Part 2

1237 Words
Matanya terbelalak kaget kala melihat sosok wanita yang dulunya cantik kini tengah terbaring miring di atas lantai yang dingin. mulutnya mengeluarkan busa putih sementara matanya terpejam diiringi rintihan kesakitan. Bahkan, lebam di wajahnya masih belum sepenuhnya pudar bekas kekerasan yang dia dapatkan sebelumnya. "Mama..." Suara lirih bernada tak percaya itu berusaha mendekat. Seketika mata si wanita terbuka. Mulutnya yang mengeluarkan busa kemudian bersuara. "La...ri..." ucapnya dengan suara teramat perlahan yang ia keluarkan dari sisa tenaga yang di milikinya. "Per...gi..." perintahnya lagi. "Ma..af..kan.. Ma..ma..." Matanya kembali terbelalak. Namun saat mendengar namanya dipanggil, ia kembali bergerak mundur. Tak jadi menghampiri tubuh si wanita yang semakin melemah setiap detiknya. "Tangkap anak itu!" perintah itu menggema begitu saja di telinganya. Menguatkan kakinya yang sebelumnya telah berubah lemas. Ia bangkit, di saat bersamaan pintu papan itu terbuka. "Bawa dia!" perintah sesosok tubuh yang ia sangat kenal. "Kita akan menjualnya dan mendapatkan banyak untung." Ucapnya dengan seringai jahat di wajahnya. Matanya berkeliling memandang tiga orang yang ada di hadapannya. "Dasar jahat!" umpatnya dengan isakan tertahan di tenggorokan. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang tak bisa ia keluarkan. "Jahat?" seringai pria itu lagi. "Setelah aku menampungmu dan ibumu, kau bilang aku jahat?" pria itu tertawa terbahak. Jelas mengejek di waktu bersamaan. Dia menggeleng. Tidak. ia harus lari. Dia tidak boleh ada disini. Dengan sekuat tenaga ia berlari mencari celah untuk menemukan jalan keluar. Namun dua pria yang tubuhnya lebih besar menangkap kedua tangannya dengan cepat. Ia ingat, seseorang pernah berkata jika ada orang yang mencoba menyakitimu, maka ia harus bisa melepaskan diri. 'Tendang daerah rawan di tubuhnya.' Perintah itu seketika masuk ke kepalanya. Lantas kaki kecilnya menendang tulang betis salah satu pria dengan sekuat tenaga. Membuat pria itu mengaduh dan sedikit melonggarkan cengkeramannya. Tak ingin kehilangan kesempatan. Ia kemudian menendang pria yang lainnya di bagian antara kedua kakinya sehingga si pria yang satu lagi mengaduh lebih keras dari pria sebelumnya. Saat satu cengkeraman lepas, ia menggigit satu tangan lain yang masih memeganginya meskipun tidak sekuat sebelumnya. Dan disaat itulah dia lari. Kakinya yang telanjang menginjak tangan yang basah. Semakin basah saat ia tanpa sengaja menginjak kubangan air yang memenuhi lubang tanah yang tak rata di hadapannya. Tapi ia tidak peduli. Dalam benaknya, ia tak boleh jatuh. Dia tak boleh terpeleset. Dia harus lari sekuat mungkin, sejauh mungkin. Ia harus pergi menjauh dari orang-orang jahat itu. "Tangkap dia!" teriakan itu terus menerus berulang di belakangnya. Membuat kakinya semakin kencang untuk berlari. Ia harus menyelamatkan diri. Dia harus pergi. dia akan pergi ke kantor polisi dan menyelamatkan ibunya nanti. Ya. Ibunya harus selamat. Harus. Perintahnya dalam hati. Kemana ia harus pergi. di pertigaan jalan yang sepi itu tidak ada orang yang bisa ia mintai bantuan. Sementara tiga pria di belakangnya semakin mendekat. Ia menoleh ke kiri, menemukan satu celah sempit dimana ia bisa menyembunyikan tubuhnya tanpa diketahui. Dan ia melakukannya. Bersembunyi di balik gundukan karung yang ia tidak tahu apa. Ia membekap mulut dengan tangannya. Berusaha menahan supaya napas pendeknya tak mengeluarkan suara. Tubuhnya bergetar hebat, karena lelah, takut dan juga amarah yang ia rasakan bersamaan. Membayangkan wanita yang terbaring lemah di lantai membuatnya mengucurkan air mata deras tanpa suara. "Ma...ma..." isaknya dengan suara tertahan di tenggorokan. "Ma..ma.. bertahanlah.." doanya dalam diam. "Ajeng." Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia menoleh dengan pekikan yang coba ia tahan. Mendongak memandang sosok pria yang menepuk bahunya. "Ajeng?" ia mengangkat kepala, mencoba melihat wajah pria itu. "Ajeng, kamu mimpi buruk?" dan matanya terbuka. Bukan wajah pria itu yang dilihatnya. Melainkan wajah Nisa, teman satu kontrakanannya. "Kamu mimpi buruk lagi?" tanya gadis itu dengan raut cemas. "Apa diluar hujan?" bukannya menjawab pertanyaan Nisa, ia malah balik bertanya. Nisa berjalan menuju arah jendela tinggi yang ada di salah satu dinding kamar Ajeng dan kemudian mengangguk. "Gerimis." Jawabnya. Ajeng bangkit dari tidurannya, mengusap dahi dan lehernya yang berkeringat. Seolah memang ia sudah berlari jauh sejak tadi. Padahal semua itu hanya mimpi. Mimpi yang selalu datang setiap kali gerimis datang kala ia sudah tertidur lelap. Ya. Hanya kala ia sudah terlelap. Tubuhnya otomatis membuatnya mengingat pada keadaan yang tidak ingin dia ingat. Masa lalu yang kelam. "Kamu baik-baik aja, kan?" Nisa kembali mendekat dan memberikannya secangkir air putih yang ia ambil dari dapur. Ajeng hanya mengangguk, menerima gelas itu seraya menggumamkan terima kasih. "Mimpi yang sama?" tanyanya ingin tahu. Ajeng hanya tersenyum tipis dan mengangguk mengiyakan. "Maaf, bikin kamu bangun." Ucapnya penuh penyesalan. Gadis di depannya itu menggeleng pelan. "Jam berapa ini?" ia meraih ponsel yang ada di atas meja. Waktu menunjukkan jam tiga kurang sedikit. "Aku sholat dulu." Ucapnya kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah kontrakan. Sholat, adalah cara yang tepat untuk mengalihkan kegundahan. Itulah yang selalu ibu pantinya ajarkan sejak Ajeng bertemu dengan wanita berhijab itu tiga belas tahun yang lalu. "Adukan keluhanmu pada Si Pemilik Segalanya, jangan pada manusia. Sebaik-baiknya manusia, kita tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya." Ucapnya kala itu. Ajeng membasahi wajahnya, memandang pantulan dirinya pada cermin yang dipaku di dinding kamar mandi. Tiga belas tahun berlalu, mimpi yang sama selalu berulang, namun selalu ada satu poin yang ia lupakan. Tentang siapa dan seperti apa orang yang telah menyelamatkannya dan kemudian membawanya ke panti asuhan. Pria yang juga ia ketahui kemudian membantunya membawa sang ibu ke rumah sakit. meskipun ibunya tak terselamatkan, namun setidaknya ia tahu bahwa ibunya memiliki tempat peristirahatan terakhir yang layak. Ajeng ingin mengingat sosok pria itu. Ia ingin tahu, siapa pria itu karena ia ingin mengucapkan terima kasih yang teramat besar padanya. Karena menolongnya, dan juga ibunya. Ajeng menggelengkan kepala dengan keras. Waktu akan menjawabnya. Ucapnya dalam hati. Ibu panti selalu mengatakan bahwa doa tidak akan selamanya terkabul dalam waktu kita meminta. Ada yang disegerakan, ada juga yang diperlambat. Tapi semua doa, akan terkabul di saat yang benar-benar tepat. Maka jika memang doanya untuk bertemu kembali dengan pria itu akan dikabul, ia tahu, ia akan bertemu dengan pria itu pada saat yang tepat. Ajeng melanjutkan wudhu nya. Dia akan mengadu, dia akan berkeluh kesah. Hanya pada Si Pemilik Segalanya. Beberapa jam kemudian. "Pagi." Sapaan itu Ajeng terima dari beberapa orang yang bekerja bersamanya. "Pagi." Jawabnya dengan senyum yang sama ramahnya. Ia berjalan menuju ruang ganti khusus karyawan perempuan dan kemudian mengganti celana jeans dan kaos yang dikenakannya dengan seragam restoran. "Udah denger kabar terbaru?" suara Nisa membuat Ajeng menoleh. "Ada bookingan buat ultah malam ini. Katanya sih ulang tahun anak yang punya nih café. Kamu kenal gak?" Ajeng mengerutkan dahi. Lantas ia menggelengkan kepala. "Masa iya gak kenal, bukannya dia ada koneksi khusus ya sama bos kita." Suara bernada nyinyir itu keluar dari mulut Aprilia. Karyawan senior yang sudah lebih dulu bekerja daripada Ajeng dan juga Nisa. Ajeng tak tahu kenapa, sejak ia bekerja, April memang selalu menunjukkan ekspresi tak suka terhadapnya. Seberapa besar ia mencoba tak peduli, sebesar itu juga wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu mengusiknya. "Aku keluar duluan ya." Ucap Ajeng tanpa berniat meladeni ucapan April. Nisa yang masih setengah jalan berganti pakaian hanya mengangguk. Di luar ruang ganti. Beberapa karyawan lain yang sudah siap tampak sudah memulai kegiatan mereka. Beberapa orang asyik membersihkan meja, sebagian yang lain menyapu dan mengepel lantai. Ada pula yang duduk sambil membersihkan alat makan. Ajeng suka suasana ramai seperti ini. Ia sangat suka dengan segala macam kesibukan. Kesibukan membuatnya terhindar dari kesepian, dan menghilangkan semua pikiran-pikiran buruk yang ingin ia lupakan. Ajeng menarik napas panjang. Bismillah, semoga hari ini berjalan dengan lancar. Doanya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD