"Abang ... panas," rintih Syakira saat dia berada di gendongan Angkasa, bibir Syakira hampir menyentuh d**a Angkasa saat dia memejamkan mata dan bergumam lemah.
“Sabar, ya, Adek,” ucap Angkasa, spontan, seperti suara hati yang tak sempat difilter.
Ucapan itu membuat Syakira mengangkat wajahnya, menatap Angkasa dengan mata yang basah dan berbinar. “Akhirnya, Abang panggil aku Adek lagi?” bisiknya, seolah tak percaya.
“Nggak, kamu salah denger!” elak Angkasa cepat, mengalihkan pandangan dan mempercepat langkahnya menuju unit apartemen.
“Enggak, tadi aku beneran denger kata itu kok. Kalau Abang manggil aku Adek.” Syakira terkekeh kecil lalu menyembunyikan wajahnya di d**a Angkasa. “Akhirnya, setelah sepuluh tahun, aku denger kata itu lagi.”
Angkasa tak membalas. Rahangnya mengeras, dadanya bergemuruh oleh sesuatu yang selama ini dia tekan. Tubuh Syakira terasa ringan dalam pelukannya, tapi beban emosional di dadanya semakin menghimpit. Sebuah panggilan sederhana telah membuat retakan kecil di tembok kebenciannya yang dia bangun bertahun-tahun.
Begitu pintu terbuka, Angkasa membaringkan Syakira perlahan di atas sofa. "Tidurlah! Jangan berisik! Aku kesal denger suara kamu!"
Mata Syakira setengah terpejam, tapi bibir ranumnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Abang … wangi banget,” gumamnya pelan, jari-jarinya menyentuh d**a Angkasa.
“Dulu, aku suka diam-diam ambil kaos Abang, kupeluk waktu tidur, cuma biar ngerasa ada Abang di sampingku. Aku tuh kangen banget sama Abang. Kenapa sih Abang harus pergi ninggalin aku? Kenapa Abang perginya lama?” imbuh Syakira, air mata mulai mengalir di sudut mata, dia terisak pelan.
"Maafin Abang ... enggak! Jangan!" batin Angkasa membantah, mencoba berpaling. Namun, sebelum dia sempat menjauh, tangan Syakira menggenggamnya erat.
“Jangan pergi lagi, Abang .... Aku sayang banget sama Abang .... Please tetaplah si sisiku. Ayo kita bermain lagi, bercanda gurau lagi, Abang ngajarin aku belajar lagi. Pokoknya aku ingin mengulang masa itu .... Masa indah kita bertua.”
"Lepas!" ucap Angkasa pelan tapi tegas. "Aku nggak mau lagi melakukan hal-hal seperti itu sama kamu!" Lalu melepaskan genggamannya dan beranjak ke dapur untuk membuat teh hangat.
Tapi kata-kata Syakira terus terngiang, menghantui pikirannya seperti gema dalam ruang kosong. Buru-buru Angkasa memejamkan mata dan membatin, "Rileks Angkasa! Jangan baik lagi padanya. Kau harus ingat kalau ibunya lah yang membunuh ibumu!"
Dan, saat Angkasa kembali ke ruang tamu, membawa teh di tangan, dia tertegun. Sofa kosong. Syakira tidak di sana. "Eh, dia di mana? Kok enggak ada? Apa jangan-jangan—"
Angkasa meletakkan teh di meja lalu berteriak, “Syakira? Kamu di mana?” Tapi tak ada balasan.
Di ruangan itu, terdengar suara aliran air dari kamar mandi dan gumaman pelan perempuan yang mirip seperti rintihan dari balik pintu. Rasa khawatir menjalari tubuh Angkasa. Jadi dia mengetuk pintu pelan dan untuk memastikan dia berkata, “Syakira? Apa Kamu ada di dalam?”
Sayangnya, masih tak ada jawaban. Hingga akhirnya Angkasa memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci itu. Pemandangan di depannya langsung membuat matanya terbelalak sempurna. Dia melihat Syakira terduduk di lantai, bersandar lemas pada dinding kamar mandi. Air shower mengguyur tubuhnya yang masih mengenakan dress, rambut panjangnya basah, bibirnya membiru.
“Panas ... badanku panas banget, Abang. Aku kenapa?” rintih Syakira.
“Adek?” suara Angkasa lirih, seperti tercekat.
Syakira mematikan shower. Dia menatap Angkasa dengan mata yang sayu namun menyimpan cahaya aneh—bukan cahaya biasa, melainkan campuran antara rindu, luka, dan sesuatu yang lebih dalam. “Kenapa jantungku berdetak sekeras ini, Bang? Aku kenapa? Tubuhku kenapa?”
Langkah Syakira pelan mendekati Angkasa. Tubuhnya menggigil merasakan rasa kedinginan dan kepanan sekaligus, gadis itu sangat tersiksa. Dress pinknya menempel ketat di tubuhnya karena basah. Dan dari mata indah Syakira terpancar, sinar kepasrahan, mengirim sinyal permohonan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, dan mata itu bagai mangsa yang mendatangi predator.
“Berhenti, Adek!" ujar Angkasa cepat, menegakkan tubuh. "Jangan dekatin Abang!"
Namun Syakira tetap berjalan mendekat dan memeluk Angkasa erat-erat, menenggelamkan wajahnya di d**a Angkasa. “Tolongin aku, Abang … aku takut … aku kesakitan. Jangan tinggalin aku lagi ya Abang. Tetaplah di sampingku!”
Angkasa memejamkan mata. Dia bisa merasakan detak jantung Syakira yang berdetak kencang, tak beraturan, seperti dentuman yang menuntut jawaban. Tangannya terangkat, sempat ingin mendorong, tapi akhirnya dia mengendong bridal style tubuh Syakira keluar dari kamar mandi, membungkus tubuhnya dengan bed cover, dan membaringkan gadis itu di ranjang kamar tamu.
***
Akhirnya tubuh Syakira sudah lebih tenang dan terlelap dalam tidurnya, sementara Angkasa duduk di sisi ranjang, memandangi wajah yang begitu lelah namun damai. Pikiran pria itu sedang kacau. Semua perasaan yang selama ini dia kubur kini mengapung ke permukaan kembali, dia memang rindu dan ... sesuatu yang tak ingin dia beri nama.
Tangannya terulur mengusap rambut Syakira. “Kenapa kamu bikin semuanya rumit? Tidak ... sepertinya aku sendiri yang membuat ini sekarang menjadi rumit. Tapi aku nggak bisa ninggalin kamu dalam keadaan seperti tadi.”
Angkasa akhirnya berdiri, dia mematikan lampu dan keluar dari kamar, membiarkan malam menyelimuti Syakira dengan tenang. "Selamat tidur dan semoga mimpi indah ... Adek."
Dalam gelap, Syakira bergumam tanpa sadar, “Aku sayang Abang. Aku cinta Abang.”
Angkasa menatap langit malam dari balkon, meski udara dingin menusuk kulit. Selama ini, dia pikir dirinya sudah cukup kuat menolak. Dia pikir, kebenciannya pada masa lalu akan jadi benteng yang paling kokoh. Tapi suara lirih Syakira barusan, pelukan yang rapuh, dan panggilan itu “Abang” seperti palu godam yang menghancurkan semua keyakinannya selama sepuluh tahun.
“Kenapa kamu harus datang malam ini?” gumam Angkasa nyaris tanpa suara. “Kenapa harus kamu yang paling aku hindari, tapi malah jadi satu-satunya yang bisa bikin hatiku lemah?”
Angkasa mengusap wajahnya kasar. Lalu punggungnya bersandar ke dinding, mencoba menstabilkan napasnya. Sejenak, dia berpikir untuk menelepon seseorang, tapi akhirnya pria itu hanya menatap layar ponsel yang gelap di tangannya. Perlahan, dia kembali masuk ke dalam kamar itu hening. Hanya ada suara napas Syakira yang pelan dan dalam.
Angkasa mendekat, memastikan suhu tubuh adik tirinya itu normal. Tangan Angkasa menyentuh dahi Syakira pelan, lalu bergerak turun ke pipinya yang terasa hangat, tidak sepanas tadi. Dia menarik napas lega, lalu duduk di kursi dekat ranjang. Pandangannya tak beranjak dari wajah yang selama ini dia hindari, wajah yang kini justru mengusik sisi terdalam dirinya.
“Dasar nakal! Kamu masih kecil dan terlalu polos untuk datang ke klub malam, Adek. Tapi aku senang, karena kamu masih seperti yang dulu. Terimakasih karena sudah tumbuh dewasa dengan baik meski tanpa aku di sisimu." Angkasa merapikan selimut Syakira sebelum pergi meninggalkan kamar itu lagi.