Kesepakatan

1527 Words
Elang's POV Pakaian untuk Lira beserta underwearnya sudah aku beli semua. Mukena juga sudah terbeli. Produk skin care tak ketinggalan. Tinggal mencari pembalut untuknya. Seumur-umur baru kali ini aku membeli pembalut, bahkan Raline tidak pernah memintaku membeli pembalut untuknya. Pintar juga Lira memanfaatkan kesempatan. Di pesan WAnya tadi dia mengetik potato chip. Seneng ngemil tapi badannya kurus. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku tahu tentangnya. Dia pernah mengatakan bahwa ayahnya pernah mencoba menjualnya ke rumah bordil atau ke temannya tapi gagal. Apa karena buruknya hubungannya dengan ayahnya membuat dia tumbuh menjadi Lira yang sekarang, yang selalu hopeless, kecanduan self harm dan selalu terobsesi untuk bunuh diri? Aku terbayang pada lebam-lebam di sekujur tubuh Lira, apa itu karena kekerasan yang ia terima dari ayahnya? Mungkin keputusanku untuk menampungnya memang tepat. Sebenarnya aku bisa saja mempekerjakannya di restaurantku, tapi aku ingin lihat dulu bagaimana dia mengerjakan tugasnya di apartemen. Kupilih-pilih pembalut seperti yang ada di pesan WA dari Lira. "Elang..." Panggilan seseorang membuatku terkesiap. Aku begitu terkejut melihat Raline berdiri mematung di hadapanku. Hatiku masih berdesir saat menatapnya. Dadaku berdebar dan seakan aliran darahku berhenti mengalir. Apa ini nyata? Sudah beberapa bulan aku tak melihatnya dan hari ini dia muncul tiba-tiba. Wajah cantiknya semakin terlihat menawan. Dua bola mata yang bening sebening kristal. Hidung yang mancung, bibir merah yang selalu ranum dan merekah. Pipinya yang merona, bulu matanya yang lentik dengan sepasang alis yang hitam dan tebal. Rambut panjang lurusnya tergerai dengan bagian ujung yang mengombak. Sempurna.. Raline adalah gambaran sempurna bahwa sosok bidadari itu memang nyata. "Elang..." Panggilnya sekali lagi. "Iya Raline apa kabar?" Saking terpesonanya aku jadi agak gelagapan begini. Kadang aku heran, kenapa yang namanya mantan itu selalu terlihat lebih memesona setelah putus dari kita? "Baik, kamu?" "Baik juga." Jawabku singkat dan aku masih deg-degan. "Kamu beli pembalut buat siapa?" Tatapan Raline membidik pembalut dalam troli. Aku tersentak dia menanyakan hal ini. Dan aku mencari jawaban yang tepat agar dia tidak berpikir macam-macam. Aku ingin dia tahu, sampai detik ini aku masih sendiri karena aku masih mencintainya. "Ini titipan Sheril, sepupuku. Kamu ingat kan ama dia?" "Oh.. Iya aku ingat." Raline mengangguk. "Bisa kita bicara? Kebetulan kita ketemu di sini, dan aku memang ingin kita ngobrol bentar." Ucapnya dengan seulas senyum yang masih saja terlihat manis, seperti biasanya. "Iya bisa. Gimana kalau ngobrol di coffee shop?" Aku begitu senang Raline mengajakku berbincang. Raline mengangguk. *** Kami duduk saling berhadapan dengan dua cangkir capucino di hadapan kami. Atmosfer terasa sedikit canggung. Ini pertama kali kami duduk dan berbincang setelah putus. "Elang, ehm... Aku udah putus dari Devan. Pertunangan kami putus." Raline bicara lirih dengan wajah tertunduk. Aku kaget setengah mati mendengarnya. Haruskah aku senang karena itu artinya aku punya kesempatan untuk mendekatinya lagi? Atau aku harus bersimpati padanya, karena saat ini wajahnya terlihat murung. "I'm sorry to hear that..." Hanya ini yang bisa aku katakan. Raline tersenyum, "dia memutuskanku begitu saja tanpa aku tahu alasannya. Dia nggak mau jelasin apa alasan dia memutus sepihak. Ya aku tahu kami dijodohkan. Tapi selama jalan dengannya, aku rasa kami udah mulai saling jatuh cinta. Aku nggak tahu kenapa perasaan dia ke aku berubah secepat itu." Aku merayakan kemenangan dalam hati. Devan itu begitu bodoh, kenapa dia melepas Raline begitu mudah? "Mungkin dia punya pertimbangan sendiri. Kamu tetap semangat ya. Jangan sedih terus, harus cepat move on." Kuulas senyum. Raline membalas senyumku, "makasih Elang. Mungkin ini balasan karena dulu aku meninggalkanmu." Aku menghela napas, "yang udah berlalu jangan diungkit lagi." **** Kunaiki lift menuju lantai lima dengan menenteng belanjaan dan perasaan yang berbunga-bunga karena Raline putus dari tunangannya, bahkan terang-terangan menyatakan penyesalannya meninggalkanku. Tiada hal yang lebih membahagiakan selain mendengar mantan menyesal karena telah meninggalkan kita. Itu artinya kita istimewa dan special di matanya. Kuketuk pintu kamarku. Pintu terbuka dan aku lihat Lira sudah mengenakan kaos dan celana jeansnya yang sudah kering. Dia terlihat lebih segar dibanding saat pertama kali aku bertemu dengannya. "Nih gue udah beliin semua pesenan lo." Kuletakkan barang belanjaan di atas meja. Lira melihat-lihat barang-barang dalam kantong belanjaan. "Makasih banyak ya. Aku udah ngrepotin." Ucapnya pelan. "Nggak ngrepotin. Oya gue beliin produk skin care juga, biar wajah lo nggak suram-suram amat. Ada penghilang bekas luka juga. Buat bekas luka sayatan yang udah tebel mungkin nggak bisa ilang total, tapi at least bisa menyamarkan." Lira terdiam. Kadang tatapannya tanpa arah, kosong. Cewek hopeless yang selalu ingin mati ini terkadang terlihat murung, melamun dan tak bisa fokus dengan apa yang ada di sekitarnya. "Oya karena lo nawarin diri bersih-bersih apartemen gue, otomatis gue jadi atasan lo sekarang. Jadi gue punya hak buat tahu background lo. Gue pingin tahu juga tentang di mana lo tinggal." Lira menatapku tajam. Dia memalingkan wajahnya lagi dan menunduk, "kalau kamu udah tahu dimana aku tinggal, apa kamu bakal balikin aku ke orangtuaku?" Aku terdiam. Lira ini masih sembilan belas. Mungkin saat ini orangtuanya tengah mencari keberadaannya. "Hmm karena itu gue perlu tahu background keluarga lo. Gue juga nggak mau dituduh bawa lari anak orang. Gimana kalau mereka nyari lo? Paling nggak lo kasih kabar ke mereka kalau lo baik-baik aja." Lira menarik napas pelan lalu menghembuskannya, "gue tinggal di kawasan preman. Banyak warga yang kerjaannya nggak bener, ada yang jadi preman, tukang palak, copet. Perempuannya juga banyak yang jadi PSK. Benar-benar lingkungan yang nggak ideal dan dari dulu aku selalu ingin kabur dari sana. Ibu sakit-sakitan. Ayahku ini dulu ketua preman, sekarang kebiasaan buruknya masih dia lakuin. Dia suka minum, judi, main perempuan bahkan sering mukulin aku dan ibu. Pukulannya sering ninggalin lebam-lebam. Jadi aku nggak ingin balik lagi." Aku tersentuh juga mendengarnya. Aku tak tega jika harus mengembalikannya ke tempat tinggalnya. "Sekarang jelasin ke gue gimana cara lo bikin luka sayatan gini? Sejak kapan lo kecanduan self harm?" Lagi-lagi Lira menatapku tajam dan tercenung sejenak. Mungkin tak mudah baginya untuk menceritakan semuanya. "Aku.. Nglukai kulitku pakai cutter, kadang pisau kecil. Tapi cutter lebih mudah karena lebih tajam. Kalau lebam-lebam biru ini, itu hasil pukulan ayah. Aku nglakuin self harm sejak lima tahun yang lalu." Kuperhatikan bekas luka sayatan yang masih terlihat di pergelangan tangan dan lengannya. Mungkin jika kemarin dia tidak mengenakan gaun Raline, aku tak akan pernah tahu bahwa bekas luka yang tertutup di bagian-bagian tubuhnya lebih banyak dari apa yang terlihat saat ini. "Kenapa lo nglakuin self harm? Karena lo tertekan dengan keadaan lo?" Lira mengangguk. "Lulus SMA aku langsung kerja jadi pelayan restaurant dan gajiku selalu diminta ayah buat nglunasin hutang-hutangnya. Aku sering diperlakukan kasar oleh ayah, dibully secara verbal, diintimidasi, dipukuli. Yang nahan aku untuk nggak pergi itu karena ibuku sakit-sakitan. Aku nggak tahu saat ini siapa yang ngrawat ibu kalau sakitnya kambuh. Ayah juga suka kasar ke ibu. Dan self harm bikin aku lupa sejenak akan masalah hidup. Sensasi saat melihat darah mengalir dari luka yang aku buat itu seperti candu yang membebaskanku sementara dari depresi dan tekanan hidup. Aku kadang insomnia, nangis-nangis nggak jelas tengah malam, dan aku rasa jika aku mati mungkin segalanya lebih baik. Aku nggak akan menderita lagi." Aku speechless, tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Aku mungkin terlalu jahat karena sempat menghakiminya padahal aku belum pernah berada di posisinya. "Hidup lo itu berat ya. Lo udah bertahan sejauh ini, itu udah hebat. Lo sekarang udah gue pegangin hp. Lo bisa ngubungin ibu lo cuma buat ngasih kabar lo baik-baik aja biar ibu lo nggak khawatir. Bilang kalau lo udah dapet kerjaan." Lira mengangguk lagi. "Dan satu lagi, gue minta lo harus usaha buat berhenti nglukai diri lo sendiri. Selama tinggal di sini lo harus patuh ama aturan gue." Lira terdiam. "Kenapa? Susah?" Lira meremas-remas jemari tangannya. Sepertinya dia merasa cemas. "Kadang keinginan untuk self harm, datang tiba-tiba. Keinginan itu akan makin kuat kalau kondisi hatiku lagi buruk, saat aku stres." Ujarnya tanpa menolehku. Kutatap pergelangan tangannya yang kurus. Entahlah aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menggoreskan luka di sana dan ia pandang, self harm bisa menenangkannya. Apa dia tak merasa sakit? "Lo harus usaha buat berhenti. Kendaliin diri lo. Tiap dorongan itu muncul, alihkan ke kegiatan positif. Ngemil misalnya biar berat badan lo nambah." Kutatap dia tepat di kedua matanya. Lira balas menatapku. Dia mengangguk, "okey aku akan berusaha. Apa kamu juga bisa berhenti minum? Kencan dengan banyak cewek? Ngurangi clubbing?" Kupicingkan mataku, "kenapa jadi lo yang ngatur gue?" Lira menghela napas, "lebih asik dan seru kalau kita usaha memperbaiki diri bareng-bareng kan? Jadi ada temennya. Nggak cuma nyuruh tapi dia juga harus memperbaiki diri juga." Aku menyeringai, baru kali ini ada yang berani mengaturku. "Okay.. Gue nggak janji langsung berhenti. Tapi gue bakal usaha ngurangi pelan-pelan." "Ini kesepakatan kita. Kita sama-sama belajar untuk memperbaiki diri." Tukasnya. Aku lihat dia tersenyum merayakan kemenangannya. "Oya aku udah masak tadi. Tapi nggak tahu enak apa nggak. Aku nekat aja coz dari kecil aku udah biasa masak. Kamar mandi udah aku sikat. Lantai udah aku pel. Baju udah aku cuci." "Makasih." Ucapku singkat. "Nggak perlu makasih, itu udah jadi tugasku." Balasnya. Aku lihat ruangan ini memang jadi lebih bersih, rapi dan tertata. Dia cukup terampil menyelesaikan pekerjaannya. Kita lihat saja ke depan. Mungkin aku akan memintanya bekerja di restaurantku lalu kucarikan tempat tinggal untuknya. Aku nggak bisa terus-terusan menampungnya karena aku berencana untuk mengajak Raline balikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD