15. AINARA: 🎵 ANSWER: LOVE MYSELF

2118 Words
🎤: BTS Aku tumbuh dalam diam, bukan karena kuat, tapi karena terbiasa dipatahkan. Kini, di pelukannya, aku belajar bersuara. Pelan-pelan. Tapi pasti. Karena mungkin, untuk pertama kalinya, aku merasa layak didengar. *** “Di sini aja, Mas, Ra.” Kalista duduk lebih dulu di highchair, memperhatikan barista café yang membelakangi kami, tengah memadatkan bubuk kopi di portafilter dengan tamper logam, lalu memutarnya ke grup head mesin espresso. Kami menurut, menunggu salah satu staf café melayani kami. “Lah, Kal?” tegur si barista begitu menoleh dan mendapati Kalista melambaikan tangan. “Sakit lo?” “Sakit jiwa!” “Dari dulu itu mah, Kal.” “Gue ngga kelihatan apa?” Suamiku menyela. “Emang menurut Mas—Kalista gimana?” tanya barista itu lagi. Keningku mengerut, bagaimana bisa interaksi mereka bertiga terlihat begitu natural? “Iya sih,” jawab Mas Ay. Kalista meliriknya tajam. Barista itu tergelak, begitu pun aku. “Anak baru nih,” ujar pemuda di depanku. Aku mengangguk pelan. “Saya sobatnya Kalista, teman sekampung, diutangin sama Mas Andra ikut pelatihan barista. Tapi, alhamdulillah sudah lunas, Mbak. Ngga mangkir saya mah orangnya. Nama saya Sultan, tapi belum jadi sultan.” “Amsyong mulu malah nasib dia mah, Ra,” sambar Kalista. “Kok lo gitu sih? Jangan suka nyumpahinlah. Kecuali lo pengen berjodoh sama gue.” “Na—” Barista itu membungkam bibir Kalista dengan cookies yang tertata di depan kami. “Ngga boleh ngomong jorok.” “Habis ribut dia,” ujar Mas Ay. Sultan mendengus. “Dont's let idiots ruin your day, Kalista!” “Hmm,” gumam Kalista. “Oh iya, Mbak Ainara—” “Nara aja,” potongku. “Tau nama saya?” “Tau dong, Mbak. Si Tengil ini yang cerita,” tanggap Sultan. “Maaf saya ngga datang pas nikahan Mbak dan Mas Andra.” “Mas Ay!” Kalista menyela. “Nara manggil mas gue; Mas Ay.” “Ay wanna be your vacuum cleaner. Breathing in your dust. Ay wanna be your Ford Cortina. Ay will never rust. If you like your coffee hot. Let me be your coffee pot. You call the shots, babe. Ay just wanna be yours.” Sultan malah berdendang. Kalista sontak tergelak. “Arctic Monkeys! Anj1r kreatif banget sobat gue yang kagak kunjung nyultan!” Sultan mencebik. “Dahlah, mau minum apa Mas Ay, Mbak Nara?” “Aku milkshake blueberry,” jawabku. “Gue air mineral dingin aja, kebanyakan ngopi tadi di kantor,” sambung suamiku. “Siap! Wait for a minute, okay?” “Bikinin gue minuman yang cocok dengan mood gue saat ini, Tan,” sambar Kalista. “Tan?” “Sultan.” “Sip.” “Kadang kayak setan.” “Heh!” Kami bertiga sontak tergelak. Mood-ku mulai membaik. Sepertinya Mas Ay juga begitu. Serta Kalista, meski sepertinya masih dalam mode waspada karena sesekali ia melirik ke pintu café. Aku duduk di sampingnya, terapit di tengah dengan suamiku. Tanganku digenggam Mas Ay sejak kami duduk di sini, seolah sigap menjaga dan memastikan aku baik-baik saja. “Cewek sigung tadi siapa, Ra?” tanya Kalista. “Sigung? Sassa?” “Eh, gue kira sigung taunya mecin.” Mas Ay tertawa renyah. “Malah ketawa lo, Mas. Siapa tuh mecin?” “Sahabatnya Tirta,” jawabku. Kalista terperangah. “Kok bisa?” “Don’t judge a book by a cover,” tanggap suamiku. “Tergantung latar tempatnya, Mas. Kalau lo tinggal di Indonesia, cover ya ngaruh banget! Kecuali lo tinggal di Finlandia, kertas bungkusan gorengan aja dibaca dengan teliti, Mas.” “Mana ada orang jualan gorengan pakai kertas dokumen milik negara di Finland!” balas Mas Ay. “Ya makanya … maksud gue, di sini mah ngga berlaku pepatah lo tadi,” timpal Kalista. “So, kok bisa Tirta sobatan sama mecin kadaluarsa itu?” Ia kembali menanyaiku. “Entah, Kal. Mereka sudah dari kecil tinggal di lingkungan yang sama. Orangtuanya Sassa jadi tajir melintir, tapi broken home. Impact-nya ke Sassa,” jelasku. “Mental illness?” Aku mengangguk. “Apa maunya dia harus diiyain, kalau ngga dia nyayat pergelangan tangan.” “Nyoba bundir?” Lagi, aku menjawab dengan anggukan. “Biarin aja sih, kali dia mau lihat situasi dan kondisi di alam sana.” “Kalau ngga cocok, balik lagi?” sambar Sultan seraya meletakkan tiga minuman di hadapan kami. “Kadang lo terlalu cerdas, Kal. Sampe lebih mirip senewen daripada jenius!” “Ngga demen gue tuh sama orang zaman sekarang. Dikit-dikit mental illness,” balas Kalista. “Self diagnose pula!” “Lo juga orang zaman sekarang, Kal.” “Iya juga sih. Tapi gue ngga gitu. And my mental is totally fine, inshaaAllah.” Sultan menaikturunkan alisnya. “Terus, Ra?” tanya Kalista lagi. “Si mecin banyak bantu keluarganya Tirta.” Suamiku yang menjawab. “Merasa hutang budi juga mungkin.” “Dan itu nenek-nenek aji mumpung?” “Nenek-nenek?” tanya Sultan. “Emaknya mantannya Nara,” jawab Kalista. “Lo emang ngerti kami dari tadi ngomongin apa?” “Ngga. Nimbrung aja, biar kayak orang pinter,” sahut Sultan. “Dukun lo?” Aku terkekeh. “Gila sih, julid banget itu nenek-nenek, Ra,” ujar Kalista lagi. “Kebanyakan makan rujak mangga muda hasil curian kali ya? Asem pedes ocehannya!” “Kalau lo kebanyakan makan pare hasil nyolong?” sambar Sultan. “Ibu lo yang ngasih gue pare, Tan! Ngga nyolong gue!” “Ngga nyolong aja pait bener ocehan lo, Kal! Untung gue strong! Ngga baperan.” “Itu nenek-nenek yang baperan. Padahal julid mampus.” “Karet dua?” “Disobek dikit, Tan.” Aku dan Mas Ay terus terkekeh mendengar dialog mereka, ada saja yang membuat kami tergelitik. “Yang jelas, kalau ngga karena lo dan Mas Ay tadi, mungkin gue yang diam aja dicecar ibunya Tirta.” Mas Ay menyentuh rambutku, jemarinya lembut menyusup di sela-selanya. “Dan kalau kamu ngga nahan aku, mungkin aku yang tadi udah ribut sama ibu itu dari awal,” gumamnya. “Urusan debat dan noyor orang kasih gue aja,” timpal Kalista, menyesap milk tea-nya lagi. “Kalau dibikin gila sekalian, beda lagi tarifnya.” “UUD lo! Ujung-ujungnya duit!” “Gue realistis, Tan.” “Jadi, lo ke sini ngapain, Kal?” tanya Sultan lagi. “Oh … gue nabrak mantannya Nara yang nerobos lampu merah.” Sultan sontak membelalak. Ia lalu mengulurkan tangan, mencengkeram kedua lengan Kalista, meliukkan tubuh adik iparku ke kanan kiri. “Apa yang sakit?” “Mantannya Nara yang kaki patah satu, tangan keseret satu, Tan.” “Lo?” “Ngga apa-apa.” “Sudah periksa?” “Lo budeg apa gimana sih? I’m fine! Yang masuk IGD si Tirta!” “Ngga peduli gue! Yang gue tanya tuh lo! Lo sakit ngga?” “Ngga, Tan.” “Awas lo bohong!” “Bukan gue yang bohong, lo yang ngeyel!” Tawaku tak bisa berhenti. Sementara suamiku menggeleng melihat keduanya. “Baliklah gue,” ujar Mas Ay. “Ada Sultan kan, amanlah!” “Apa perlu Esa ke sini, Kal? Biar gue tanyain.” “Esa siapa?” tanya Sultan. “Adik saya,” jawabku. “Ngga usah, Mbak Nara. Saya aja yang ngurus si Tengil ini.” *** Hari nyaris berganti. Belanjaan tadi sudah masuk ke lemari pendingin. Sisa makanan dari foodhall juga sudah masuk ke perut kami. Dapur bersih. Semua lampu kecuali di kamar ini sudah padam. Aku baru selesai memoles krim malam saat suamiku keluar dari kamar mandi. Ia naik ke ranjang lebih dulu. Aku menyusulnya, memadamkan lampu di sisiku, lalu merebahkan tubuhku bersisian dengan Mas Ay. Suamiku meredupkan lampu tidurnya, baru kemudian menyisipkan lengannya di bawah kepalaku. Satu tangan yang lain melingkari tubuhku. “Mas besok sibuk?” tanyaku. “Ngga ada agenda di luar rutinitas. Palingan … jam makan siang Algar mau datang.” “Oh?” “Makan siang aja. Kan waktu kita nikah, dia lagi di Melbourne.” “Iya ya? Nara malah ngga ingat siapa aja yang datang. Yang jelas ngga ada teman Nara.” Tentu saja begitu, kan harusnya itu pernikahan Kak Ajeng. Aku memandangi langit-langit yang redup oleh lampu temaram. Menghela napas panjang. “Kenapa, sayang?” gumam suamiku. “Ngga apa-apa, Mas,” jawabku. “Capek ya?” tanyanya lagi. “Iya, Mas.” “Capek pikiran? Misalnya … kenapa ibunya Tirta segitu bencinya sama kamu?” Aku tersenyum, lalu menoleh ke suamiku, menatapnya lekat. “Bukan kamu yang salah, Dek. Pikiran ibu itu yang bermasalah.” “Iya, Mas.” “Kalau ada seseorang yang ngga suka sama kita, sementara kita sudah berusaha menjadi versi terbaik diri kita, jangan lantas malah merasa ada sesuatu yang salah dengan diri kita.” Speechless, aku terdiam mendengar kalimatnya yang ‘menamparku’. “Seringkali, orang benci melihat kita senang atau tenang,” lanjutnya, jemarinya membelai pelipisku pelan. “Karena hidup mereka sendiri ngga pernah tenang. Jadi, mereka pikir kita ngga pantas bahagia.” Aku masih diam, bingung menanggapi. “Dan kalau kamu benar … kamu ngga perlu takut, Dek.” Aku mengerjap. Kumiringkan tubuhku, membalas pelukannya, menenggelamkan wajahku di dadanya. “Nara kalau marah malah gemetar, Mas. Ngomong pun jadi ngga fokus, berantakan. Ujung-ujungnya nangis, dan orang ngga nangkap apa yang Nara maksud. Yang terlihat akhirnya Nara yang ngga stabil secara emosi, drama, baper.” Mas Ay menghempaskan napas. Embusannya menghangatkan ubun-ubunku. Jujur, aku ingin seperti Kalista, atau seperti kedua sahabatku yang pandai menuturkan isi hati dan kepala. Pasti rasanya nyaman bukan, bisa menata pikiran, tak terus-menerus dihantui asumsi buruk dan menakutkan? Tapi untukku … semuanya selalu terasa menyesakkan. Sejak kecil, aku terbiasa menahan. Bukan karena kuat, tapi karena tak ada pilihan lain. Dan semakin lama aku menahan, semakin aku lupa caranya bicara. Semakin aku bungkam, semakin aku percaya bahwa suara hatiku memang tak penting untuk didengar. Suamiku masih tak bicara, namun dekapannya di punggungku kian menguat, seolah ingin menyerap semua rasa negatif yang kualami selama tumbuh. “Nara … ngga pernah belajar ‘bicara’. Tapi, hampir seumur hidup, Nara belajar untuk diam, menahan diri. Karena kalau Nara protes, entah bagaimana justru jadi Nara yang salah. Kalau jujur, Nara dibilang lebay. Kalau ngeluh, Nara dianggap manja. Lama-lama Nara ngga tau lagi mana yang boleh dirasa, mana yang harus ditekan.” Mas Ay memberi jarak di antara kami. Ia menatapku lekat. Kupaksakan senyum yang justru menimbulkan sesak di dad4. “Mungkin karena itu, ya Mas … makanya kalau ada yang marah ke Nara, Nara langsung panik. Merasa pasti Nara yang salah. Padahal belum tentu. Nara jadi gampang takut, gampang nangis, gampang merasa banyak kurangnya.” “Sayang …” Suara Mas Ay dalam dan lembut. Ia tak buru-buru menenangkan. Ia hanya menatapku, dalam dan tulus. “Kita belajar bareng ya … untuk bicara, untuk nunjukin ekspresi, untuk mengelola emosi. Ngga usah buru-buru, karena semua luka butuh waktu untuk pulih. Mas di sini buat itu, Dek. Buat nemenin kamu. Bukan buat minta kamu jadi seseorang yang sempurna.” Aku menggigit bibirku yang mulai bergetar. “Dan Mas ngga akan biarin siapa pun lagi bikin kamu merasa bersalah karena jadi diri kamu. Mas ngga akan biarkan kamu memberikan milik kamu ke orang lain karena dia merasa lebih layak memiliki. Mas suka Nara yang sekarang, suka banget! Yang masih belajar nyuarain isi hati. Yang kadang masih takut, tapi berani cerita. Yang paham lukanya, tapi tetap punya kasih buat orang lain.” Air mataku luruh juga akhirnya. “Makasih ya, Mas.” “Mas yang harusnya bersyukur. Karena kamu mau nerima Mas, memperlakukan Mas dengan sangat baik sedari rumah tangga kita dimulai.” Aku tak menjawab. Hanya menenggelamkan diriku lagi di pelukannya. Jemariku membuka satu kancing piyamanya, melekatkan puncak hidungku di tengah dadanya, menghidu dalam wangi imamku yang begitu hangat. “Dek?” “Ya, Mas?” “Mending sekarang atau habis subuh?” Tawaku pecah. “Malah ketawa ih!” sambat Mas Ay. “Mancing sih.” “Habis subuh aja, Mas,” tanggapku. “Oke.” Aku dulu mengira, mencintai diri sendiri adalah keegoisan. Bahwa untuk bisa diterima, aku harus selalu bisa menyesuaikan. Tapi ternyata … yang kupikir kelemahan, adalah luka yang belum sempat diobati. Dan di pernikahan ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa aman dalam pelukan seseorang. Aku tak perlu berlari. Tak perlu menjelaskan panjang lebar siapa diriku. Karena ia tak hanya mau mendengar, namun juga sedia menunggu hingga suaraku cukup kuat untuk terdengar. Mungkin… mencintai diri sendiri dimulai dari tempat yang kecil. Seperti ruang ini. Dengan lengan yang dijadikan bantal. Dan jemari yang tak pernah melepaskan genggamanku. Juga suara yang berkata, "Mas suka Nara yang sekarang." Dan untuk pertama kalinya … aku percaya, bahwa aku tak sedang sendiri dalam belajar mencintai diriku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD