Bab 4

1687 Words
Menyadari siapa yang ada di hadapannya, Lara langsung mencoba untuk memberontak. Tapi lelaki itu dengan erat menahan tubuhnya. Ia bahkan didorong hingga punggunnya terdesak ke dinding, dan dengan kedua lengan kokoh itu, Lara dikurung agar tidak bisa ke mana-mana. “K-kenapa dokter menahan saya?!” Suara lembut itu menyapu lelaki yang notabene tidak lain adalah Niko. Niko lalu dengan gemas melepaskan kacamata yang membingkai matanya. Melemparkannya ke meja peralatan medis yang ada di sebelahnya. “Kenapa kamu tidak mengambil cek itu, hm?” Lara terdiam. Gadis itu hanya diam seribu bahasa. Mulutnya terkunci rapat. Tidak ada satu pun kata yang meluncur sari sana. Entah bagaimana otaknya tiba-tiba jadi mal fungsi. Rasanya ia tidak bisa berpikir dengan benar. Sesaaat ia biarkan napas hangat lelaki di depannya itu menerpa wajahnya. Memberikan waktu juga pada dirinya sendiri untuk memahami situasinya. Lelaki ini … Ya … lelaki ini adalah orang yang bertanggungjawab atas segala kemalangannya, yang bertanggungjawab atas hilangnya harga dirinya—sesuatu yang sangat berharga yang satu-satunya ia punya dalam dirinya. “Jawab ….” Kerongkongan gadis itu terasa seperti dicekik. Seharusnya di sini ia yang marah, seharusnya dia yang mengintimidasi, tapi yang terjadi kenapa malah kebalikannya? “Saya rasa kamu punya mulut untuk menjawabnya, Lara. Kamu tidak bisu karena sebelumnya kamu bisa menggunakan mulut kamu dengan baik.” Tidak, ia bukanlah gadis lemah. Ia tidak bisa ditekan seperti ini. Tidak ada yang boleh mempermainkan perasaannya. Tidak ada yang boleh merendahkannya. “Saya menolak untuk menjawabnya.” Tenang. Niko mencoba untuk tidak terprovokasi. Seperti itulah dirinya. Ia bisa mejadi sangat tenang bahkan dalam kondisi yang menjepitnya. “Kalau begitu kita akan tetap terus berada di sini sampai kamu menjawabnya.” Mata Lara bergerak lurus menatap mata Niko. Tatapannya berubah menjadi begitu tenang, tapi entah kenapa Niko bisa merasakan badai yang begitu kuat di sana. “Saya bisa melaporkan dokter atas perbuatan tidak menyenangkan.” Mata tajam itu juga tidak melepaskan pandangannya dari mata cantik berbulu lentik tersebut. Ada dorongan dalam diri Niko hingga membuat tangannya bergerak untuk menjepit dagu kecil itu. “Nantangin saya?” Lara masih bisa bersikap tenang. Padahal kakinya terasa tidak punya tenaga lagi. Ia hanya mencoba bertahan sejauh ini. “Kalau dokter terus bersikap seperti ini, maka kata-kata saya bukan sekedar bualan.” Satu sudut bibir Niko terangkat. Membentuk ekspresi meremehkan. “Gadis kecil seperti kamu, mencoba mengancam saya?” “Saya tidak sekedar mengancam, Dokter. Tapi saya akan melakukannya.” “Well, saya tidak akan buang-buang waktu. Ini yang terakhir kalinya. Berikan alasan kamu, atau kamu akan berakhir rumit di tangan saya.” Niko hanya mengantisipasi. Ada banyak perempuan yang coba mendekatinya, berusaha menjebaknya dengan segala cara agar bisa memilikinya. Berbagai macam skandal yang melibatkan dirinya coba mereka buat hanya untuk menarik perhatiannya dan menjeratnya lebih jauh. Lara jelas tahu. Tahu benar jika keluarga dari sahabatnya ini bukan orang sembarangan. Mereka punya kekuatan yang mungkin orang lain tidak punya. Mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau. Bahkan jika mereka menginginkan kematian seseorang sekalipun, maka mereka pasti akan mendapatkannya. Sungguh, ia punya trauma sendiri terhadap orang-orang yang memiliki kekuatan uang dan memanfaatkannya dengan cara yang tidak benar. Apalagi menggunakan alat tukar tersebut sebagai ancaman. “Saya tetap tidak akan memberikan alasannya.” Semua itu semata-mata ia lakukan untuk melindungi Marsya. Ia tidak ingin sahabatnya itu terkena masalah. Belum lama ia dihukum oleh orang tuanya karena skandal pacarannya yang terlalu bebas, jika mereka tahu skandal yang ini, maka Marsya akan benar-benar dikirim ke luar negeri dan tidak akan pernah kembali. Marsya pernah mengatakan hal itu padanya. Jika ia membuat satu kesalahan besar lagi, maka orang tuanya tidak akan segan-segan memberinya hukuman terberat. “Tolong menyingkir, saya harus pulang.” Kedua telapak tangan kecil itu berusaha mendorong tubuh besar Niko, dan upayanya itu berhasil. Bukan karena Niko lengah, tapi karena lelaki itu sengaja membiarkannya. Tapi hal itu tidak bertahan lama. Sesaat gadis itu hampir kembali menggapai pintu, tangannya kembali ditarik. Tidak sepelan tadi, kali ini lebih kasar hingga tubuh mereka kembali bertubrukan dengan keras. Lancang, tangan Niko langsung merengkuh tubuh ramping itu dan menahan pinggang Lara. “Saya sudah mengatakannya, Nona. Kita tidak akan ke mana-mana sebelum kamu memberikan alasannya.” “Lepas!” “Tidak akan ….” “Jangan seperti ini, Dokter!” “Kamu yang membuatnya rumit.” “Kita sudah selesai. Tidak ada apapun lagi yang tersisa. Urusan kita sudah benar-benar selesai! Saya tidak akan menuntut apapun!” “Bohong. Tidak mungkin kamu tidak memiliki tujuan. Kamu ingin menjebak saya bukan?” “Nggak! Saya nggak punya tujuan apapun terhadap Dokter. Saya nggak punya tujuan apapun!” “Pembohong!” Niko mulai geram. Bahkan ketika suara pintu ruangannya diketuk, ia tidak memedulikannya. “Maaf, Dokter. Ada passiii—en ….” Perawat yang menyaksikan bagaimana Niko memeluk Lara syok bukan main. Ia jadi salah tingkah sendiri. “Keluar Desi. Urusan saya belum selesai.” Niko hapal benar suara siapa yang memanggilnya tadi. Salah satu asisten perawat kepercayaannya. “B-baik, Dok.” Pintu kembali ditutup. Lara semakin panik. Lelaki ini bahkan tetap tenang ketika posisi mereka dipergoki orang lain. “Apa dokter udah gila. Apa dokter nggak sadar udah bersikap kurangajar sama pasien dokter sendiri!” “Saya sudah pernah melakukan hal yang lebih gila bersama kamu, Lara. Saya bahkan sudah lebih kurangajar daripada ini kalau kamu lupa.” Lara sampai kehilangan kata-katanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat untuk mengusir bayangan yang terjadi dua minggu yang lalu. Lelaki ini, demi Tuhan lelaki ini yang telah membuatnya menjerit malam itu. Bukan karena kesakitan, tapi karena hal lain. Kepala yang notabe adalah mahkota sempat berada di antara kedua pahanya mencari-cari sesuatu di sana. Niko semakin menekan Lara. Ia bawa bibirnya ke samping telinga gadis itu dan berkata, “kamu yang memohon-mohon pada saya, Lara. Kamu—” “Stop!” pekik Lara tertahan. “Saya mohon cukup, Dokter! Malam itu adalah kesalahan! Saya tidak—” “Cukup katakan kenapa kamu tidak mengambil bayaran kamu malam itu, Lara!" potong Niko cepat. "Kamu mau menjebak saya?!” “Nggak, Dok! Nggak! Saya tidak mengambilnya karena saya tidak pernah menjual harga diri saya! Saya tidak pernah menjual apapun! Simpan saja cek itu untuk dokter sendiri, saya nggak butuh! Saya nggak butuh uang itu!” “Sombong sekali kamu. Lalu, untuk apa kamu datang ke apartemen saya malam itu, hm? Siapa yang memberi kamu akses masuk! Siapa kalau bukan Roy asisten saya?!” “Niko ….” Pintu itu kembali terbuka. Tidak seperti tadi yang diiringi dengan ketukan pintu, kali ini tidak. Terlihat seorang wanita paruh baya berdiri di sana, menarik atensi Niko dan juga Lara. “Nak, kamu ….” Saat itulah baru Niko melepaskan pelukannya terhadap Lara. Membiarkan gadis itu terbebas dan berlari melewati ibunya begitu saja. “Niko … kamu ….” “Ma ….” ** “Lo kenapa diem aja, sih, Ra?” Marsya yang sedang mengemudikan mobilnya merasa ada yang aneh dengan sikap Lara. Sahabatnya itu lebih banyak diam dari pada biasanya. Lara hanya mengulas senyum tipisnya. Ia lantas menoleh ke arah sahabatnya itu. “Ngga apa-apa, Sya. Cuma lagi kepikiran ibu aja.” Marsya terlihat menghela napasnya. “Gue tahu nggak cuma itu yang jadi pikiran lo, Ra. Pasti ada hal lain yang lo sembunyiin. Coba cerita ke gue.” Marsya memang tidak pernah salah menerka dirinya. Ibunya memang selalu menjadi pikirannya, tapi ada hal lain yang kini menjadi beban barunya. Ia memikirkan tentang siklus bulanannya yang sampai saat ini belum kunjung tiba. Bahkan tanda-tanda itu sama sekali tidak muncul. Yang tambah membuatnya cemas adalah, ia malah merasakan keluhan lain. Ia jadi lebih sering pusing. Ia juga mual ketika menghirup aroma masakan yang bahkan ia masak sendiri. Penciumannya menjadi lebih sensitive. “Ayah lo gebukin lo lagi? Dia minta uang ke lo lagi, ya?” Lara menggeleng. Ayahnya bahkan belum pulang sejak terakhir kali Marsya memberikannya uang. “Ayah belum pulang sejak lo kasih uang, Sya. Gue aman kok. Gue cuma kepikiran ibu.” “Lagian lo kenapa nggak mau sih terima bantuan gue. Gue bisa ngomong ke mama apa papa, Ra.” “Utang gue udah terlalu banyak sama keluarga lo, Sya. Gue malu. Gue bahkan belum nyicil sepeserpun pengobatan ibu sama kakak gue yang dulu.” Marsya berdecak. “Keluarga gue nggak pernah anggep itu utang. Lo kenapa sih, Ra? Lo kenapa selalu anggep gue sama keluarga gue kayak orang asing.” “Bukan gitu, Sya. Gue—” “Udah deh. Nggak usah dibahas lagi. Nanti mood gue jadi jelek. Besok gue ngomong sama papa mama buat bawa ibu lo periksa lagi.” Lara diam. Ia tidak membantah lagi ucapan sahabatnya itu. Percuma saja mendebat Marsya. Gadis itu keras kepala dan tidak bisa ditolak. Mereka berdua langsung turun dari mobil ketika kendaraan mewah tersebut sudah terparkir di depan gedung sekolah. “Ke kantin dulu, Ra. Gue belom sarapan tadi.” Marsya berbohong. Itu hanya alasannya saja. Ia tahu Lara tidak pernah sempat sarapan di rumahnya sendiri karena harus mengurus ini dan itu. “Iya.” Marsya dan Lara pun melangkan menuju kantin. Mereka berdua lantas duduk di salah satu bangku yang ada di sana. “Bude Darmii! Sotonya duaa!” “Oche, Non Marsya.” Tidak lama, dua buah mangkok soto terjadi di depan Lara dan Marsya. Aroma sedap rempah dari makanan tersebut langsung menyapa penciuman mereka. Berbeda dengan Marsya yang tampak antusias, wajah Lara langsung pucat pasi. Gadis itu langsung mendorong kursinya ke belakang dan berlari menuju toilet sambil menangkup mulutnya dengan kedua tangan. “Lara!” Marsya jelas tidak tinggal diam, ia mengikuti arah Lara pergi dan menyusulnya dari belakang. Hoeek! Hoeek! Terlihat sahabatnya itu sedang menangkup wastafel. Memuntahkan cairan kuning di sana. “Ra ….” Hoeek! Sejenak Marsya terpaku. Tubuhnya langsung membatu. Ia tahu benar sahabatnya itu anak baik. Tidak mungkin kalau …. Ya, ia tahu benar tanda-tandanya. Sudah dua kali ia mengalaminya. Ia juga sering melihat ibunya dulu memiliki keluhan yang sama ketika mengandung adiknya. Belum sempat Marsya memberikan bantuan, Lara sudah selesai membersihkan dirinya. Dengan napas tersengal, Lara berbalik dengan wajah basahnya. “Sya gue ….” Ia kehilangan kata-katanya saat melihat sahabatnya itu memakunya dengan tatapan curiga. “Lo hamil, Ra? Deg! Deg! Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD