Bab 5 - Menyusup ke Kamar Calon Pengantin

1371 Words
Arsen merasa perlu tahu Juragan Iwan itu orang seperti apa agar bisa menghadapinya. Dengan koneksi yang dimilikinya serta orang-orang kepercayaan yang kemampuannya tidak bisa diragukan, Arsen berhasil mengantongi berbagai informasi yang dibutuhkannya. Baik itu tentang Juragan Iwan yang akan menjadikan Fadia sebagai istri keempatnya, juga tentang karakteristik rumah yang akan dijadikan tempat dilangsungkannya pernikahan mereka. Arsen tidak punya banyak waktu karena pernikahan Fadia dengan Juragan Iwan akan dilangsungkan besok. Jika Arsen tidak bertindak hari ini, Fadia akan benar-benar menjadi milik pria tua omes dan Arsen tidak rela. Sangat tidak rela! Kehilangan Fadia selama dua tahun saja, hati Arsen merasa kesulitan. Apalagi jika kehilangan lantaran wanita itu menikah dengan pria lain. Itu tidak boleh terjadi. “Tadi malam Tuan tidak meminta nomor ponselnya?” “Nomor ponsel Fadia?” “Ya, pada tetangganya.” “Kalaupun saya minta, ponselnya pasti saat ini sedang ditahan oleh pamannya. Fadia tidak akan bisa dihubungi.” “Benar juga,” balas Hedy. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya Arsen kemudian. “Tuan, coba pikirkan sekali lagi tentang risikonya. Menggagalkan pernikahan adalah sesuatu yang….” “Kamu meragukan kemampuan saya? Saya bisa melakukannya dengan cara yang rapi, terlebih dengan bantuan orang-orang kepercayaan saya termasuk kamu.” “Tapi ini tindakan terjauh yang pernah Anda lakukan, Tuan.” “Saya tidak peduli karena yang saya pedulikan adalah Fadia,” balas Arsen. “Padahal kamu yang paling tahu betapa tergila-gilanya saya pada Fadia selama dua tahun ini.” Jujur, Hedy tidak tahu Fadia akan menikah dengan pria lain. Ia hanya melaksanakan tugas untuk menemukan Fadia. Hanya saja, tindakannya ini justru membuat Arsen melakukan sesuatu yang sangat jauh. Hedy mulai memikirkan apakah seharusnya ia tidak memberi tahu Arsen tentang keberadaan Fadia? Sayangnya menyesal pun tidak ada gunanya karena semua sudah telanjur terjadi. Sekarang yang harus dilakukannya adalah membantu sang bos. “Ya, saya sangat tahu betapa Tuan sangat mencintai Fadia.” “Itu sebabnya kamu jangan pernah ragu melangkah ke depan. Dua tahun kita mencarinya, bagaimana mungkin berakhir menjadi harus merelakannya? Saya tidak bisa.” “Saya mengerti, Tuan.” “Sekarang, menurutmu bagaimana penampilan saya?” tanya Arsen kemudian. “Meskipun saya masih bisa mengenali Tuan, tapi saya yakin saat Tuan sudah berbaur ke dalam … orang-orang tidak akan menyadari kalau Tuan sebenarnya bukan bagian dari tim dekorasi.” Arsen tersenyum. “Bagus. Kalau begitu saya akan memulainya sekarang juga. Saya tidak punya banyak waktu,” ucapnya sambil meraih buket bunga besar yang sudah dipersiapkan untuk menunjang penyamarannya. *** “Bagaimana persiapannya?” tanya Juragan Iwan pada Bruno yang saat ini berkunjung ke rumah utamanya. “Setelah Fadia ditemukan, semua persiapan dilakukan dengan serba cepat.” “Ternyata kamu sungguh menepati janjimu menyerahkan Fadia pada saya, padahal hampir saja saya memberimu pelajaran jika itu hanyalah janji palsu. Kamu pasti tahu bagaimana akibatnya jika saya marah besar.” “Sangat wajar Juragan mengira saya menipu atau hanya memberikan janji palsu. Bukankah ini sudah beberapa bulan sejak saya berjanji akan menikahkan Fadia dengan Juragan? Untungnya saya bisa menemukan Fadia sebelum Juragan marah besar.” “Sekarang apa yang sedang calon istri keempat saya lakukan?” “Sekarang Fadia sedang melakukan serangkaian perawatan tubuh, Juragan. Tentunya demi mempersembahkan malam pertama yang maksimal untuk Juragan,” jelas Bruno. “Kedengarannya bagus,” balas Juragan Iwan. “Hmm, kalau dipikir-pikir … saya tahu Fadia saat masih kecil. Rasanya tidak menyangka dia akan menjadi istri saya.” “Kalau jodoh memang tidak ada yang tahu, Juragan.” “Dengan begitu … utangmu sudah saya anggap lunas, betul?” kata Juragan Iwan. “Maksudnya saat Fadia sudah resmi menjadi istri saya, saat itulah urusan utang piutang di antara kita selesai,” jelasnya kemudian. “Benar, Juragan.” “Bruno, Bruno … padahal hidupmu sudah enak sejak bisnis kotor yang kamu geluti berkembang pesat. Seharusnya kamu fokus saja berbisnis karena itu membuatmu menghasilkan uang bahkan berhasil mengeluarkanmu dalam kemiskinan, tapi bisa-bisanya kamu terjebak di meja judi lagi.” “Itu yang terakhir, Juragan. Setelah ini saya tidak akan mengulanginya lagi. Ya, saya tidak akan lagi-lagi berani menggunakan uang bisnis yang harusnya diputar untuk mendapatkan keuntungan, bukan malah menghabiskannya di meja judi.” Bruno melanjutkan, “Itu sebabnya saya sangat berterima kasih pada Juragan yang sudah membebaskan saya dari masalah finansial ini. Dengan begitu bisnis saya yang nyaris bangkrut bisa kembali bangkit.” Setelah itu, Bruno mengeluarkan ponselnya dan melihat riwayat chat dirinya dengan sang istri, Bonita. “Saya hampir lupa menunjukkan foto calon istri Juragan,” ucapnya seraya menunjukkan foto Fadia yang sedang berbaring di tempat tidur dalam keadaan terikat. “Kamu bahkan mengikat keponakanmu sendiri,” kata Juragan Iwan. “Fadia masih belum bisa menerima kenyataan ini, Juragan. Tapi saya jamin lambat laun dia akan terbiasa menjadi seorang istri.” “Coba saya ingin melihat fotonya lebih dekat,” pinta Juragan Iwan. Tentu saja Bruno segera menyerahkan ponselnya pada Juragan Iwan di hadapannya. Selama beberapa saat Juragan Iwan memperhatikan foto Fadia, sampai kemudian pria paruh baya itu berkata, “Melihat fotonya, gairah saya jadi semakin bangkit. Saya jadi tidak sabar ingin menghabiskan malam dengannya. Malam pertama kami pasti menegangkan dan penuh tantangan karena dia pasti menolak.” Juragan Iwan melanjutkan, “Tapi penolakan tidak berpengaruh bagi saya. Justru hasrat saya akan semakin terpacu.” “Itu sebabnya pernikahan dipercepat, agar Juragan bisa segera menikmati malam pertama yang sangat ditunggu-tunggu.” *** “Kamu merawat tubuhmu dengan baik, Nona. Calon suamimu pasti terpesona pada malam pertama kalian nanti,” ucap seorang therapist wanita yang sedang memberikan perawatan pada tubuh Fadia. Sementara itu Fadia memilih tidak menjawab. Entah itu sungguh pujian atau sekadar ejekan karena calon suami Fadia adalah kakek-kakek. Terapis kecantikan ini mustahil tidak tahu siapa calon suami Fadia, kan? Fadia yakin informasinya sudah tersebar dan bisa jadi diliput berita nasional lalu viral. Satu-satunya cara agar semua itu tidak terjadi adalah Fadia harus melarikan diri. Tapi bagaimana caranya sedangkan rumah ini dijaga ketat dan Fadia tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong. Fadia bahkan tidak tahu di mana ponselnya. Fadia akhirnya hanya tengkurap sambil menikmati pijatan-pijatan menenangkan yang therapist lakukan pada punggung telanjangnya. Jujur, Fadia jadi mengantuk dan perlahan memejamkan matanya. Sampai kemudian, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Fadia dan sang terapis spontan menoleh ke arah pintu. “Padahal udah dibilang jangan ada yang masuk dulu karena Nona tidak bisa diganggu,” ucap sang terapis. “Perlu saya buka, Nona?” Belum sempat Fadia menjawab, pintu yang memang tidak dikunci tiba-tiba dibuka dari luar. “Siapa?” tanya sang terapis kemudian. “Maaf, saya harus meletakkan bunga ini di kamar pengantin.” Sepertinya itu suara pria yang tadi membuka pintu. Fadia dengan malas memilih memejamkan mata dan membiarkan sang terapis yang menghadapi pengantar bunga itu. Di rumah ini memang banyak orang berlalu-lalang yang sedang mempersiapkan untuk pernikahan besok, jadi Fadia tidak heran ada yang mengantar bunga ke kamar ini. “Oh, besar juga bunganya. Tolong letakkan saja di situ lalu tolong keluar segera, ya.” Samar-samar Fadia mendengar sang terapis berbincang-bincang dengan pria itu selama beberapa saat. Fadia tidak peduli sama sekali, terlebih ia kalah dengan kantuk yang sungguh tidak tertahankan lagi. Sampai pada akhirnya, Fadia terperanjat saat menyadari pijatan-pijatan di punggungnya terasa berbeda. Tidak lembut dan menenangkan seperti tadi. Fadia yang penasaran pun menoleh dan betapa terkejutnya ia saat mendapati terapisnya berganti dan bukan wanita yang tadi, melainkan seorang pria. Ya, seorang pria! Fadia spontan ingin berteriak, sayangnya suaranya tertahan karena pria itu langsung membekap mulutnya. “Tenanglah, saya akan membantumu keluar dari sini. Jangan mengundang perhatian dengan berteriak,” ucap Arsen pelan. Saat melihat Fadia lebih tenang dan tidak ada tanda-tanda ingin berteriak lagi, Arsen perlahan melepaskan tangannya dari mulut Fadia. Fadia yang semula tengkurap pun duduk, tentunya sambil memegangi selimutnya agar tidak melorot karena wanita itu memang sedang telanjang. Tunggu, Fadia merasa sangat familier dengan pria itu. “Se-sebenarnya kamu siapa?” tanya Fadia penuh waspada. Alih-alih menjawab, Arsen melepaskan kacamata, masker dan rambut palsu di kepalanya. Fadia pun kembali berusaha mengingat-ingat tentang siapa pria di hadapannya. “Kamu yakin tidak ingat pada saya?” tanya Arsen kemudian. “Saya adalah pria yang kamu tinggalkan pergi dua tahun lalu, padahal saat itu saya sedang sayang-sayangnya sama kamu.” “Mas Arsen?” Arsen malah tersenyum. “Senang bertemu denganmu lagi, Fadia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD