3. Ya Allah

804 Words
Christin mulai mencari tahu lebih banyak tentang Anne. Ia diam-diam memperhatikan stand jualan takjil Anne saat melintas, mencoba menilai gadis itu dan apa yang membuatnya begitu menarik bagi Barra. Dari jauh, ia melihat senyum ramah Anne kepada setiap pembeli, kecekatan tangannya saat meracik takjil, dan interaksinya yang hangat dengan Barra. Semakin banyak ia melihat, semakin besar pula rasa tidak sukanya. Giginya bergemeretak karena matang sekaligus merasa benci dan kesal. Dalam benaknya, Christin mulai membangun narasi sendiri. Ia menganggap Anne hanya memanfaatkan ketertarikan Barra untuk keuntungan pribadi. Ketidaksukaannya pada Anne menjadi duri dalam hubungan Barra dan gadis penjual takjil itu. Walaupun di sisi lain, Barra semakin terpesona dengan kesederhanaan dan kebaikan hati Anne, tidak menyadari adanya badai kecil yang mulai terbentuk di sekitarnya. Ketidaksukaan Christin semakin menjadi-jadi. Ia mulai melontarkan sindiran-sindiran halus setiap kali Barra menyebut nama Anne. "Kamu jadi sering jajan di pinggir jalan sekarang. Selera kamu berubah ya," ujarnya suatu kali dengan nada meremehkan. Barra diam saja, ia menganggap Christin hanya berucap biasa saja. "Gadis itu pasti senang sekali punya pelanggan setia seperti kamu, Barra." Barra hanya menanggapinya dengan senyum atau jawaban singkat. Namun, lama kelamaan, ia mulai merasakan adanya nada sinis dalam ucapan Christin. ** Suatu sore, Christin sengaja menghampiri stand jualan takjil Anne. Dengan tatapan dingin, ia menatap Anne dari atas ke bawah. "Jadi, kamu gadis yang menjual takjil itu?" tanyanya dengan nada angkuh. Anne yang sedang melayani pembeli lain sedikit terkejut. Ia mengangguk sopan. "Benar, Nona. Ada yang bisa aku bantu?" "Aku dengar takjil kamu enak sekali sampai membuat temanku ketagihan," lanjut Christin, menekankan kata 'temanku'. " “Teman Nona yang mana ya?” ujar Anne kebingungan. “Huh, pasti langgananmu banyak yang kamu rayu ya, kan? Ckckck … jualan rayuan berkedok jualan takjil, cuma untuk merayu pria kaya!” Anne terkejut mendengar tuduhan itu. Air matanya hampir menetes, namun ia berusaha menahannya. Ia tidak mengerti mengapa wanita ini begitu membencinya. Tepat saat itu, Barra datang. Ia melihat Christin berdiri di depan stand jualan Anne dengan wajah merah padam dan Anne juga berwajah tegang. "Ada apa ini, Chris?" tanya Barra dengan nada khawatir. Christin menoleh dengan tatapan sinis. "Tanya saja pada gadis kesayanganmu ini. Dia pasti sedang berusaha menarik perhatianmu dengan takjil murahan itu." Barra mengerutkan kening. Ia menatap Anne yang kini menundukkan kepala. Ia bisa merasakan ketidaknyamanan dan kesedihan dari gadis itu. "Anne tidak pernah melakukan hal seperti itu, Chris," kata Barra dengan nada tegas namun tetap tenang. "Aku hanya membeli takjilnya saja. Tidak ada alasan lain." Tindakan Barra yang membela Anne di depan Christin membuat suasana semakin tegang. Gadis itu merasa harga dirinya terluka. Ia merasa Barra lebih membela seorang gadis penjual takjil daripada dirinya, seorang teman yang sudah lama ia kenal. "Kamu... kamu berubah, Barra," ujar Christin dengan nada kecewa sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah marah. Setelah Christin pergi, Barra menoleh pada Anya. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada lembut. Anne mengangkat wajahnya, menatap mata Barra yang penuh perhatian. Air matanya akhirnya jatuh. "Aku tidak mengerti mengapa gadis itu begitu marah padaku," lirihnya. Barra menghela napas. "Jangan dengarkan perkataannya. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. ** Kejadian itu membuat jualan Anne jadi terganggu apalagi kemudian ada fitnah yang tersebar kalau makanan yang dijualnya basi dan mengandung bahan berbahaya. Anne menangis dan terpaksa libur jualan. Di tengah badai fitnah yang menerpa Anne, muncul sebuah kebetulan yang tak terduga dan justru menambah peliknya situasi. Nenek Jessica, yang semakin hari semakin menyukai takjil buatan Anne, suatu sore memanggil cucunya dengan nada yang berbeda dari biasanya. "Barra, cucuku," panggil Nenek dengan tatapan menerawang. "Takjil gadis itu... kolak pisangnya... rasanya persis seperti buatan putriku dulu." Barra terkejut mendengar ucapan Nenek. “Nenek kan cuma punya anak satu, yaitu mamaku,” ujar Barra. “Nenek ada seorang putri yang dibawa lari,” "Maksud Nenek?" tanya Barra dengan bingung. “Apa nenek yakin kalau punya anak selain mamaku?” Neneknya mengangguk dan merasa telah keceplosan. Ia pun bercerita dan Barra jadi tahu yang sesungguhnya. Tapi ia meyakinkan neneknya bahwa mungkin saja itu suatu kebetulan. Dan ia memberitahu Anne tentang cerita neneknya. “Tidak mungkin, Tuan kalau kita bersaudara,” Tapi Anne juga mulai berpikir kalau yang dikatakan neneknya Barra benar adanya karena ibunya pernah bercerita kalau ibunya hanya diasuh kakeknya saja waktu kecil. Ia pun bingung dan terpaksa menjaga jarak dengan Barra karena tidak mau terlalu jauh tahu tentang silsilah keluarganya. Hari ini Anne tetap berjualan dan menerima pesanan, dari Barra juga dan kali ini pesanannya cukup banyak. Anne merasa lega karena ternyata bukan Barra yang datang melainkan sopirnya dan memesan takjil untuk acara keluarga dan akan diambil besok. Tapi, saat keesokan harinya saat Anne berada di pasar bertemu sopir pribadi Barra yang memberitahu kalau Tuannya sedang mengalami musibah. "Trus gimana dong ini, Pak. Kan sudah pesan banyak?" tanya Anne takut. Ia merasa cemas dan sedikit kecewa dengan berita yang disampaikan sang sopir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD