Bab 2

1725 Words
Pagi hari Mata Lara terbuka perlahan. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan yang hanya diterangi cahaya temaram, setiap sudut terasa asing dan mencekam. Napasnya tercekat, jantungnya serasa berhenti berdetak saat kesadaran menghantamnya. Ada lengan kekar melingkari pinggangnya, milik seorang pria yang seharusnya tidak ada di sana. Kepanikan seketika merayapi setiap inci tubuhnya, membuat darah berdesir dingin. Otaknya berputar, mencoba menyusun kepingan memori semalam yang begitu kabur, namun menghantarkan rasa bersalah yang menusuk. Pria yang memeluknya ini… mereka berdua telah melakukan kesalahan yang tidak termaafkan, perbuatan terlarang. Mereka bercinta tanpa ikatan sakral. Menyadari kesalahannya, gadis cantik itu kembali menelan ludah yang terasa sangat pahit di tenggorokannya, air mata tak tertahankan lagi, mengalir membasahi pipi. Satu-satunya hal yang memenuhi benaknya saat ini adalah kebutuhan mendesak untuk melarikan diri. Ia harus segera enyah dari tempat ini, pergi dari pria yang telah menodainya ini, dan segera pulang ke rumahnya. Ibunya pasti mengkhawatirkannya setengah mati, mencari-cari putri yang semalaman tidak memberi kabar dan tak kunjung pulang. Dengan napas tertahan, jari-jari dingin gadis itu gemetar saat ia menyingkirkan tangan yang kini bergeser ke atas perutnya. Perasaan mual menyeruak, seolah sentuhan itu mengotori dirinya sendiri. Ia kemudian menyibak selimut perlahan, merasakan dinginnya suhu ruangan menusuk kulit polosnya dan bergegas turun dari tempat tidur. Kakinya yang gemetar langsung menapak di atas lantai marmer, tangannya segera memunguti pakaian yang tergeletak tidak berdaya di atas lantai dan memakainya. Demi Tuhan, entah apa yang dia lakukan tadi malam. Bagaimana bisa ia berakhir di tempat ini sampai harus kehilangan kesuciannya. Setelah semua pakaian melekat di tubuh rampingnya, Lara segera bergegas menyambar tasnya di atas nakas dan menemukan dua lembar kertas kecil di sana. Sejenak ia memperhatikan dua benda itu, meraihnya dan membacanya dengan seksama. Sebuah cek dengan nominal fantastis. Dan yang satu lagi adalah sebuah catatan yang bertuliskan, ‘Kompensasi atas keperawanan kamu. Jangan menuntut apapun dari saya setelah ini. Urusan kita selesai di sini.’ Entah bagaimana perasaannya terluka, dadanya berdenyut sakit. Apa lelaki ini pikir ia menjual tubuhnya? Tidak. Semiskin apapun dirinya, sebutuh apapun dirinya terhadap uang, ia tidak akan menjadi p e l a c u r yang menjual harga dirinya. Dengan perasaan campur aduk, Lara letakkan kembali kedua kertas itu ke tempat semula. Tumitnya berputar, melangkah perlahan menuju pintu. Ia keluar mengendap-endap seperti pencuri dan segera bergeges menuju pintu masuk utama. Ada perasaan lega ketika ia berhasil sampai di sana. Tangannya langsung terulur meraih handle pintu dan mendapati dirinya sudah berada di luar unit apartemen mewah tersebut. Sejenak, ia sandarkan punggungnya di depan pintu. Kembali meratap dan menangis di sana. Ia masih tidak percaya, masih tidak percaya dengan apa yang menimpa dirinya. Kotor, ia merasa begitu kotor sekarang. Tidak ada lagi yang tersisa. Semuanya sudah habis. Semuanya sudah hilang tanpa sisa. Sejenak ia menggosok kasar tubuhnya sendiri, seolah ingin menyingkirkan segala kotoran yang melekat pada tubuhnya. Ia bahkan mencakar permukaan kulit putihnya itu sampai memerah. “Bodoh, Lara! Kenapa kamu bisa seceroboh ini?! Kamu udah nggak punya apa-apa sekarang, kamu udah kehilangan masa depan!” Tubuhnya luruh ke lantai, terduduk lemas di sana sambil menyimpan wajah di antara lututnya yang ditekuk. “Ibu …,” isaknya pedih. “Maafin Lara, Bu. Lara udah ngecewain Ibu.” Ingatannya yang samar bahkan bisa menangkap bagaimana ia merintih dan memohon di bawah lelaki itu. Merasa geram atas tindakannya sendiri, Lara memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangan kecilnya. “Bodoh bodoh bodoh! Kenapa kamu bisa seceroboh ini, Lara!” Merasakan handle pintu yang bergerak, gadis itu segera bergegas berdiri, berlari ke samping dan menyelinap di pembelokan lorong apartemen dan bersembunyi di sana. Ekor matanya bisa menangkap sosok tampan itu melangkah keluar dengan setelan kemejanya. Gemuruh di dadanya kembali bergejolak. Ia masih tidak percaya sudah tidur dengan paman dari sahabatnya sendiri. Setelah sosok itu menghilang, ia pun keluar dari sana. Ia kembali mengendap-endap, melihat situasi. Ia tidak bisa berlama-lama berada di sini. Setelah memastikan lelaki itu tidak terlihat lagi setelah memasuki lift, ia pun segera pergi dari sana. Tidak melalui lift yang sama ia pergi, tapi melewati tangga darurat dari lantai ke lantai. Ia bahkan harus menahan rasa perih itu. Rasa panas yang masih terasa mengoyak di bawah sana. Tapi, perasaan takut, cemas dan gelisahnya lebih mendominasi hingga ia memiliki tenaga lebih. Sesampainya di lobby apartemen, ia segera berlari keluar memasuki salah satu taksi yang berjejer terparkir di depan sana. “Mau ke mana, Mbak?” “Jalan Melati Indah, Pak. Nomor 13.” “Baik, Mbak.” Selama dalam perjalanan, Lara hanya diam sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela kaca. Pikirannya melayang jauh entah ke mana. Hanya satu yang ia takutkan saat ini, kejadian itu akan menyisakan hal tak terduga nanti. “Nggak. Nggak mungkin aku hamil. Cuma sekali nggak mungkin bisa hamil.” Lara terus berperang dengan batinnya. Berbicara dengan dirinya sendiri. Tapi sayangnya, malam itu mereka tidak hanya melakukannya sekali. Tiga kali. Ya, lelaki itu bahkan menidurinya tiga kali. Sama dengan dirinya, efek obat itu ternyata tidak berhenti pada sekali permainan. Baru mereda saat mereka sudah kelelahan dan untuk yang ketiga kalinya. Yang lebih memperparah keadaan, malam itu adalah malam kelima belasnya pasca menstruasi. Memikirkan hal itu Lara semakin ketakutan. Tubuhnya makin gemetar dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Nggak, nggak mungkin!” Lara mencengkeram sling bagnya erat-erat. Seolah di sana bisa menjadi pegangan atas ketakutannya. Lamunannya sesaat kemudian buyar ketika ponselnya bergetar. Ia meraih benda pipih itu dari dalam tas, memperhatikan nama yang tertera di sana. Marsya. Segera ia geser ikon hijau itu untuk mengangkatnya. “Iya, Sya?” Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. “Ya ampun, Ra. Gue panik setengah mampus mikirin lo. Gue nggak bisa masuk karena lupa bawa kartu akses apartemen. Daddy juga gue hubungin nggak aktif. Soalnya cuma dia yang punya duplikatnya. Lo oke, ‘kan, sekarang? Gimana keadaan lo? Udah lebih baik? Sorry banget gue udah ninggalin lo semalem.” Lara menghela napas pelan, mencoba menekan segala hal yang mendesak perasaannya sekarang. Marsya tidak boleh tahu. Sahabatnya itu tidak boleh tahu apa yang menimpanya tadi malam. “Gue baik-baik aja, Sya. Thanks udah numpangin gue kemaren. Lo nggak suah khawatir.” “Trus lo di mana sekarang? Gue masih belum bisa masuk apart.” “Gue udah di jalan pulang. Pake taksi depan apartemen.” “Gue susul, ya. Biar lo nggak dimarahin keluarga lo nanti sampe rumah.” “Nggak usah, Sya. Ayah pasti juga nggak di rumah sekarang. Dia nggak akan pulang ke rumah kalau punya duit. Lo tenang aja, gue bisa handle.” “Tapi, lo beneran oke, kan, Ra? Yang semalem itu masih lo rasain nggak?” Lara meneguk ludahnya susah payah. Perasaannya kembali bergemuruh. Ya, perasaan tidak nyaman itu memang hilang. Tapi, harus hilang dengan cara yang tidak terduga. “Nggak. Udah reda semua.” “Ah, syukurlah. Ya, udah. Hati-hati, ya! Kabarin gue kalau ada apa-apa, Ra.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Bersamaan dengan itu, taksi yang ditumpanginya sudah terparkir tepat di depan rumah sederhananya. Setelah membayar, kakinya yang masih gemetar keluar dan menapak di aspal. Ia lalu masuk ke dalam sana dan membuang semua perasaan yang membelenggunya saat ini. Ibunya tidak boleh tahu ia sedang hancur dan terluka. ** Dua minggu kemudian. “Nduk, kamu pucet banget. Kenapa? Apa ini sudah jadwal menstruasi kamu?” Lara langsung terdiam. Jantungnya seperti dipukul keras dari dalam. Gemetar itu kembali Lara rasakan. Seharusnya dari dua hari yang lalu jadwal menstruasinya datang. Tapi, sampai sekarang tamu bulanannya itu bahkan tidak menampakkan tanda-tanda. Dengan tenggorokan yang tercekat, gadis itu berusaha menjawab sang ibu dengan setenang mungkin. “I-iya, Bu. Kayaknya sebentar lagi Lara mau datang bulan.” Lara bisa merasakan belakang kepalanya diusap dengan lembut. Ibu yang tengah disuapinya di atas tempat tidur kini tampak lebih segar dari biasanya. Ia bahkan bisa duduk setelah beberapa hari terbaring lemas di atas tempat tidur karena penyakit yang menggerogotinya. “Lara, anak Ibu yang tersayang. Kamu sudah janji ke Ibu mau periksa, ‘kan? Setiap datang bulan perutmu kesakitan. Ibu khawatir ada apa-apa di dalam, Nak. Ayo, kamu periksa hari ini juga.” Ratih—wanita paruh baya itu langsung merogoh bawah bantal yang berada di sampingnya. “Pakai uang ini buat periksa.” Uang itu Ibu Ratih tempelkan ke telapak tangan anaknya yang terbebas. Sedangkan tangan kiri Lara yang memegangi mangkuk bekas makanan, ia letakkan di atas nakas. “Ayo, lekas periksa, Sayang.” Mata Lara berkaca-kaca. Selalu ibunya yang sangat peduli padanya. Bagaimana ia bisa kehilangan wanita tersayangnya ini? Penyakitnya bahkan tidak bisa menunggu untuk diobati, sedangkan kemampuan mereka tidak ada. Mereka bahkan terlalu miskin walau sekadar untuk makan sehari-hari. “T-tapi, Bu. Ini uang dari mana? Lara—” “Sudah, kamu nggak usah tanya itu uang dari mana. Yang penting halal. Kamu harus tepati janji kamu buat periksa. Ibu nggak mau terjadi apa-apa sama kamu, Nak. Ya?” Lara menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh dalam dadanya. Percuma, tangisan itu akhirnya pecah juga. Hatinya terlalu rapuh untuk kuat. Dengan perasaan hancur, gadis itu berhambur memeluk ibunya. “Tolong Ibu selalu di sisi Lara, ya, Bu. Jangan pernah tinggalin Lara. Ibu harus sehat. Ibu harus sembuh. Biar seisi dunia jahat sama Lara, tapi kalau ada Ibu di samping Lara, Lara pasti kuat.” Sesak itu pun dirasakan oleh Ratih. Dalam benaknya juga menyimpan sejuta kekhawatiran. Berpikir bagaimana kalau ia pergi meninggalkan anak-anaknya. Bagaimana jika dia mangkat dalam keadaan para buah hatinya masih menderita. Tapi, semua pil pahit itu ia telan sendiri. Ia harus kuat, tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya. Matanya yang berkaca-kaca langsung ia usap. Air matanya tidak ia biarkan jatuh. Ia harus kuat di depan putrinya. Setelah menarik napasnya dalam-dalam tuk mengusir “Iya, Nak. Kita sama-sama berdoa sama Allah, ya. Semoga Allah memberikan waktu kita lebih lama lagi untuk sama-sama.” Dikecupnya kepala putrinya itu, kemudian diusapnya penuh sayang. Lara menarik tubuhnya, membingkai wajah ibunya dalam ingatannya. Ia tangkup sisi wajah yang cekung itu dan membawa bibirnya untuk mengecup keningnya. “Lara sayang Ibu.” “Ibu juga sayang Lara.” ** Rumah Sakit. “Masih ada pasien, Desi? Kalau tidak, saya akan pergi. Saya harus rapat.” Niko—lelaki yang masih mengenakan pakaian operasi dengan jas dokternya itu sibuk menekuri komputer samping meja kerjanya. “Masih ada, Dok. Satu lagi. Pasien baru.” “Oke. Tolong cepat.” “Baik, Dok.” Perawat itu melangkah menuju pintu, meneriakkan satu nama di sana. “Ibu Lara Ayudia Putri ….” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD