Duapuluh

1792 Words
"Saat takut, telinga akan dua kali lebih peka dan leher akan dua kali lebih aktif menoleh ke kiri-kanan untuk memeriksa barang kali akan ada sesuatu yang muncul." ❣❣❣ "Mengapa, anda melindungiku?" tanyaku sambil menatap lelaki yang berdiri di depanku. Walau, tentu orang lain akan mengira aku menatap udara. Mata Die membulat. Gadis itu segera berlari mendekat, menyingkirkan Life hanya dalam satu dorongan. Tangannya kini mencengkram kedua lenganku dengan kuat. Tatapan matanya begitu tajam dan menusuk. Anehnya, aku nggak takut lagi padanya. "Apa yang kamu ocehkan, Pol?" tanya Die. Suaranya bahkan bergetar saat dia menanyaiku. Aku hanya diam, menatapnya dengan ragu. "Jelaskan! Jelaskan padaku!" teriaknya dengan putus asa. Die terlihat kacau. Belum pernah aku melihatnya sekacau ini. "Die," panggilku lirih. "Apa itu benar kalau-." Die nggak bisa menggenapi kata-katanya sendiri. Gadis itu terpana, menatap warna merah menyala yang kini matanya pantulkan. Die ternganga, untuk beberapa alasan, sorot matanya terpaku menatap pada mata merah yang selalu dia miliki sebelum jiwa kami tertukar. Die meremas rambutnya dengan kedua tangan. Wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang nggak terbantahkan. Sepertinya, dia sudah mendapat jawaban tanpa perlu mendengar dariku. "Mengapa?" Hanya satu pertanyaan itu yang terus dia gemakan. Die mulai meringis, wajahnya jadi sangat jelek. Ralat, itu wajahku. Dia seperti akan menangis. Life yang sempat terjatuh, kini sudah duduk di lantai. Sama seperti Die, untuk beberapa alasan mereka berdua seperti orang linglung. Sementara lelaki itu, kini sudah menghilang. Dia pergi, entah kemana. Hanya menyisakan pertanyaan dengan tanda besar di hati kami bertiga. Mengapa dia melakukan itu? Aku juga nggak tahu. Die meneteskan air mata. Matanya merah, bukan karena melihat hantu, tetapi karena menangis. Beberapa kali aku melihatnya meremas jemari atau rambutnya. Bibirnya terbuka, tertutup, seolah ingin bicara tapi nggak bisa atau nggak tahu mau bicara apa. Life juga sama. Lelaki itu terlihat sama kacaunya dengan Die. Untuk beberapa alasan, mereka berdua jadi terlihat mirip. Ya, wajar saja. Mereka adalah saudara kandung. Aku menghela napas berat. Ekor mataku melirik lengan Life di mana saraf-saraf ungu di tangannya kini telah sirna. Semuanya hancur karena afek peristiwa tadi. Sekilas, aku merasa lega. Namun, untuk beberapa alasan yang lain, firasatku tetap saja buruk. Aku merasa, situasi ini membuat kami terjebak dalam dilema kotak Pandora. Aku, Die dan Life kini berada di meja makan. Mungkin terdengar konyol, tetapi kami kelaparan. Diam juga butuh tenaga. Terlebih Die menangis lama, sementara Life lama termenung pula. Mengisi perut adalah prioritas kami saat ini. Tsabit tadi datang dengan membawa pizza walau kemudian dia kabur lebih dulu tanpa mencicipi pizza yang dibelinya lebih dulu. Dua potong pizza berhasil aku cerna. Nggak bisa nambah karena perutku sudah kekenyangan. Demikian pula Die dan Life, kakak-beradik itu masing-masing menghabiskan lebih dari empat potong pizza. Ya, ini gunanya berteman dengan orang kaya. Dia membawa makanan nggak tanggung-tanggung, dua kotak pizza berukuran jumbo membuat kami bertiga kenyang sampai nggak bisa gerak. "Jadi, sejak kapan?" tanya Life membuka pertanyaan. Aku dan Die berpandangan, masih menunggu petunjuk ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. "Kalian bertukar tubuh," lanjut Life yang segera membuatku dan Die langsung terbatuk bersamaan. Life mendesah kasar. "Jangan beralasan, jawab saja," ujar Life seolah tahu bahwa aku dan Die akan buru-buru mengelak. Aku melipat bibirku, urung memberikan alasan ini-itu. Rasanya memang aneh jika Life nggak tahu bahwa aku ini bukan Die, mungkin ini saatnya mengkonfirmasikan kebenaran tentang apa yang sedang terjadi. Aku dan Die nggak bisa selamanya membodohi Life. Selain itu, kami butuh pertolongan. Aku berharap, bertiga dengan Life akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Semoga saja. "Sudah hampir dua minggu," jawab Die pada akhirnya. "Dan aku baru tahu?" tanya Life dengan ekspresi nggak percaya. Die hanya mengangkat kedua bahunya. Life mendengus, kecewa pada dirinya sendiri. Dia marah karena nggak menyadari perubahan kami lebih cepat. Kesal juga, karena merasa dibodohi. "Pantas saja aku merasa ada yang aneh karena Die terus saja merengek dan menangis, ternyata.." Life diam, melirikku dengan tajam. "Kamu lelaki bukan?" tanyanya sambil menunjukku. Aku mengangguk. Secara harfiah, aku memang lelaki. Walau saat ini terjebak di tubuh perempuan. "Lantas, kenapa kamu banyak menangis? Aku merasa Die lebih perempuan saat jiwamu berada di dalamnya," ujar Life heran. Entah apa ucapannya ini dimaksudkan sebagai hiburan atau sindiran. "Entahlah," ujarku lantas mengedikkan bahu. "Aku hanya secara jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan." Hening, beberapa detik lantas Die mulai tertawa. Aku menatapnya kesal, sedikit melotot sebagai tanda protes. Namun, Life ikut tertawa membuatku terpaksa membiarkan kakak-adik itu menertawaiku. "Oi, kalian nggak punya nurani huh?" sindirku. Die dan Life nggak peduli, kini mereka bahkan tertawa sambil memegangi perut. Ngakak. "Kamu lelaki tetapi begitu penakut. Dasar lemah," ledek Life. Lemah? Mau lelaki atau perempuan, siapa yang nggak takut ketemu Setan? Jika manusia, aku masih bisa berusaha melawan. Sedangkan Setan, itu tidak mungkin. Mereka transparan, bagaimana bisa aku melawan? "Sudahlah, kasihan Pol," tegur Die. Aku menatap Die, terharu. "Kita bisa tertawa lagi nanti saat melihatnya ketakutan karena melihat Setan yang menyeramkan," lanjut Die yang membuat rasa terharuku seketika raib. "Haha." Life tertawa lagi. Kali ini bahkan lebih keras. Die juga. Mereka sedang membicarakan kelemahanku dan menertawai seseorang yang bahkan sedang ada di hadapan mereka. Dasar nggak berperasaan! "Jangan marah, Pol," ujar Die kemudian. Tawanya telah reda. "Soal ayah," katanya mulai serius. "Sejak kapan kamu bisa melihatnya?" Aku menghela napas sebentar, mencoba mengendalikan diriku di mana sekarang kami akan membicarakan sesuatu yang serius, bukan main-main. "Sejak Life mengajakku ke pemakaman," jawabku. Life mengerutkan dahi. "Maksudmu, saat kamu berlari ketakutan dan menjerit di pemakaman?" tanya Life yang entah ingin memperjelas atau mempermalukan aku di depan Die dengan bertanya begitu. "Ya, tapi itu bukan karena ayahmu," sanggahku. "Lantas?" tanya Life nggak ngerti. "Saat itu aku bertemu Setan yang menyeramkan. Tangannya runcing dengan satu mata berukuran besar. Dia sangat menakutkan dan ingin membunuhku," jelasku panjang-lebar. Life dan Die tertegun. "Kamu pernah melihat Setan seperti itu, Die?" tanya Life. Die tampak berpikir sebentar lalu menggeleng. "Belum," jawabnya. "Tapi jika memang Setan itu menginginkan aku, maka dia akan datang lagi." "Hah? Apa maksudmu, Die?" tanyaku heran. "Kamu bilang, sejak bertemu dengan Setan itu, kamu melihat ayahku bukan?" tanya Die. Aku mengangguk. "Itu artinya, jika ayahku sampai ikut ke rumah ini, maka Setan itu juga sudah di sini," ujar Die yang membuatku menahan napas. "I-ikut?" Die mengangguk. "Berhati-hatilah, Pol. Mungkin, kamu telah melepas Setan dan membuatnya ikut bersamamu," kata Die mengingatkan. Aku bergidik ngeri. "Kenapa kamu menakut-nakutiku, Die?" tanyaku dengan gugup. "Aku bukan menakutimu, Pol, hanya mengatakan apa yang aku pikirkan. Jadi, mulai sekarang, sampai kita tahu, apakah Setan itu penyebab ayah datang atau nggak, kamu dilarang keluar dari rumah ini setelah malam,"  tegas Die memberikan keputusan. "Kenapa?" tanyaku. "Karena malam adalah milik para Setan, Pol. Mereka semakin kuat di malam hari, makanya kita sebaiknya waspada," jelas Die. Aku menelan ludah. "Bukankah ayahmu melindungiku?" tanyaku yang segera mendapat tatapan dingin dari Life. "Justru itu yang aneh, Pol," ujar Die. "Mengapa ayahku melindungimu? Apa benar dia ayahku atau Setan yang menyamar, kita harus mencari tahu." Die melanjutkan. Aku mendesah pelan. "Mengapa jadi serumit ini, Die?" tanyaku pelan. Die memegang tanganku, memberikan dukungan bahkan meski tanpa harus mengucapkannya dalam bentuk perkataan. "Terima kasih," ujarku saat merasa sudah baikan. "Baiklah, aku harus pulang," pamit Die kemudian. "Hah?" Aku menatap Die dengan memelas, memintanya agar nggak pergi. Tapi gadis itu tetap pergi juga. Life juga nggak mencoba menghalangi Die. Bahkan meski dia tahu bahwa aku adalah Pol. Dia tetap bersikap biasa saja. Ada apa dengan sikap mereka itu? Aneh. Selepas Die pergi, Life juga pergi. Dia bilang kalau harus bekerja. Hari sudah malam dan perkataan mereka tadi sama sekali nggak membantuku tenang. "Hati-hati di rumah," pesan Life. "Pol." Lelaki itu kemudian pergi. Walau senang, dia memanggilku dengan nama asliku tetap saja nggak singkron. Mengingat saat ini aku berada di tubuh Die. Aku memutuskan mengunci semua jendela dan pintu rumah. Walau yang aku hadapi adalah Setan, kemungkinan manusia nggak diundang datang berkunjung harus dipikirkan. Saat ini aku sendirian dan aku belum punya teman Setan yang akan membantuku jika datang manusia yang akan mencelakaiku. Aku duduk di belakang pintu kamar, sambil menatap sekeliling kamar, memastikan bahwa aku aman dan nggak ada siapapun dan apapun yang akan mencelakaiku. Tubuhku bersandar pada pintu. Sengaja duduk dalam posisi ini, jika datang sesuatu yang nggak diundang, aku bisa segera kabur. Jika dari luar, aku juga aman. Pintuku terkunci. Aku meremas tanganku yang mulai dingin. Rasanya, sebanyak apapun aku mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, ketakutan itu tetap menyelinap masuk dan menguasai hati dan pikiranku. Aku takut. Aku menyentuh telingaku, mencoba menghentikan dengungan yang terus berdengung. Sejak ketakutan itu mencuat, rasanya aku jadi aneh. Ternyata benar, saat takut telinga jadi sangat peka dalam menganalisa suara sekecil apapun. Suara jam dinding, suara hewan malam yang bergerak di atap, suara angin dan bahkan suara jantungku jadi terdengar jelas. Belum lagi, leherku menjadi dua kali lebih aktif menoleh kiri-kanan, paranoid karena khawatir akan datang sesuatu yang muncul tiba-tiba. Aku mencoba bertahan, tetap kuat untuk melihat sekeliling dengan seksama. Aku nggak mau memejamkan mata karena takut dia akan muncul jika aku melakukan itu. Walau, jujur saja, aku juga nggak tahu apakah ucapan Die tadi bisa dipercaya atau nggak. Apa iya, Setan waktu itu mengikutiku? Tapi mengapa dia nggak muncul jika dugaan itu betul? Aku berbalik, meloncat segera dan menghadap pintu dengan jantung yang nyaris copot saat mendengar suara-suara. Tubuhku gemetar, pintu kamarku digedor. Aku hanya diam, waspada. Dengan jantung yang terus berdetak kencang dan juga keringat yang bercucuran tanpa bisa dikontrol, aku menunggu. Menunggu gedoran itu akan berhenti. Air mataku jatuh, pandanganku jadi sedikit terhalang. Aku memang lelaki, tetapi takut bukanlah sesuatu yang bisa dihalau hanya karena jenis kelamin. Yang aku hadapi bukan manusia, itu fakta pertama. Kedua, aku bahkan nggak pernah membayangkan akan melihat makhluk astral. Itu fakta kedua. Dan yang ketiga, aku nggak tahu cara melawannya. Aku menahan napas, gedoran di pintu berhenti. Apa makhluk itu sudah pergi? Aku melangkah hati-hati menuju pintu. Bukan sok berani, hanya ingin memastikan bahwa dia sudah pergi. Aku menempelkan daun telingaku ke pintu kamar, mencoba untuk mencari tahu dari suara tentang keberadaannya. Hening, nggak ada suara apapun yang terdengar. Aku menghela napas lega. Tubuhku terhempas ke tembok bersamaan dengan pintu yang terbuka secara tiba-tiba dan kencang. Padahal, aku sangat yakin kalau sudah menguncinya. Tanganku secara spontan memegang hidungku. Bisa aku rasakan ada aliran darah yang keluar dari sana. Sebagian, bahkan sudah mengenai bibirku dan terjilat sedikit. "Aw," rintihku saat punggungku yang terbentur tembok mulai memberikan rasa sakit dan ngilu. "Aaa," jeritku saat kakiku ditarik keluar kamar. Aku mencoba meronta, memberikan perlawanan yang sepertinya nggak berarti tetapi dipaksakan. Aku mencoba menggunakan tanganku, bahkan menancapkan kukuku di lantai untuk sekadar mengurangi kecepatan tubuhku yang ditarik. Tubuhku terus membentur benda apapun saat ditarik. Sakit, perih dan ngilu. Tubuhku terasa remuk. "Die!" "Life!" Aku mencoba meminta pertolongan. Pintu depan terbuka, aku menjerit. Tubuhku terhempas, melayang sebentar sebelum berguling-guling lantas berhenti saat mendarat di pohon beringin di depan rumah. Lemah, tulangku seakan patah. Aku merangkak, mencoba kabur. Saat mataku mulai menangkap sosok bayangan yang nggak asing. Itu adalah Setan yang aku jumpai di pemakaman. Kukunya yang panjang dan runcing telah siap, bahkan kini dia menyeringai dengan mulut yang sepertinya mempunyai diameter lebih besar dari ukuran mulut manusia pada umumnya. Aku memejamkan mata, pasrah. Sudah bersiap untuk mati. "Aaarrgghh." Aku mulai sesak napas, kehilangan kebebasan untuk bernapas saat merasakan cekikan yang begitu kuat di leherku. Membuka mata saja terasa sangat sulit, kakiku hanya meronta di tanah, sedangkan organ pernapasanku sedang berjuang untuk mengais udara. Paman, tolong aku. Die, Life, siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD