1.Linggrie

1405 Words
Di ruang kerjanya yang luas di lantai paling atas Wijaya Group, Sean Adrian Wijaya bersandar di kursi kulit hitam. Pria berusia tiga puluh tahun itu memejamkan mata, menahan letih sekaligus frustasi. Wajah tampannya terlihat tegang. "Nana makin hari makin berubah…" pikir Sean. "Sibuk dengan geng sosialitanya, pulang pun hanya sekadar tidur. Lia tahun pernikahan dalam tiga tahun terakhir dia sudah jarang menjalankan kewajibannya melayani ku. Bahkan sering menolak dengan alasan capek. Aku pria dewasa, aku butuh hal biologis. Harusnya dia mengerti. Sampai kapan aku harus bertahan begini? Aku harus main solo setiap malam hanya untuk menahan hasratku. Padahal kalau aku mau selingkuh, bisa saja… tapi itu bukan aku." Ia menghembuskan napas berat, menatap langit Jakarta dari balik kaca tinggi kantornya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama tertera di layar. Sean langsung menggeser layar hijau. “Hallo, Mah. Ada apa? Aku lagi sibuk banget, banyak kerjaan,” ucapnya sambil menekan pelipis. Suara lembut Astrid, ibunya, terdengar di seberang. “Tenang, Mama nggak akan nanyain cucu lagi kok.” Sean menghela napas lega. “Syukurlah, kupikir Mama mau bahas itu lagi.” “Tapi Mama mau kasih kabar. Karina mau kuliah di Jakarta, kampusnya dekat kantor kamu. Jadi biar sekalian, Mama pikir lebih baik Karina tinggal di apartemen kalian.” Sean spontan bangkit dari kursinya. “Apa? Tinggal di apartemenku, Mah? Mama yakin? Aku sama Nathalia sibuk, nanti malah kasihan Karina sendirian di sana.” Astrid terkekeh kecil. “Justru itu, biar apartemen kalian nggak sepi. Ada Karina kan lumayan. Dia masih gadis, Sean. Tante Mika juga nititipin dia, jangan sampai Karina salah pergaulan di Jakarta. Kamu yang jagain dia ya.” Sean mengusap wajahnya, setengah ragu. “Ya ampun, Mah… aku ini laki-laki, tahu? Masa aku yang harus jagain anak gadis bau kencur itu? Kalau nanti Nana curiga gimana?” “Sean.” Suara Astrid berubah tegas. “Ini titipan keluarga. Mama percaya kamu bisa jaga. Jangan bikin Mama kecewa. Lagi pula, Karina itu polos. Kalau kamu biarin sendirian, siapa tahu dia salah langkah.” Sean terdiam beberapa saat, lalu menyerah. “Baiklah, Mah. Nanti aku suruh Mbak Tari bersihin kamar tamu buat Karina. Jadi dia bisa langsung istirahat.” “Bagus. Karina naik kereta dari Jogja. Supir akan jemput dan langsung antar ke apartemen. Kamu nggak usah ke stasiun, biar dia langsung istirahat. Capek pasti.” “Yaudah. Aku minta Tari tunggu di lobi buat sambut dia. Gitu aja kan?” “Iya. Makasih ya, Sean. Mama masak dulu nih. Semangat kerja!” Sambungan terputus. Sean menatap layar ponsel lama, bibirnya mencebik. “Dasar Mama… ada-ada saja. Kenapa nggak nyuruh Karina ngekos sih? Nanti kalau hubungan aku sama Nathalia yang sudah retak ini ketahuan bocah itu… bisa runyam kalau sampai dia ember.” Ia menjatuhkan diri kembali ke kursi. Pandangannya kosong, pikirannya kacau. Stasiun Gambir siang itu ramai. Karina turun dari gerbong dengan langkah hati-hati, satu tas ransel di pundak dan koper besar di tangan. Seorang sopir berusia paruh baya dengan seragam rapi melambai sambil memanggil. “Non Karina, ya?” Karina menoleh cepat, lalu tersenyum lega. “Iya, Pak. Saya Karina.” “Silakan ikut saya, Neng. Mobil sudah nunggu di parkiran.” Pak Boby langsung mengambil koper dari tangan Karina. “Wah, makasih banyak, Pak. Berat banget soalnya,” ucap Karina sambil terkekeh kecil. Pak Boby tersenyum ramah. “Namanya juga bawaan anak kuliahan, pasti segunung. Ayo, biar cepat sampai.” Mereka berjalan keluar stasiun. Setelah menempuh perjalanan, mobil hitam berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah. “Sudah sampai, Neng.” Pak Boby menoleh sambil menepikan mobil. Karina menatap tinggi bangunan itu dengan mata berbinar. “Wow… megah banget. Kayak di drama Korea.” Ia turun, meraih tas, lalu membungkuk sedikit. “Terima kasih, Pak Boby.” “Sama-sama, Neng. Hati-hati di dalam ya,” balas Pak Boby sebelum pergi. Karina menarik kopernya masuk ke lobi. Seorang perempuan dengan seragam sederhana sudah menunggunya. “Non Karina, ya?” Karina tersenyum ramah. “Iya, Mbak. Mbak Tari, ya?” “Iya, betul. Yuk, ikut saya. Biar kopernya saya tarik.” Tari langsung menggenggam koper Karina. “Wah, repot banget, Mbak. Makasih ya.” Mereka masuk ke lift. Karina memperhatikan angka-angka di panel menyala naik. “Lantai berapa ini, Mbak?” “Lantai 20, unit 150. Apartemen besar, enak banget buat tinggal. Tapi… Pak Sean sama Bu Nathalia jarang di rumah. Kadang nggak pulang juga.” Karina menoleh dengan dahi berkerut. “Serius, Mbak? Terus kalau sepi gitu gimana?” Tari tersenyum kecil. “Ya, itu sebabnya Mama kamu titipin kamu di sini. Kalau saya sih cuma datang bersihin, habis itu pulang. Jadi ya, Non sering sendirian juga.” Lift berbunyi ting, pintu terbuka. Tari menempelkan kartu akses dan membuka pintu apartemen yang luas dengan interior mewah. “Silakan masuk, Non.” Karina melangkah masuk, matanya berkeliling penuh kagum. “Ya ampun… ini beneran kayak hotel bintang lima.” Tari meletakkan koper di depan kamar tamu. “Kamar Non di sini. Saya sudah rapikan. Ada makanan di dapur kalau Non lapar. Kopi dan teh ada di lemari atas. Kalau ada perlu, tinggal telepon saya.” Karina tersenyum hangat. “Makasih banyak, Mbak Tari. Repot banget ya ngurusin saya.” “Ah, nggak apa-apa. Non istirahat aja dulu. Saya pulang duluan, ya.” “Baik, Mbak. Hati-hati di jalan.” Setelah Tari pergi, apartemen itu sunyi. Karina membuka pintu kamarnya, melihat ruang yang bersih tapi kosong. Ia mulai menyusun pakaian di lemari, lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan rambut basah, mengenakan piyama tipis warna pastel. “Hmm… pakai piyama lingerie gini nggak apa-apa kan? Toh mereka jarang pulang juga…” gumamnya sambil tersenyum ke cermin. Ia menepuk-nepuk wajah, lalu mengambil sedikit make-up, merias tipis. Tak lupa menyemprotkan parfum ke pergelangan tangannya. “Harus wangi, biar betah sendiri.” Karina keluar kamar, menuju dapur. Ia membuka tudung saji. “Wah, Mbak Tari masak banyak. Lumayan buat makan malam.” Sambil menikmati makanan sederhana, Karina menyalakan televisi di ruang tengah. Ia meneguk kopi hangat, lalu bersandar di sofa. “Hmm… apa yang enak ditonton ya?” bisiknya sambil menekan remote. Netflix terbuka, dan tanpa sadar jarinya berhenti di salah satu film dewasa yang banyak dibicarakan teman-temannya. Karina menggigit bibir, ragu, tapi lalu menekan tombol play. “Ya ampun… jadi penasaran juga sih,” gumamnya, matanya tak lepas dari layar. Sean keluar dari ruang kerjanya. Malam sudah pekat. Ia menghela napas panjang lalu melangkah cepat ke basement, masuk ke dalam McLaren kesayangannya. “Karina pasti sudah tidur. Sudah terlalu malam. Lagipula… ah, tidak usah beli makanan. Percuma,” gumamnya pelan sambil menyalakan mesin mobil. Di jalan, ia menyetel musik, mencoba mengisi kesepian. “Dasar Nana… sibuk dengan sosialitanya. Mana sempat mikirin suaminya sendiri,” ujarnya lirih, memutar volume lebih keras. Sampai di apartemen, Sean memarkirkan mobilnya. Dengan langkah lelah, ia menekan tombol lift menuju lantai unitnya. Begitu pintu terbuka, ia mendapati ruang tamu apartemen gelap dan sepi. Namun, samar terdengar suara dari televisi—suara yang sangat ia kenal. Film dewasa. Sean menajamkan pandangan. Ia berjalan pelan. Dari kejauhan, terlihat siluet seorang wanita berambut panjang, bahunya bergerak naik-turun ia sedang ma5trubasi. Aroma wangi parfumnya tercium jelas. “Siapa…? Karina?” Sean menahan napas. Lalu dalam hati ia berbisik, Nathalia… apa ini semacam kejutan setelah sekian lama? Pelan, ia mendekat lalu melingkarkan lengannya dari belakang. “Baby… aku merindukanmu,” bisiknya lembut di telinga wanita itu. Sontak sosok itu menoleh. Karina—adik sepupunya—menatap kaget. “Kak Sean?! Apa yang kakak lakukan?!” Sean terdiam, tapi matanya jelas melihat apa yang tadi dilakukan Karina. “Kamu… ngapain jam segini belum tidur? Kenapa kamu nonton film dewasa… segala? Dan… barusan aku lihat sendiri apa yang kamu lakukan.” Karina buru-buru menurunkan lingerie-nya, wajahnya memerah. “Itu bukan urusan Kakak!” bentaknya cepat. “Bukan urusan? Karina, kamu sadar nggak… apa yang baru saja kamu lakukan di ruang tamu?” Sean menelan ludah, menahan gejolak di dadanya. Karina menggigit bibir, lalu berlari cepat ke arah kamarnya. “Aku nggak mau dengar! Jangan ikut campur!” serunya sambil menutup pintu kamar dengan keras. Sean terdiam. Tangannya refleks meraih celana dalam segitiga yang ditinggalkan Karina di sofa. Ia menatapnya lama, lalu mengangkat mencium mengendus di hidungnya. “Sial…” desisnya lirih. “Kenapa aku malah berimajinasi gila seperti ini kepada Karina? Andai saja aku bisa memasukkan pusaka ku…” ia tak melanjutkan, hanya mendengus berat sambil menutup matanya, imajinasi liar mulai berputar di kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD