Rega

1127 Words
Author's POV "Lo masuk aja ke dalam. Gue tunggu di sini,” ujar Elang. Lira mengangguk. Dia keluar dari mobil lalu berjalan memasuki coffee shop. Lira mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Matanya terhenti bergerilya kala ia mendapati sosok wanita berusia 40an duduk terapaku dengan sebuah cangkir di hadapannya. Lira menghambur berlari mendekat ke arah ibunya. Wanita paruh baya itu sedikit kaget namun sejenak perasaan terkejut ini berganti dengan kebahagiaan yang teramat besar karena bisa bertatap muka kembali dengan putrinya. Wanita itu memeluk Lira begitu erat. Tangis membanjiri wajahnya. Lira tak kalah tercekat. Air matanya terus berlinang membasahi pipinya. Elang mengatur pertemuan Lira dan ibunya dengan begitu rapi. Elang meminta kontak ibu Lira dan alamat lengkapnya pada Lira. Selanjutnya dia meminta Lira menelpon ibunya dan janjian bertemu di coffee shop tanpa memberitahu ayah Lira. Elang meminta salah satu karyawannya untuk menjemput ibu Lira di tempat yang ditentukan, tentu saja agak jauh dari rumah orangtua Lira agar tidak diketahui oleh ayah Lira. Ada rasa haru memenuhi d**a kala Elang menyaksikan pertemuan ibu dan anak itu dari kaca transparan yang menjadi dinding coffee shop. Elang bisa merasakan atmosfer kasih sayang yang sedemikian tulus dan besar itu tampak begitu nyata diantara Lira dan ibunya. "Kamu baik-baik aja kan nak? Ibu selalu khawatir ama kamu. Ayahmu masih terus mencarimu. Ibas masih terus menunggumu untuk dinikahi. Kamu lebih aman bersama Elang." Wanita bernama Ranti ini menggenggam erat tangan anaknya. Dia bersyukur karena Lira tampak lebih cantik, auranya lebih terpancar dan pipi tirusnya sudah agak terlihat berisi. Dia menarik kesimpulan, Elang memperlakukannya dengan baik. Lira menatap wajah ibunya yang tampak pucat dengan kantong mata yang lebih tebal dari yang ia lihat terakhir kali sebelum ia pergi, pipinya menjadi lebih tirus dan badannya tampak lebih kurus. Ibunya seringkali sakit-sakitan. Hari ini ibunya pun terlihat belum begitu sehat. Lira yakin ibunya telah memaksakan diri untuk menemuinya hari ini. "Ibu jangan khawatir. Lira baik-baik aja. Elang memperlakukan Lira dengan baik. Ibu kelihatan pucat. Apa ibu masih sakit?" Ranti tersenyum dan menggeleng, "ibu nggak sakit nak. Apalagi lihat kamu sekarang, kamu kelihatan lebih cantik dan bahagia, ibu ikut senang." Lira mengeluarkan sebuah amplop dari saku celananya. "Ibu, tolong terima ini ya. Ini bisa ibu pakai buat beli obat atau membeli kebutuhan ibu. Elang selalu ngasih Lira uang saku selain gaji pokok. Lira nggak pernah makai uang saku karena semua kebutuhan Lira udah dipenuhi Elang, termasuk isi kuota, baju, cemilan, bahkan pembalut sekalipun selalu Elang yang beliin, makanya uang saku Lira bisa utuh. Nanti kalo Lira gajian, Lira kasih lagi ke ibu." Lira menyelipkan amplop berisi uang itu pada genggaman tangan ibunya. "Ibu nggak bisa terima Lira. Kamu juga kadang punya kebutuhan yang nggak bisa dipenuhi Elang kan? Kamu bisa nyimpen uang ini buat jaga-jaga." Ranti kembali menyerahkan amplop itu pada putrinya. Lira menolaknya dan kembali menyelipkan amplop putih itu di telapak tangan ibunya. "Please bu, Lira mohon. Cuma ini yang bisa Lira lakuin buat memaafkan diri Lira sendiri karena udah ninggalin ibu. Kalau ibu nggak mau nrima, Lira nggak bakal bisa maafin diri Lira sendiri bu." Ranti akhirnya menerima pemberian putrinya dengan berat hati. Ia tahu, ia memang membutuhkan sejumlah uang untuk membeli obat atau mencukupi kebutuhan keluarga karena suaminya hanya kerja serabutan dan bahkan seringkali tidak bekerja karena kurangnya tanggungjawab dalam menafkahi keluarga. Tapi rasa khawatirnya jauh lebih besar dibanding kekhawatiran akan keadaannya sendiri. Setelah merasa cukup berbincang, ibu dan anak itu pun terpisah lagi. Lira kembali masuk ke dalam mobil. Dia menghempaskan tubuhnya dan menghela napas. Matanya terpejam lalu membuka kembali. Saat ia melirik Elang, di saat yang sama Elang tengah memerhatikannya. Buru-buru Elang membuang muka dan menatap lurus ke depan. "Gimana? Kangennya udah terobati kan?" Tanya Elang datar. Lira mengangguk, "iya, lega rasanya udah ketemu ibu. Makasih banyak ya kamu udah bantu aku ketemu ibu." Lira melempar senyum manisnya. Elang mengangguk, "gue nggak nglakuin banyak kok. Cuma itu yang bisa gue lakuin. Sekarang kita ke rumah temenku ya." Lira mengernyitkan alisnya, "temen?" Elang menatap Lira, "iya, temen yang gue ceritain tempo hari. Dosen psikologi yang sering jadi tempat konsultasi gue, terutama kalau lagi kalut. Namanya Rega. Dia empat tahun di atas gue, gue 23, dia 27. Tapi dia nggak pernah menggurui meski lebih tua dan asik orangnya." "Kamu cuma mau ngenalin aku aja kan? Aku rasanya belum siap konsultasi." Lira meremas-remas jari-jari tangannya pertanda dia merasa cemas. Elang tersenyum, "santai aja Ra, jangan tegang. Kalian nanti ngobrol biasa aja. Gue yakin nanti kalau lo ketemu orangnya, lo bakal merasa nyaman." Lira menghembuskan napas dan berusaha meminimalisir perasaan cemas dan gugup di hatinya. Elang melajukan mobil menuju rumah Rega. Sesekali ia melirik Lira. Lira terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Perjalanan menuju rumah Rega memakan waktu sekitar duapuluh menit. Elang dan Lira keluar dari mobil. Lira tertegun menatap halaman rumah yang tertata rapi dengan banyaknya tanaman bunga beraneka rupa. Ada kolam kecil dengan air mancur di tengah menambah indah panorama. Beberapa pohon buah seperti belimbing, kedondong dan kelengkeng tampak berbuah lebat kendati pohon-pohon itu belum begitu besar. Elang menarik tangan Lira hingga membuatnya terkesiap. "Jangan melamun. Ayo jalan." Ucap Elang sambil menatap Lira dengan tajam. Elang memencet bel. Sebelumnya dia telah memberi tahu dulu pada Rega bahwa dia akan datang bersama Lira. Elang takut Rega ada jadwal mengajar, jadi ia memutuskan untuk janjian dengannya. Sosok laki-laki berperawakan tinggi tegap, berpenampilan rapi dan berwajah rupawan membuka pintu dan menyambut kedatangan Elang dan Lira dengan ramah. Lira mengamati cowok yang bernama Rega ini dengan kekaguman di dalam hatinya. Sudah sewajarnya, perempuan melihat laki-laki tampan berkharisma seperti Rega akan terkagum-kagum pada pesonanya. Rega mempersilakan Elang dan Lira untuk duduk. Selanjutnya dia mengambil dua kaleng soft drink untuk dua tamunya. Rega tahu, Elang suka minum soft drink. "Rega ini yang namanya Lira. Gue udah pernah cerita kan awal mula pertemuan gue ama Lira." Elang membuka percakapan. "Hai Lira," Rega tersenyum ramah. Lira membalas dengan senyum juga, "hai... Ehm aku manggil apa ya, Rega atau kak Rega?" Rega tersenyum, "manggil kakak boleh, manggil Rega aja juga boleh. Terserah Lira aja, lebih nyaman yang mana." "Rega aja boleh?" Lira mengulas senyum dengan sedikit ragu, takut sikapnya dianggap kurang sopan. "Iya boleh." Rega tertawa kecil. "Kagak sopan lo. Panggil dia kakak. Lo delapan tahun lebih muda dari dia." Elang menyenggol bahu Lira. "Kamu juga nggak manggil kakak. Kamu kan lebih muda juga dari dia." Lira membalikkan pernyataan Elang. "Lo mah dibilangin suka ngeyel." Balas Elang sambil mencibir. Rega pun tertawa, "udah nggak papa kok. Dibikin santai aja." "Tolong bantu dia ya Ga. Gue yakin kata-kata lo bakal mempan buat dia." Tukas Elang sambil melirik Lira. Rega tersenyum tipis, "insya Allah. Aku bantu semampuku." Matanya beradu dengan mata Lira. Mereka saling melempar senyum. Lira sedikit grogi ditatap sedalam ini oleh Rega yang penuh wibawa. Dan Elang pun terpekur merasakan adanya sinyal ketertarikan Rega terhadap Lira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD