Limabelas

1632 Words
"Jika ragu membedakan antara setan dan manusia, tampar saja wajahnya. Jika dia marah dan membalas, dia manusia." ❣❣❣ Tsabit melirik lagi diriku, masih dengan menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. Bibirnya dari tadi membuka-menutup, seolah bimbang dan ragu-ragu untuk bicara padaku atau nggak. Aku yang melihatnya susah konsentrasi jadi iba sendiri. Sebenarnya sudah mencoba untuk nggak peduli, tetapi manusia memang begini. Nggak akan benar-benar bisa bersikap masa bodoh pada orang lain. Kenapa? Karena kita dilahirkan dengan pikiran. "Kenapa, Bit? Kamu keberatan duduk bersamaku?" Aku menoleh pada Tsabit yang hanya memamerkan deretan giginya. "Bukan, tapi Pol dari tadi melotot ke arahku," katanya. "Kamu yakin tetap mau duduk sebangku denganku?" Aku mengangguk. "Ya." "Meski tahu kekasihmu akan marah padaku?" tanya Tsabit. "Mengapa? Kamu takut padanya?" tanyaku balik, sedikit menyindir sebenarnya. Tsabit nyengir lagi. "Aku bukannya takut, hanya saja Pol yang dulu dan sekarang sedikit berbeda. Aku takut mengakrabkan diri dengannya lagi," aku Tsabit jujur. Aku menghela napas. "Kalau begitu, abaikan saja. Dia nggak akan melakukan apapun padamu," kataku mencoba menenangkan Tsabit. Tsabit lagi-lagi menggaruk rambutnya yang nggak gatal. Entah dia itu merasa nggak nyaman, gugup atau ketombean, aku nggak tahu. "Hei Die," panggil Tsabit ragu-ragu. "Kenapa?" sahutku. "Kenapa nggak coba bicarakan dan baikan saja dengan Pol?" tanya Tsabit memberikan saran. Aku menyipitkan mata, membuat Tsabit segera menggaruk-garuk pelipisnya. "Lupakan saja yang aku katakan barusan," katanya lalu menghadap ke depan, mendengarkan penjelasan guru. Aku pun melakukan hal yang sama, menghadap depan dan mendengarkan penjelasan guru. Hari ini aku sengaja duduk dengan Tsabit, meninggalkan Die sendirian. Elys, teman sebangku Tsabit nggak masuk, jadi ini adalah kesempatan emas untuk meninggalkan Die. Aku masih marah padanya dan selama dia nggak mengatakan alasan yang tepat mengapa dia berbohong, aku nggak akan baikan dengannya. Aku nggak peduli meski harus terjebak di tubuh ini selamanya. Aku sudah muak dengan semua masalah yang dia berikan padaku. "Hei." Aku menoleh, menatap seorang gadis berpakaian seragam yang badannya melayang di sampingku. Tanpa aku jelaskan, dengan kaki yang nggak ada, sudah jelas dia ini adalah Setan. Bukan Setan yang menakutiku tempo hari atau yang di kamar mandi. Rasanya, dia dari zaman penjajahan. Pakaiannya berbeda. Dia memakai celana, bukan rok. "Apa kamu bosan? Mau bermain denganku?" tawarnya dengan ramah. Aku diam, memperhatikan penampilan Setan zaman penjajahan itu dengan seksama. Tak ada hal menakutkan darinya terkecuali kakinya yang nggak ada sebuah lubang di bagian tengah kepalanya. Sepertinya tewas tertembak. Melihat betapa tepatnya tembakan itu, dia ditembak dalam jarak dekat. Kasihan sekali. "Bagaimana? Apa kamu mau bermain denganku?" tanyanya lagi. Aku masih diam, memikirkan apa maksud Setan itu muncul. Bukankah aneh jika tiba-tiba dia menunjukkan diri padaku? Maksudku, sudah cukup lama aku menjadi Die dan baru kali ini aku melihatnya. "Die," panggil Tsabit membuatku menoleh ke arahnya. "Kenapa matamu merah sebelah?" tanya Tsabit. "Ah, sakit mata," jawabku sekenanya. "Mendadak?" tanya Tsabit nggak percaya. Aku mengangguk. "Tapi kenapa yang merah bagian pupil matamu bukan bagian matamu yang putih?" tanya Tsabit lagi. "Ah, memang begini," jawabku lagi. "Kamu yakin nggak apa-apa? Itu aneh, Die," kata Tsabit merasa cemas. "Nggak apa-apa, abaikan saja nanti juga balik ke semula," sahutku. Tsabit tampak was-was. "Hei, ayo main!" Setan itu kini berganti  posisi, berada di samping Tsabit, ingin diperhatikan olehku. Sayangnya, aku terlalu malas untuk menanggapinya lebih jauh. Aku sedang malas menanggapi manusia, apalagi Setan. "Jam istirahat mau ke kantin?" tawar Tsabit. Aku menatap Setan di samping Tsabit yang kepalanya mulai terbelah dan terlepas dari badannya. Dia melayang-layang bahkan menembus tubuh Tsabit, mencoba menakutiku. "Ayo main, ayo main!" Suaranya tergiang-giang di gendang telingaku membuat rumah siput di telingaku terasa nyeri. Suaranya terdengar dingin dan hampa, mirip suara monster di televisi. "Aku tahu, biasanya aku bersama Pol tetapi entah kenapa, aku merasa sangat canggung dan jauh darinya. Sebaliknya, aku merasa nyaman bersamamu, anu, maksudku…" "Ayo main, ayo main, ayo main!" "Shut up!" Aku berteriak sambil memukul bangku. Setan itu menghilang bersamaan dengan meluapnya amarahku. Aku terdiam, menatap Tsabit yang menganga lalu menatap ke sekeliling, semua mata tertuju padaku. Aku menelan ludah,  aku baru saja membuat kekacauan. Aku tak sengaja menatap Die dan gadis itu terlihat mendecih. Hal itu membuatku semakin marah. Dia benar-benar mendatangkan masalah untukku. "Ada apa, Die?" tanya guruku. Aku menghadap guruku lalu membungkukkan badan sambil meminta maaf. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya guruku. "Nggak apa-apa, Bu. Saya hanya merasa pusing," jawabku mengarang alasan. "Kamu perlu ke UKS?" tawar guruku. Aku mengangguk. "Jika ibu tidak keberatan, saya izin ke UKS," ucapku. "Tidak keberatan, Pol antar Die ke UKS, kamu ketua kelas kan?" Aku menganga. Shock. Die berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekat padaku. "Ayo," katanya sambil meraih tanganku. Aku terlambat menepis tangannya. Baru sadar dia menggenggam tanganku saat teman-temanku ber-Oh ria. "Diam! Apa-apaan kalian ini!" tegur guruku. "Mereka pacaran, Bu!" "Pasangan hot, Bu!" "Ciyee." Sorakan teman-teman membuatku pusing beneran. Rasanya, aku nggak diizinkan untuk menjauh dari Die. Dia selalu punya cara untuk membuatku berada di sampingnya. Bahkan alam pun juga membelanya. Benar-benar menyebalkan. "Sudah, segera antar Die ke UKS, setelahnya balik ke kelas, Pol!" suruh guruku pada Die. Die mengangguk lalu berjalan keluar kelas dengan menggandeng tanganku. Aku hanya pasrah, nggak berniat melawan kehendak alam. "Kamu masih marah?" tanya Die saat kami dalam perjalanan. Aku hanya diam, enggan menjawab pertanyaan darinya. "Dengar, Pol, aku benar-benar nggak tahu mengapa kita bisa bertukar tubuh. Waktu itu aku hanya ingin menakutimu saja tetapi tak kusangka kita akan benar-benar bertukar tubuh," jelas Die. Aku masih diam, perjalanan ke UKS jadi terasa sangat lama. "Aku bersumpah, nggak ada niatku untuk membunuhmu," katanya menegaskan. Kami bicara sambil berjalan. Die memang nggak menghadap padaku. Kami bicara tanpa harus bertatap muka. Namun perkataannya terdengar serius. "Soal olimpiade, aku minta maaf." Kami memasuki UKS. Die menyapa guru UKS, berbasa-basi sebentar lalu membawaku ke kasur UKS. "Berbaringlah!" suruhnya. Aku menurut, membaringkan tubuhku di kasur UKS. "Soal kak Sandra, aku juga minta maaf. Nggak ada yang bisa kita perbuat untuk membuktikan perkataan kak Sandra benar atau nggak. Kita hanya anak kecil, Pol. Dan aku nggak punya kenalan seorang polisi untuk memintanya menyelidiki ulang kasus itu. Lagipula, semua sudah diselidiki, dan hasilnya seperti itu. Dia bunuh diri, bukan dibunuh." Die menatapku lekat. "Matamu merah tadi, kamu melihat Setan?" tanya Die. Aku hanya memejamkan mataku. "Kamu melihat Setan dan nggak mengabaikannya lagi Pol?" tanya Die lagi. "Itu bukan urusanmu," sahutku. "Itu urusanku, Pol! Kamu lupa? Itu tubuhku." "Memangnya kenapa jika ini tubuhmu? Apa kamu pikir aku akan membuatmu berada dalam bahaya?" delikku emosi. "Nggak, aku yakin kamu bisa menjaga tubuhku. Aku hanya nggak mau terjadi hal buruk yang-," "Hei, biarkan dia istirahat. Kembalilah ke kelasmu!" Teguran itu membuat Die menghentikan ucapannya. Gadis itu meminta maaf pada guru UKS dan berkata akan segera pergi. "Dengar Pol, jika kamu masih ragu membedakan di antara manusia dan setan, tampar saja wajahnya. Jika dia marah dan membalas tamparanmu, maka dia manusia," katanya memberikan saran yang menggelikan. "Aku juga tahu kalau itu," dengusku. Die terdengar terkekeh. "Aku pergi," pamitnya lalu derap langkah kakinya terdengar menjauh. Aku tetap memejamkan mataku. Rasa kantuk mulai menyerangku. Jujur, aku lelah baik secara jiwa dan raga. Walau ini bukan tubuhku tetapi rasa lelahnya sangat terasa. Mengapa begitu? Entahlah, aku enggan banyak berpikir. Karena semua yang aku pikirkan, nggak berjalan sesuai dengan harapan. *** "Kamu lapar?" Saat aku membuka mataku, Die sudah duduk di tepi kasur. Di dekatnya, juga ada Tsabit. Mereka berdua mendatangiku ke UKS. "Kamu lapar?" ulang Die sembari menyodorkan roti cokelat padaku. Aku terpaksa menerima roti itu karena perutku tak sanggup berbohong tentang betapa laparnya aku sekarang. Melihat aku menerima roti dari Die, Tsabit tersenyum simpul. "Ini bukan berarti aku mau berbaikan denganmu," kecamku pada Die. Die hanya mengangguk. "Aku tahu," sahutnya. Aku membuka roti itu lalu mulai memakannya. "Bagaimana? Enak?" tanya Die. Aku mengangguk mengiyakan. "Kamu sudah merasa baikan?" tanya Die lagi. "Ya, lumayan." "Apa kita baikan?" "Ya, eh nggak." Mataku melotot, merasa tertipu. Tsabit terkekeh melihat reaksiku. "Diam kamu!" suruhku. Tsabit melipat bibirnya, berusaha menahan tawa. Walau kemudian jebol setelah beberapa detik. Dia mulai bersikap menyebalkan seperti Die, mungkin karena mereka mulai bergaul. "Kamu mau nambah lagi?" tawar Die. "Ya." "Haha." Tsabit tertawa keras membuatku memakan rotiku dengan gemas. "Sudahlah, orang pacaran yang baru kemarin mengungkapkan cinta secara jelas jangan marahan." Tsabit menasehati. "Siapa yang mengungkapkan cinta?" sanggahku. "Kamu dan Pol," jawab Tsabit. "Kapan? Aku lupa, tuh," sangkalku. Tsabit berdecak kesal. "Kamu lama-lama benar-benar mirip Pol, Die," katanya yang membuatku memanyunkan bibirku. Apa maksudnya itu? Dia mau bilang kalau aku menyebalkan? "Bit, boleh aku minta tolong?" Die menyela. Tsabit menoleh ke arah Die. "Minta tolong apa, Pol?" tanya Tsabit pada Die. "Tolong belikan roti dan air untuk Die," jawabnya. "Oke," kata Tsabit menyanggupi. "Mana?" Tsabit mengulurkan tangan, meminta uang untuk membeli roti dan air. Die hanya menepuk tangan Tsabit. "Kamu yang bayar, kamu kaya ‘kan?" jawab Die yang langsung membuat Tsabit nyaris meninjunya. "Aku memang suka mentraktirmu, tapi entah kenapa kesal kamu berkata begitu," oceh Tsabit. Die hanya tersenyum tipis. "Aku minta tolong," ucap Die lembut. Tsabit terdiam. "Ah, mendadak dadaku sakit," katanya lalu pergi sambil memegang d**a kirinya. Aku yang melihat itu hanya tertawa geli. Entah kenapa melihat Die dan Tsabit seperti itu membuatku terhibur. Rasanya, mereka sudah akrab dengan cara yang unik. "Pol, ayo baikan," ajak Die begitu Tsabit sudah pergi. "Nggak mau," tolakku. "Kenapa?" tanya Die heran. "Aku masih belum dapat kepastian darimu," jawabku. "Soal apa?" tanya Die nggak ngerti. "Soal pertukaran tubuh kita, padahal aku sama sekali nggak ada kaitan apapun denganmu," kataku. "Hm, sudah aku jawab ‘kan? Aku nggak tahu," sahut Die. "Aku nggak percaya," balasku. "Aku nggak peduli, yang penting aku sudah menjawabmu." Die menatapku tajam membuatku hanya mendesah kasar. "Kamu akan terus begitu?" delikku. "Ya," kata Die tanpa ragu. "Kamu benar-benar nggak tahu?" tanyaku memastikan sekali lagi. Die mengangguk. "Aku nggak tahu," ucapnya dengan sungguh-sungguh. Aku menghela napas panjang. "Baiklah," kataku. "Aku coba percaya." Die tersenyum, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa lega. "Jadi kita baikan?" tanyanya memastikan hubungan di antara kami. Aku mengangguk. "Ya, kita baikan," jawabku. Senyuman Die melebar. "Kalau begitu, maukah kamu ke pantai bersamaku?" tanyanya. "Segitu inginnya kamu ke sana?" tanyaku balik. Die mengangguk cepat. "Aku mohon, Pol," mohon Die penuh harap. Aku berpura-pura berpikir. "Please." Aku tersenyum. "Baiklah." "Yes!" Die bersorak girang. Aku tertawa melihat Die segirang itu. Baru kali ini gadis dingin itu terlihat sangat bahagia. Melihatnya begitu, tanpa sadar aku juga tertawa. "Wah, ada apa, nih? Kenapa kalian tertawa bahagia? Ikutan, dong!" protes Tsabit yang baru datang. "Kami akan ke pantai, kamu ikut?" tanyaku menawarkan. "Pantai? Boleh," jawab Tsabit setuju. "Bagus, kamu yang bayar," putusku. "Setuju!" Die menimpali. "Oi," teriak Tsabit nggak terima. Aku dan Die tertawa, sedangkan Tsabit ngedumel. Sekilas, kami seperti manusia normal yang melakukan percakapan dengan cara normal. Tapi, tanpa kehadiran Tsabit, aku dan Die hanyalah dua orang abnormal yang bertukar tubuh. Jika memang apa yang terjadi di antara kami memiliki arti, kuharap itu bukan karena alasan yang membuat salah satu di antara kami harus mati. Aku harap begitu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD