bc

Aku Bukan Yang Pertama

book_age18+
495
FOLLOW
12.2K
READ
love-triangle
family
HE
opposites attract
drama
serious
city
office/work place
cheating
affair
like
intro-logo
Blurb

Rhea Eliza, 25 tahun, adalah pengacara perceraian muda yang terkenal tajam dan tegas. Ia selalu percaya bahwa cinta tanpa kejujuran adalah awal dari kehancuran rumah tangga — dan itulah yang ia perjuangkan setiap hari di ruang sidang.Namun prinsip itu mulai goyah saat ia menerima lamaran dari Devan Elano, pengusaha properti sukses yang terlihat sempurna dari luar. Romantis, dewasa, dan selalu hadir saat Rhea butuh sandaran. Dalam waktu singkat, mereka menikah. Tapi pernikahan yang awalnya tampak ideal itu perlahan berubah menjadi labirin kebohongan.Ketika Rhea mulai mencium gelagat aneh dari suaminya — pulang larut, sering menghilang, hingga sikapnya yang berubah saat menerima telepon rahasia — ia tak pernah menyangka bahwa jawabannya akan datang dari sosok masa lalu: Lyla, perempuan yang dulu hampir menjadi kliennya, kini muncul kembali… sebagai istri pertama Devan.Dan lebih menyakitkannya lagi, Lyla sedang mengandung.Rhea pun dihadapkan pada kenyataan pahit — ia bukan yang pertama, dan mungkin tak pernah jadi satu-satunya.Di dunia yang ia pahami lewat hukum dan keadilan, Rhea harus memilih: mempertahankan harga diri atau mempertahankan cinta yang telah membohonginya sejak awal.

chap-preview
Free preview
Eps. 1 Pulang Terlambat
Hujan turun sejak pagi. Rhea Eliza berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, mengamati rintik air yang berkejaran di balik kaca. Tangannya memegang secangkir kopi yang mulai mendingin, tapi pikirannya tak benar-benar ada di sana. Dia baru saja menyelesaikan sidang terakhir pekan ini — kasus perselingkuhan seorang suami yang menyembunyikan istri simpanan selama lima tahun. Klien wanitanya menangis ketika palu hakim diketuk, dan Rhea, seperti biasa, hanya diam. Sudah terlalu sering ia menyaksikan cinta dibungkus kebohongan. Sudah terlalu sering ia menghapus jejak luka perempuan lain, sambil menahan luka yang tak bisa dijelaskan dalam dirinya sendiri. Tapi hidupnya sendiri berjalan stabil. Setidaknya, selama ini begitu. Devan Elano. Nama yang datang dengan tenang, tapi menetap seperti musim. Pengusaha properti muda yang muncul dalam sidang dua tahun lalu sebagai saksi. Tidak banyak bicara, tapi caranya menatap, cara dia menghargai argumen Rhea saat itu—semuanya terasa...berbeda. Setelah kasus selesai, ia datang membawa proyek kerja sama, lalu satu undangan makan malam, lalu satu kalimat yang tak terduga “Kamu terlalu tajam untuk dibiarkan sendiri.” Sekarang, mereka sudah menikah satu tahun. Dan semua terasa baik-baik saja. Atau, setidaknya, Rhea ingin mempercayai itu. ** Sore itu, Rhea pulang lebih awal. Ingin menyiapkan makan malam sendiri, sesuatu yang sudah lama tidak sempat ia lakukan. Ia membeli bahan-bahan favorit Devan, salmon, asparagus, dan jus lemon murni. Tak lupa sebotol anggur merah yang disimpan untuk momen spesial. Tapi rumah terlalu sepi. Lampu ruang tamu belum dinyalakan. Sepatu Devan tidak di rak. Tidak ada suara dari lantai dua. Padahal biasanya, walau pulang larut, Devan selalu memberi kabar. Rhea mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat. [Kamu Di mana? Aku di rumah. Masak buat kamu.] Tidak ada balasan. Hanya dua centang abu-abu. Rhea menatap layar ponselnya beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Ia menepis pikirannya sendiri. “Dia mungkin sedang rapat. Atau baterai habis.” Rhea menarik kursi makan pelan, seolah takut suara gesekannya akan memecah ketenangan rumah yang terlalu sunyi malam itu. Ia duduk. Ponsel di tangannya, terkunci di layar pesan yang belum berubah sejak dua puluh menit lalu. Centang dua. Masih abu-abu. Tangannya mencengkeram sisi kursi, mencoba tetap rasional. Tapi isi kepalanya sudah mulai berantakan. Pikiran buruk menyelinap satu per satu—membayangkan Devan bersama perempuan lain, atau lebih buruk lagi, bersama perempuan yang kini membawa anaknya. Di meja, masakan yang ia siapkan kini sudah dingin. Asparagus yang tadinya segar dan wangi kini layu. Lilin kecil yang semula dinyalakan dengan harapan menyambut malam hangat, telah padam dengan sendirinya. “Aku tidak akan curiga,” bisik Rhea pada dirinya sendiri. “Aku hanya ingin kejelasan. Kejujuran.” Namun suara hatinya terdengar lemah, nyaris seperti pembelaan. Ia menatap layar ponsel lagi. Tak ada notifikasi. Tak ada balasan. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan kuku ibu jari, pelan, teratur, hampir obsesif. Tok. Tok. Tok. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Pikiran Rhea mulai melayang ke momen saat ia dan Devan pertama kali bertemu—bagaimana ia menyebutnya “terlalu tajam untuk dibiarkan sendiri”, bagaimana matanya seolah hanya tertuju padanya saat di ruang sidang, bagaimana semua perhatian Devan membuatnya percaya bahwa mungkin kali ini...dia tidak akan disakiti. Tapi perempuan seperti apa yang bisa disakiti, tanpa tahu bahwa dia sedang disakiti? Ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar. Devan akhirnya membalas. [Maaf, baru bisa balas. Aku sedang rapat panjang. Kenapa?] Rhea membaca pesan itu tanpa emosi. Tidak ada nama panggilan. Tidak ada tanda khawatir atau perhatian seperti biasanya. Kenapa? Pertanyaan itu seperti ejekan yang halus. Ia mengambil napas panjang. Lalu membalas. [Kita perlu bicara. Sekarang.] Dan kali ini, Rhea tidak menunggu balasan. Ia hanya duduk di sana, menatap ponsel tanpa berkedip, sementara pikirannya perlahan menyusun ulang semua kenangan yang pernah ia percaya. Ada suara kunci pintu diputar dari luar. Rhea menegakkan punggungnya. Devan sudah pulang. Dia menutup pintu perlahan, hampir tanpa suara, seolah tahu bahwa ketenangan di dalam rumah itu bisa pecah kapan saja. Langkahnya masuk ke ruang tengah dengan ritme pelan tapi mantap. Tangannya masih menggenggam erat tas kerja berwarna cokelat tua — jinjingan dari kulit asli yang biasa ia bawa ke setiap pertemuan penting. Kini, benda itu tampak berat, seperti membawa beban yang lebih dari sekadar berkas-berkas kantor. Wajahnya teduh seperti biasa, tapi ada garis-garis lelah yang tak bisa disembunyikan. Mata Devan sedikit merah, kelopak matanya turun, seolah terlalu sering menatap layar dan terlalu banyak menahan kata yang tak terucap. Rahangnya mengeras sesaat saat ia melihat Rhea duduk menunggunya di meja makan, tapi ia cepat mengembalikan ekspresinya ke posisi netral — tenang, terkendali, tanpa cela. Tanpa bicara, ia menarik satu kursi di seberangnya. Kursi itu menggesek lantai dengan bunyi seret pelan yang terasa lebih nyaring daripada yang seharusnya. Devan meletakkan tasnya di atas meja, tepat di samping ponsel Rhea yang masih terbuka pada pesan terakhir darinya. Lalu ia duduk. Tegak. Tak bersandar. Kedua tangannya bertaut di atas pangkuan, jari-jari saling menggenggam kuat seolah menahan diri agar tidak gemetar. Mata mereka bertemu. Sesaat. Lalu jatuh dalam diam. Devan membuka suara lebih dulu, tapi suaranya terdengar lelah. Serak. Seperti seseorang yang tahu ia akan kalah sebelum perang dimulai. “Kamu masak?” tanyanya, seperti ingin memulai dari tempat yang aman. Rhea tidak menjawab. Tatapannya tidak mengandung kemarahan, tapi juga bukan pengertian. Ada sesuatu yang dingin di sana. Jernih, tapi menusuk. Devan menundukkan pandangannya sejenak, lalu mengangkatnya kembali. “Rhea…ada apa?” Rhea menatap Devan tanpa berkedip. Nadanya tenang, tapi tajam seperti bilah pisau yang baru diasah. “Kenapa kamu pulang malam? Dan kenapa tidak ada kabar sama sekali? Apa benar kamu lembur, Devan?” Suara hujan di luar jendela terdengar makin jelas, mengisi ruang yang tiba-tiba disesaki ketegangan. Devan tidak langsung menjawab. Matanya menghindari tatapan Rhea, menunduk sejenak seolah sedang memilih kata. Rahangnya mengencang, dan jari-jarinya saling menggenggam makin erat. Ia mereguk saliva dengan berat, lalu menarik napas pelan, tapi masih tetap diam. Rhea memperhatikan semua detail kecil itu, dan semakin lama ia menunggu, semakin kuat firasat buruk mencengkeram dadanya. Devan akhirnya membuka mulut. “Aku…memang lembur. Tapi—” Dan kalimat itu menggantung di udara. Berat baginya untuk mengucapkan. Suaranya seperti tertahan untuk berkata sesuatu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
23.0K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
182.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
231.0K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.7K
bc

TERNODA

read
195.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
20.1K
bc

My Secret Little Wife

read
129.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook