini," Setelah itu, Candra kembali masuk kedalam rumah bersama wanitanya.
"Mas Candra! Aku kangen sama kamu mas! Anak-anak pengen ketemu ayahnya! Tya sama Dika udah besar! Kenapa...kenapa...kenapa..."
Jennie jatuh tergugu didepan pintu. Menangis dengan keras, mengasihani nasibnya sendiri.
"Bu, bu, udah, bu. Ibu udah liat pak Candra. Jadi sebaiknya ibu pulang."
Diam-diam, berdiri tidak jauh dari sana, Dika dan Tya melihat segalanya. Tya bahkan menatap wajah pria itu lama, tapi, bukan senyum lembut yang dulu dia tunjukan pada ibunya, bukan sambutan hangat yang diterima ibunya...
Kemana? Kemana ayahnya yang selalu tersenyum? Kemana ayahnya yang dulu suka membujuknya dengan permen, kemana ayahnya yang dulu suka menggendongnya, berbisik bahwa dia adalah kebanggaan ayah. Kesayangan ayah.
Bukan, orang yang melempar ibunya dengan kejam itu pasti bukan ayahnya. Persetan! Mainan apa? Rumah bagus apa? Dia tidak menginginkan itu lagi, dia hanya tidak ingin ibunya di perlakukan tidak adil.
"Mama..." Tya mendekat, memeluk sang ibu yang masih menangis dengan sedih.
Sedangkan Dika, bocah berusia lima tahun itu menatap tidak mengerti atas apa yang terjadi. Dia juga menatap Candra untuk waktu yang lama sebelum pria itu berbalik pergi. Dika belum pernah melihat ayahnya kecuali di foto yang dipasang ibunya dirumah. Ibunya berkata bahwa jika ayahnya pulang nanti, dia pasti akan sangat menyayangi Dika. Menggendongnya, membujuknya, melakukan semua hal yang dilakukan seorang ayah untuknya.
Dika suka sekali menangis jika tidak diberikan uang untuk jajan, tapi kakaknya selalu berkata bahwa jika dia menangis, ayah tidak akan memeluknya nanti.
Dika suka makan ice cream, tapi kakak berkata bahwa dia tidak boleh banyak makan ice cream, jika tidak, ayah tidak akan memeluknya. l
Dia tidak nakal, dia tidak banyak meminta ice cream, dia juga jarang meminta jajan kepada Mamanya. Tapi kenapa ayah tidak memeluknya. Ayah bahkan tidak melihatnya dan malah berteriak pada ibunya. Membuat ibunya menangis. Wajah kecil Dika penuh dengan keluhan, dia memang berusia lima tahun, tidak terlalu mengerti apa yang terjadi, tapi, dia tau bahwa ayahnya tidak menyukai mereka. Bibir Dika mengerucut, matanya yang bulat berkaca-kaca, memerah.
"Hwaaa...wooo...mama!" Dika berlari dengan kaki kecilnya, memeluk sang ibu serta kakaknya.
Pak Odi melihat ibu dengan dua orang anak itu menangis, saling berpelukan di atas tanah. Merasa miris. Merasa kasihan.
Sekali lagi, orang kaya memang sulit dimengerti. Membuang istri yang memberikannya dua malaikat kecil. Tiba-tiba, pak Odi merasa merindukan keluarganya di kampung halaman.