Delapan

1445 Words
"Bukan aura panas yang nyaris membuat pingsan saja yang berbahaya, bisikan-bisikan itu juga akan menggiringmu pada kematian!" ❣❣❣ "Bagaimana bisa kamu bertahan untuk terus hidup berdua dengan lelaki itu selama ini, Die?" tanyaku saat aku dan Die sudah berada di ruang kelas. Kami sengaja janjian untuk datang sangat pagi ke sekolah. Selain karena aku sudah nggak betah satu atap dengan Life, amarahku juga sudah di ubun-ubun jika mengingat semua kata yang keluar dari mulut lelaki menyebalkan itu. Semua perkataan darinya terdengar merendahkan dan membuatku nyaris meninjunya seandainya aku lupa dia adalah kakak Die. Die nggak menanggapi pertanyaanku, hanya menghela napas panjang. "Aku sungguh kesal dibuatnya. Apa kamu nggak marah dia selalu meremehkan dirimu selama ini?" tanyaku, mengomel. "Apa kamu tidur dengan nyenyak tadi malam, Pol?" tanya Die yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Sangat nyenyak?" tanya Die lagi. "Ya, sangat nyenyak. Bahkan saat aku pulang, setan-setan itu sudah menghilang dan nggak kelihatan sama sekali!" jawabku. "Mereka nggak menghilang, Pol!" sanggah Die cepat. "Kamu hanya nggak bisa melihatnya!" Aku mengangkat satu alisku. "Apa maksudmu? Apa kemampuanmu melihat hantu mendadak hilang?" tanyaku keheranan. Die menggeleng pelan. "Bukan begitu, Pol!" sanggahnya. "Hanya saja, seperti yang aku katakan kemarin, Life adalah satu-satunya perlindungan untukmu!" "Heh? Lelaki bermulut tajam itu?" sindirku. Die mengangguk kecil. "Lelaki bermulut tajam itu adalah satu-satunya perisaiku, Pol. Karena itu aku bertahan hidup bersamanya. Walau menyebalkan, harus aku akui dialah orang yang membuatku sedikit bisa bernapas!" kata Die menekankan sekaligus menjawab pertanyaan yang tadi aku ajukan. "Mengapa begitu? Apa dia memiliki kemampuan khusus?" tanyaku ingin tahu. "Kamu pernah mendengar istilah tulang manis?" tanya Die yang membuatku menggaruk pelipisku. "Tulang manis?" ulangku dengan bingung. "Ibuku bilang, manusia yang dilahirkan dengan tulang manis akan disenangi para setan. Mereka akan berlomba-lomba untuk memperlihatkan diri, menipudayaku lalu mengambil jiwaku!" jelasnya. Aku bergidik mendengar penjelasan dari Die. "Life adalah kebalikan dariku. Jika aku tulang manis, dia sebaliknya. Dia adalah seseorang yang akan dijauhi oleh setan. Bau darahnya saja sudah membuat para setan berlarian. Dia adalah satu-satunya tempat untukku melarikan diri, Pol." Die melanjutkan. Aku menghela napas panjang. Rasanya, entah bagaimana, aku menangkap rasa sedih di nada suaranya walau ekspresi Die sangat dingin. Bahkan bisa dibilang, ekspresinya saat ini nggak terbaca. "Nggak ada cara lainkah untuk membuatmu nggak melihat mereka lagi Die?" tanyaku setelah beberapa saat membiarkan Die larut dalam pemikirannya sendiri. "Selain Life maksudku," imbuhku ragu-ragu. Die menoleh ke arahku dengan ekspresi yang lagi-lagi sulit untuk diterjemahkan. "Ada," jawabnya. "Apa itu? Bisakah kamu melakukannya agar nggak bergantung pada Life?" tanyaku dengan antusias. "Sekarang aku sedang melakukannya," jawab Die. Aku berpikir sejenak lalu berdecak pelan setelah mengerti apa yang sedang dia maksud. "Terjebak di tubuhku bukan solusinya, Die. Saat tubuh kita bertukar, kamu akan kembali diteror," ucapku khawatir. Die hanya mendesah pelan. "Bagaimana rasanya Pol?" tanya Die dengan mata yang menerawang jauh, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya saat ini. "Apa?" "Menjadi aku," jawabnya dengan lirih. "Well, aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya. Namun aku merasa seperti seorang pemula yang sedang belajar menjadi banci," jawabku. Kedua alis Die menyatu, dia menatapku dengan bibir yang sedikit mengerucut. Kesal. "Kamu mau aku tendang?" ancamnya. "Kenapa? Apa yang salah dengan jawabanku?" tanyaku berpura-pura nggak mengerti mengapa dia berkata begitu. Die mendecih pelan. "Ini bukan saatnya untuk bercanda, Pol. Ini menyangkut nyawa kita berdua!" ucapnya dengan marah. Aku mendengus kasar. "Sekarang aku tahu mengapa kamu dan Life terasa mirip," kataku. "Hah?" seru Die yang untuk pertama kalinya menunjukkan rasa terkejutnya. "Kalian selalu membahas soal nyawa," lanjutku. "Dengar Die, nggak ada yang bisa mencegah kematian. Kalau takdir membuatku terbunuh saat aku berada di tubuhmu, itu nggak masalah. Mungkin itu adalah cara Tuhan untuk membebaskanmu dari penderitaan. Jangan merasa bersalah jika itu terjadi Die. Aku akan marah kalau kamu begitu. Jangan sia-siakan kematianku, sebaliknya, tolong hiduplah dengan normal dan bahagia!" kataku dengan panjang-lebar. Die meninju ringan dadaku. "Aw," jeritku, sudah mirip reaksi perempuan saja. Ya walau sekarang aku memang sedang menjadi perempuan. "Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Pol. Jadi jangan berkata begitu!" katanya yang membuatku meraih tangan Die dan menggenggamnya dengan lembut. Ralat. Aku meraih dan menggenggam tanganku sendiri. Ya Tuhan, aku merasa sedikit ngeri dan jijik melakukan ini. "Berhati-hatilah, Pol!" katanya. Aku mengangguk lagi. Bagaimanapun peringatan semacam ini selalu dia katakan berulang kali. Aku sedikit bosan dengan hal itu tetapi mencoba bersikap baik. Lagipula dia memperingatkan aku karena peduli pada keselamatan kami berdua. "Mereka lebih berbahaya dari yang kamu kira." Aku hanya diam, demikian pula Die. Selanjutnya hanya kehampaan yang menjerat kami berdua. Pun saat Tsabit datang dan mengajak Die bicara, aku lebih memilih merebahkan diriku dan tidur. Lama-lama, sepertinya kebiasaan Die menjadi kebiasaanku juga. Semoga, ini hanya sementara. *** Aku sedang berjalan di lorong untuk pergi ke perpustakaan. Sekarang adalah jam pelajaran olahraga dan sebagai Die, aku nggak perlu mengikuti pelajaran itu. Aku memang belum tahu alasan sebenarnya mengapa Die nggak pernah ikut olahraga, tetapi sesekali bolos pelajaran rasanya menyenangkan. Terlebih dengan nggak ikut olahraga, aku bisa membaca buku sebebas-bebasnya di perpustakaan. Aku menyipitkan mata saat melintasi gudang tempat peralatan olahraga biasa disimpan. Ada seorang gadis sedang berdiri di depan gudang. Jarakku dan dia cukup jauh hingga dia nggak begitu terlihat jelas. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi ada sesuatu perasaan aneh yang memancar darinya. Suatu aura muram dan berat yang membuatku menghentikan langkahku hanya untuk bisa melihatnya dengan lebih jelas. Namun bagaimanapun aku berusaha, wajah gadis itu nggak terlihat jelas, terkesan samar dan buram. Tolong aku! Aku membeku dalam sekejap. Rasanya jantungku sempat berhenti berdetak dalam persekian mili detik. Aku semakin merutuki diriku saat menyadari bahwa aku terlambat untuk berpaling. Rasa takut menyeruak keluar seiring ingatan yang mulai menguat. Gadis itu adalah gadis yang kemarin aku lihat duduk di bangkuku. Siluet dan aura yang dimilikinya sama, terutama desahan napas dan juga suara berat itu. Kami sempat beradu pandang beberapa saat sampai akhirnya aku berhasil memalingkan wajahku. Walau begitu, dia pasti menyadari bahwa aku bisa melihatnya. Bak paranormal, aku bahkan bisa mendengar suaranya yang bahkan nggak menggerakkan sama sekali bibirnya untuk bicara. Ya, gadis itu sudah mati. Dia mulai berjalan meninggalkan gudang. Aku yang seharusnya lari, malah berjalan mengikutinya. Saat ini aku dalam keadaan sadar tetapi tak mampu menolak keinginan untuk membuntutinya. Seharusnya aku berbalik dan pergi tapi aku nggak melakukannya. Ada daya tarik yang besar darinya sehingga membuatku lebih memilih untuk mengikutinya. Lagipula aku penasaran, mau kemana dia? Pertolongan apa yang dia mau dariku? Dia berhenti di sebuah ruangan yang terbengkalai. Ruangan itu dulunya adalah lab biologi tetapi kemudian ditutup karena suatu alasan. Aku nggak tahu apa alasannya karena saat aku masuk ke sekolah ini, ruangan itu memang sudah nggak dipakai lagi. Dia menunjuk ke salah satu sudut ruangan. Dia terus menunjuk ke sana membuat Dahiku mengernyit. Rasa penasaranku semakin menjadi. Entah keberanian yang datang darimana, aku berjalan menuju ke sudut ruangan yang dia tunjuk. Saat aku semakin dekat ke sudut ruangan itu, angin panas berhembus tepat di wajahku. Bersamaan dengan itu tercium bau aneh yang entah kenapa membuatku berpikir bahwa itu adalah bau iblis. Rasanya benar-benar panas dan membuat tubuhku terasa dibakar. Kepalaku mendadak pusing dan rasanya aku akan pingsan jika terus berada di sana. Aku bergidik ketika tengkukku seperti ditiup. Desahan napas berat terdengar di telinga. Aku bisa merasakan bahwa gadis itu kini sedang berdiri tepat di belakangku. Selanjutnya aku mendengar bisikan-bisikan. Awalnya hanya satu suara lalu lama-kelamaan terdengar banyak sekali. Walau begitu bisikan itu memerintahkan satu hal. "Mendekatlah ke tembok lalu benturkan kepalamu ke sana!" Aku semakin merasa takut ketika tiba-tiba kakiku benar-benar melakukan apa yang bisikan itu perintahkan. Aku semakin putus asa karena nggak bisa menolak atau melakukan perlawanan. Menjerit pun nggak bisa aku lakukan. Yang coba aku lakukan hanya mengumpulkan keberanianku dan mencegah sekuat tenaga tubuhku untuk melakukan sesuatu yang di luar keinginan. Tanganku dipegang lalu ditarik. Aura gadis itu menghilang begitu tubuhku telah menjauh dari sana. Dengan air mata meleleh serta kaki yang lemas, aku tatap Die yang lagi-lagi menyelamatkan aku. "Apa yang kamu lakukan Pol?!" hardiknya dengan marah. Saat ini kami sudah menjauh dari tempat terkutuk itu. Dia melepas genggamannya dan mencengkram kuat kedua lenganku. "Apa yang kamu lakukan, Pol? Jawab aku bodoh!" hardiknya lagi. Aku diam, hanya tubuh gemetar yang menjadi jawabanku. Aku takut. Rasanya aku akan mati jika Die terlambat sedetik saja untuk menyelamatkan aku dari sana. "Kamu kenapa huh? Jawab aku!" katanya dengan suara yang mulai menurun. "Kenapa, sih? Ada apa?" tanyanya. Aku hanya menatap sendu ke arahnya. "Aku takut, Die," ucapku dengan suara yang bergetar. "Aku takut," ucapku lagi. Kali ini isak tangis mengikuti. Aku benar-benar takut. Sungguh. Die menyerah mendapat jawaban dariku. Dia menyeka air mata di pipiku lalu memelukku. "Nggak apa-apa, Pol. Kamu aman sekarang," katanya berusaha menenangkanku. Aku mengangguk lalu mulai menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya. Cukup lama aku menangis sampai akhirnya bisa menceritakan apa yang terjadi. Die mengelus puncak kepalaku dengan lembut setelah mendengar ceritaku. "Dengar Pol, bukan aura panas yang nyaris membuat pingsan saja yang berbahaya, bisikan-bisikan mereka juga bisa menggiringmu pada kematian," katanya. "Kamu sudah mengerti sekarang kan?" tanyanya yang membuat dahiku berkerut. "Inilah alasan mengapa Life selalu menekankan padamu bahwa menginginan kehidupan normal akan membuat salah satu dari kita akan mati!" imbuhnya yang membuatku hanya menatapnya dengan perasaan tercampur aduk. Jika memang begitu, aku membenci kenyataan itu. Juga enggan menerimanya. Sial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD