BISAKAH DIA MELIHATNYA KEMBALI?

1015 Words
Setelah menerima piagam dari sekolah, Tya dengan cepat turun dari atas podium. Candra melihat pungung kurus remaja itu, segera ikut turun, berjalan mengikuti. Langkah kaki anak itu sangat cepat di kerumunan. Candra dengan cepat mengejarnya, namun dia tidak berhasil karena ditengah jalan, beberapa guru dan pengusaha lainnya menyerbu untuk menyapa, membuatnya kehilangan sosok Tya. Candra sedikit kesal, apalagi orang-orang ini berkerumun didekatnya, salah satu hal yang paling dia benci adalah dikelilingi banyak orang yang bertanya secara bersamaan. *** Saat Tya pulang ke kontrakan yang keluarganya tempati, hanya ada Dika disana. Dari apa yang dilihat Tya, bocah SMP itu tengah duduk di depan tv berukuran kecil, dipangkuan Dika, ada sebuah toples berisikan keripik singkong yang Jennie bawa dari kampung mereka. "Mama kemana?" tanya Tya. Dika mendongak dan menjawab kaget, buru-buru menyembunyikan sesuatu dibawah pantatnya, "Keluar, cari kerja." Melepas seragamnya, hanya menyisakan kaus berwarna hitam dan celana pendek, Tya duduk di sebelah Dika. "Mana, bang? Katanya abang dapet piagam? Mana piagam nya?" "Di tas." Dika meraih tas hitam Tya yang sudah agak lusuh, mencari-cari piagam yang sudah dia tunggu-tunggu dari jauh-jauh hari saat kakaknya bilang bahwa sekolah akan memberikan kakaknya penghargaan. "Wow! Keren banget," seru Dika ketika melihat piagam dengan pinggiran emas itu. "Dika kalo masuk sekolah abang dapet gak, ya?" "Makannya belajar, jangan nyusahin mama terus," sindir Tya sambil mencomot keripik singkong ditangan Tya. Melihat bahwa kakaknya akan memulai ocehannya lagi tentang 'Jangan ikut' Dika merenggut, memberi kakaknya tatapan kesal, "Huh!" Tya mengabaikan adiknya, dia bangkit berdiri, meraih tasnya lalu masuk kedalam kamar. Di dalam kamar, dia menggantungkan tasnya pada paku yang menancap di dinding, naik ketempat tidur dan berbaring. Memikirkan siapa yang dia lihat di sekolah tadi. Tya yakin itu adalah orang itu. Dia ingat wajah itu, wajah keras yang dulu mengusir dan mendorong ibunya dengan kejam, wajah yang menatap wanita asing yang dia rangkul dengan tatapan lembut. Wajah yang dia benci. Wajah yang dia kutuk berkali-kali dalam mimpinya. Namun sayangnya, wajah nya sendiri adalah duplikat dari rupa orang itu. Dibandingkan dengan Dika yang masih berumur empat atau lima tahun saat itu, dia sudah besar, dia mengerti apa yang terjadi. Tya menghela nafas, menatap langit-langit kamar yang sudah agak usang, berfikir: Apa yang terjadi jika ibunya tidak membawa mereka menemui orang itu? Apa yang terjadi jika saat sebelum ibunya menemui orang itu, dia berhenti merengek berkata bahwa ingin bertemu dengan orang itu? Berpikir banyak hingga akhirnya dia tidak tau kapan dia tertidur. Jennie pulang saat hari sudah mulai gelap dan gerimis kecil turun membasahi bumi. Beberapa bagian di pakaiannya basah, dan saat Dika membukakan pintu, Jennie segera mengambil pakaian bersih lalu pergi ke kamar mandi. Sebelum itu, dia menaruh sebuah kantung keresek di meja kecil depan tv. "Ini apa, mah?" seru Dika melihat bungkusan itu. "Bubur!" jawab Jennie yang berada dikamar mandi.,"Dika sama abang makan, gih," Lanjutnya. "Tapi abangnya masih tidur!" adu Dika dengan kesal pada sang ibu. "Bangunin kalo gitu," titah Jennie. "Oke." Dika melihat isi kantung keresek, membuka ikatan nya ngiler karena bubur ayam yang masih hangat itu mengeluarkan bau harum. Dengan semangat, dia berjalan kearah kamar. Melihat sang kakak yang masih tidur. "Bang! Bangun! Mama pulang tuh." Tya tidak menanggapi. "Bang Tya! Kata mama bangun!" Kesal, Dika mengguncang tubuh kurus Tya. "Kenapa si?" tanya Tya dengan serak saat dia sudah berhasil membuka matanya. "Mama udah pulang, abang disuruh bangun," jawab Dika. Tya bangkit untuk duduk, mengucek matanya yang buram. Dia menguap sekali, lalu membalas, "Mama udah pulang?" "Um." Tya membuat suara 'oh' yang samar, berdiri meregangkan tubuhnya. Dia keluar dari kamar diikuti Dika. "Buat apa?" tanya Tya ketika melihat Dika membawa dua mangkuk di tangannya. "Buat bubur." Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah duduk berhadapan di depan tv. Dengan masing-masih punya semangkuk bubur ayam mereka sendiri. Jennie keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, rambutnya digulung menyisakan anak rambut yang agak basah keluar dari gulungan. "Mama udah dapet kerja?" tanya Tya. "Udah." "Dimana?" "Mama gak tau namanya apa, tapi itu kayak perusahaan gitu, mereka kekurangan orang buat bersih-bersih," jelas Jennie. "Mama harusnya gak usah kerja," gumam Tya. Jennie mendengarnya, hanya tersenyum, mengusap pucuk kepala Tya dengan lembut. "Walaupun misalkan Dika gak ikut pindah, dan Tya dapet beasiswa penuh dari sekolah, mama harus tetep kerja, kita harus makan." Tya tidak lagi membalas, genggaman di sendok nya mengerat. Bibir remaja itu menipis–seolah menekan sesuatu dalam dirinya. Dika juga hanya mendengarkan dalam diam, sibuk menikmati makanannya. Usai mengatakan itu, Jennie masuk ke kamar yang dia tempati, melepas gulungan rambutnya, meraih sisir di atas meja kecil. Mulai merapihkan rambutnya. *** Candra pulang ke rumah pada jam dua belas malam. Saat mobilnya berada didepan gerbang, satpam yang menengah langsung membuka gerbang besar itu. Masuk kedalam rumah, hanya ada keheningan dan rasa dingin. Kosong, seperti sebuah meja yang kehilangan satu kaki. "Tuan. Mau saya siapkan makan malam?" Seorang pelayan datang, membungkuk hormat pada Candra. "Jangan," jawab pria itu dengan singkat. Pelayan itu mengangguk mengerti, saat Candra berjalan menaiki tangga kelantai dua, dia hanya melihat punggung pria itu menghilang di kejauhan. Kadang, pelayan bahkan merasa kasihan pada Candra yang hidup, tapi seperti tidak hidup. Kesepian, tapi tidak berani meminta seseorang untuk menemani. Candra masuk ke kamarnya yang gelap, dia mengetuk dinding dua kali, kamar yang tadinya gelap berubah menjadi terang. Melepas jas yang dia kenakan, melemparkannya secara sembarang pada sebuah keranjang, Candra berjalan masuk kedalam kamar mandi. Candra melepas satu persatu kain yang melekat ditubuhnya, hingga tidak ada yang tersisa. Dia berdiri dibawah pancuran air, melihat dinding yang dilapisi cermin full body. Sosoknya tercermin disana, seorang pria 30 tahunan yang sangat berhasil mempertahankan bentuk tubuh mempesona. Mampu memikat setiap wanita. Sosok Candra tidak bisa digambarkan dengan kata 'kekar'. Wajah rupawan, tubuhnya ramping dengan delapan pack otot perut. Hasil dari latihan, ah, ralat, pelampiasan atas pilihannya yang ternyata salah. Selesai mandi, Candra keluar dengan hanya menggunakan handuk yang menutupi area pribadinya. Dia berjalan ke sebuah ruangan yang dikhususkan untuk pakaian, membuka lemari besar yang berisi beberapa baju tidur. Setelah berpakaian, dia kembali ke tempat tidur, duduk di pinggiran kasur sambil menopang dagunya dengan ibu jari tangan kiri dan tangan kanan yang disatukan. Setelah bertahun-tahun, bisakah dia melihatnya kembali...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD