Aku membuka rapat dengan salam dan perkenalan singkat sebagai Wakil Direktur baru. "Selamat pagi, semua. Saya Kanaya, Wakil Direktur baru di perusahaan ini. Saya berharap kita semua dapat bekerja sama dengan baik untuk mencapai target perusahaan," kataku dengan percaya diri.
Kepala departemen keuangan, Pak Rudi, mengangguk setuju. "Selamat pagi, Bu Kanaya. Kami semua siap untuk bekerja sama dengan Anda."
Aku kemudian memulai membahas agenda rapat, mulai dari laporan keuangan, strategi pemasaran, hingga rencana pengembangan produk baru. Aku meminta setiap kepala departemen untuk mempresentasikan laporan mereka dan membahas tantangan yang dihadapi.
Selama rapat, aku memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk berbicara dan memberikan pendapat. Aku juga meminta mereka untuk memberikan saran dan ide untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Setelah beberapa jam rapat, kami berhasil mencapai kesepakatan tentang strategi dan target perusahaan ke depan. Aku merasa puas dengan hasil rapat dan yakin bahwa kita semua dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan perusahaan.
"Terima kasih, semua," kataku sambil tersenyum. "Saya berharap kita semua dapat bekerja sama dengan baik untuk mencapai target perusahaan. Mari kita mulai kerja sama ini dengan semangat dan komitmen yang tinggi."
Rapat selesai dengan nota kesepahaman dan rencana aksi yang jelas. Aku merasa bahwa aku telah membuat langkah yang tepat sebagai Wakil Direktur baru dan siap untuk menghadapi tantangan ke depan.
"Bu, kami bersyukur Ibu Kanaya mau menjadi wakil direktur," kata salah satu staf bagian pemasaran dengan nada yang serius. "Karena, Pak Raja beberapa kali menggagalkan meeting penting dengan klien besar setelah mendapatkan panggilan telepon dari Nona Viora dan itu membuat Pak Damian marah besar," tambahnya dengan suara yang rendah, seakan dia tidak ingin orang lain mendengar percakapan tersebut.
Aku mendengarkan dengan seksama, mata aku terpaku pada staf tersebut ternyata sudah sangat besar pengaruh Viora di hidup Mas Raja. "Apa maksudnya?" tanyaku berpura-pura tidak mengerti.
Staf tersebut menundukkan kepala, seolah-olah dia merasa tidak enak untuk membicarakan hal tersebut. "Pak Raja sering kali meninggalkan meeting penting tanpa alasan yang jelas, hanya karena Nona Viora memanggilnya. Ini sudah terjadi beberapa kali, dan itu sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dan banyak klien yang kecewa," jelasnya dengan nada yang hati-hati.
Aku tidak menyangka Mas Raja bisa begitu tidak profesional hanya karena pengaruh Viora. Selesai rapat, aku memilih untuk pulang sebentar untuk melihat putraku. Kupesan taksi online, aku tidak bisa mengemudi mobil karena tidak memiliki SIM. Entah, kenapa hati ini tidak enak, rasanya seperti ada yang tidak beres.
Tidak membutuhkan waktu lama aku sampai di rumah karena perusahaan dengan rumah tidak terlalu jauh. Setelah membayar ongkos taksi, aku keluar dari mobil. Satpam membukakan pintu gerbang untukku, dan aku melihat mobil Mas Raja sudah ada di garasi rumah. Pantas saja dia tidak ikut meeting, dia sudah di rumah.
Aku memasuki rumah, dan kulihat Mas Raja sedang duduk santai di tepi kolam renang sambil memainkan ponselnya. Aku mendekati suamiku dengan langkah yang tenang. "Mas, kamu tidak kembali ke kantor?" tanyaku dengan nada yang santai.
Mas Raja menoleh ke arahku. "Untuk apa, sudah ada kamu bukan, yang sok berkuasa," sahutnya dengan pandangan yang dingin.
Aku merasa tersinggung dengan nada suamiku. "Mas, kamu direktur. Aku hanya wakil direktur," kataku dengan nada yang lembut. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan suamiku.
Mas Raja menurunkan ponselnya, lalu memandangku dengan pandangan meremehkan. "Bukankah kamu sudah pintar dan bisa menghandle perusahaan, buat apa aku disana," katanya dengan nada yang santai, tapi nadanya menyindirku.
Mas Raja tidak mengerti keadaan perusahaan yang sebenarnya. "Mas, bukan maksudku seperti itu. Kamu beberapa kali menggagalkan meeting dengan klien penting, kalau kamu sering meninggalkan perusahaan hanya karena panggilan tidak penting dari Viora. Bisa-bisa perusahaan akan kehilangan kepercayaan dari klien," kataku menjelaskan dengan nada yang serius.
Aku berharap Mas Raja bisa mengerti dan mengubah sikapnya, tapi aku tidak yakin apakah dia akan mendengarkan aku atau tidak.
"Aku akan kembali ke perusahaan kalau kamu keluar dari perusahaanku," balasnya dengan nada yang tegas dan dingin. "Dan, satu lagi karena kamu memilih bekerja. Biar nanti Viora yang mengurus Prabu, kamu bisa bekerja dengan fokus. Raih tujuan kamu yang ingin menguasai Kawandra group," tambahnya dengan senyum sinis.
Aku tersentak kaget mendengar kata-katanya yang tidak masuk akal. "Apa maksud kamu, menyuruh Viora mengurus Prabu! Dia anakku, tidak akan aku biarkan dia mengurus anakku!" bentakku dengan nada yang keras dan emosi yang memuncak.
Aku tidak akan membiarkan anakku diasuh oleh wanita lain, apalagi Viora yang sudah jelas-jelas memiliki niat tidak baik. Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan putraku sangat keras, aku tersentak menatap kearah tangga dimana kamar anakku berada. Seketika pikiran buruk muncul, jangan-jangan sekarang prabu sedang bersama Viora.
"Kamu sudah keterlaluan, Mas. Awas saja kalau terjadi sesuatu dengan putraku, aku tidak akan memaafkan kalian!" bentakku emosi.
Mas Raja hanya tersenyum sinis dan tidak menjawab. Aku bisa melihat kebencian dan ketidakpedulian dalam matanya. "Kamu itu terlalu berlebih-lebihan, bayi seusia Prabu wajar suka menangis," sahutnya acuh.
Aku mengeram dengan emosi yang memuncak, dan memilih cepat-cepat naik ke lantai atas menuju kamar putraku. Langkahku cepat melewati lorong menuju kamar Prabu dengan perasaan tidak enak yang semakin kuat. Aku yakin pasti terjadi sesuatu tidak beres dengan Prabu, karena suara tangisnya melengking menandakan putraku sedang merasa kesakitan.
Begitu sampai pintu, aku membuka pintu dengan kasar dan membantingnya ke dinding. Dan, aku melihat Viora sedang menggendong Prabu dengan wajah emosi yang terlihat jelas. "Viora, apa yang sudah kamu lakukan dengan Prabu!" bentakku dengan nada yang keras dan penuh dengan kemarahan.
Viora hanya melirikku dengan sinis dan tidak menjawab. Aku cepat melangkah masuk ke dalam kamar Prabu dengan langkah yang panjang dan cepat. "Kembalikan putraku," kataku dengan nada yang tegas.
Aku mengambil Prabu dari Viora, dan putra kecilku masih menangis dengan kencang. Wajahnya bahkan sampai memerah, menandakan ada sesuatu yang sakit di tubuhnya. Aku memeluk Prabu erat-erat dan mencoba menenangkannya.
"Anak kamu itu cengeng sekali, setelah dipikir-pikir aku malas mengasuh Prabu. Nanti setelah kami menikah, kami akan membuat anak sendiri. Biar dia ikut kamu, agar tidak menganggu," ucap Viora dengan santai.
Aku menghiraukan ocehannya dan kuperiksa seluruh tubuh anakku dengan teliti. Dan, aku melihat di paha Prabu terdapat lebam merah seperti bekas cubitan karena ada bekas kuku menancap. Seluruh tubuhku seketika memanas dengan kemarahan yang tak terkendali.
"Viora, kamu mencubit Prabu!" bentakku dengan emosi yang tidak terkendali.
"Aku hanya ingin memberi dia pelajaran sedikit, agar jangan terus menangis," sahutnya terlihat tidak merasa bersalah.
"Kamu sudah gila! Prabu masih bayi, dan kamu ingin memberi pelajaran anakku yang belum mengerti apa pun!" Aku sudah tidak bisa menahan emosiku lagi. Dengan cepat aku menarik tangannya, dan membalas mencubit lengan Viora dengan kencang.
"Aaargh! Kanaya sakit!" teriaknya karena aku mencubit tangannya dengan mengerahkan seluruh tenagaku. Aku tidak peduli dengan teriakannya, yang penting aku telah membalas perbuatan Viora terhadap Prabu.
Di luar terdengar langkah kaki yang berat, tidak lama kemudian Mas Raja berdiri di ambang pintu dengan wajah yang terkejut. Aku masih mencubit Viora dengan tangan yang gemetar karena kemarahan. "Kanaya, apa yang sedang kamu lakukan dengan Viora!" bentak Mas Raja keras.
Tapi, aku tidak takut dengan bentakannya. Viora sudah menyakiti putraku, aku akan membalas orang yang sudah menyakiti anakku dengan sekuat tenaga. Viora menangis seperti anak kecil, dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya. "Raja, Kanaya menyakitiku," katanya dengan suara yang tersedu-sedu.
Mas Raja melangkah cepat ke arahku, kemudian menepis tanganku dengan kasar. "Jangan sakiti Viora!" sentaknya. Air mataku hampir terjatuh, tapi aku berusaha menahannya dengan sekuat tenaga.
"Sebelum kamu menyalahkanku, setidaknya kamu tanya dulu, kenapa aku menyakiti Viora," kataku dengan suara yang bergetar karena kemarahan yang masih membara. Prabu kembali menangis, mungkin mendengar suara Mas Raja yang keras.
"Aku tidak peduli apa pun alasan kamu menyakiti Viora!" Mas Raja menjawab dengan ekspresi tidak perduli. Aku tersenyum miris, dia bahkan tidak peduli dengan putranya yang telah disakiti Viora.
"Aku tidak akan melakukan ini, seandainya dia tidak lebih dulu mencubit putraku!" Aku memperlihatkan bekas merah di paha Prabu, agar Mas Raja melihat kekasih tercintanya sudah menyakiti darah dagingnya.
"Raja, Kanaya bohong. Mungkin saja bekas merah itu, gigitan nyamuk," elak Viora dengan suara yang lembut dan penuh dengan kepalsuan. Viora tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun atas perbuatannya.
"Kanaya, kenapa kamu selalu mencari alasan untuk memojokkan Viora," bentak Mas Raja dengan nada yang keras dan penuh dengan kemarahan.
"Sayang, sepertinya istri kamu sengaja mengarang cerita agar aku jelek di mata kamu," tambahnya dengan suara yang lembut. "Aku tadi sedang menenangkan Prabu, wajar anak kecil suka menangis," katanya dengan nada yang santai dengan suara manja dan penuh kepalsuan.
"Kamu dengar sendiri, Kanaya. Mana mungkin Viora tega menyakiti Prabu, kalau kamu iri dengan Viora jangan jadikan Prabu alasan kamu untuk membalas Viora," ucap Mas Raja.
"Mas, kamu ayah Prabu," kataku dengan nada yang tegas. "Dan, kamu tahu Prabu tidak akan menangis kencang seperti ini, kalau tidak ada yang menyakitinya," kataku dengan emosi.
Tapi, Mas Raja terlihat tidak peduli dengan kata-kataku. "Sudahlah, Sayang. Lebih baik kita keluar saja, sekarang sudah ada Kanaya yang mengurus Prabu. Lebih baik kita berenang, aku kangen berenang sama kamu," ucap Viora dengan suara dibuat-buat.
Viora mengalungkan kedua tangannya ke leher kokoh suamiku dengan suara manja. Aku sudah muak melihat mereka, apa sebaiknya aku menyerah saja.