Bab 7. Menolak Kewajiban

1695 Words
Pagi ini aku lebih bersemangat, semalam aku memompa ASIku sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan Prabu. Sebenarnya, di lemari pendingin khusus untuk menyimpan ASIku masih penuh karena aku rutin memompanya setiap hari. Selesai memompa ASI, baby sister, Mira, memberikan putraku kembali kepadaku. "Nyonya, Den Prabu sudah mandi dan siap untuk bermain," ucap Mira dengan senyum yang manis. Aku tersenyum melihat Prabu yang sudah bersih dan wangi, lalu aku bermain sebentar dengannya. Namun, rasanya berat sekali meninggalkan Prabu untuk bekerja, tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Aku ingin membuktikan kepada Mas Raja bahwa aku bisa menjadi ibu yang baik dan mandiri. "Mira, hari ini aku akan mulai bekerja. Tolong jaga Prabu dengan baik, kalau terjadi sesuatu kamu harus segera menghubungi aku," kataku dengan nada yang serius. "Baik, Nyonya. Saya akan menjaga Den Prabu dengan baik," jawab Mira dengan nada yang hormat. Aku mengangguk, lalu memberikan instruksi terakhir sebelum aku pergi bekerja. Setelah itu, aku memberikan ciuman selamat tinggal kepada Prabu, lalu aku keluar dari kamar menuju ruang makan. Aku sedang berjalan menuju ruang makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Pagi ini aku memakai pakaian kerja yang elegan dan profesional, dengan rok panjang dan blus yang rapi. Namun, aku mendengar suara bentakan Mas Raja yang membuatku menghentikan langkahku. Suara itu terdengar dari dapur, dan aku bisa merasakan ketegangan dari wajah pembantu rumah tangga kami. "Kopi ini tidak enak, kenapa kamu tidak bisa membuat kopi seperti Kanaya!" bentak Mas Raja dengan nada yang kasar. Pembantu rumah tangga yang sedang membuat kopi terlihat takut dan cemas, dengan tangan yang gemetar saat menuangkan kopi ke cangkir. Aku melihat sekilas ke dalam dapur, dan aku melihat Mas Raja yang berdiri dengan wajah merah padam, sementara pembantu rumah tangga terlihat seperti akan menangis. Aku tidak ingin memperburuk situasi, jadi aku memutuskan untuk tidak ikut campur dan memilih untuk tidak sarapan. "Kanaya," panggil Mas Raja saat aku hendak meninggalkan ruang makan. Kuhela napasku dengan kasar, terpaksa aku membalikkan badan dan melihat ke arahnya sambil memutar bola mata dengan malas. "Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada dingin. "Aku ini masih suami kamu, kenapa kamu tidak menyiapkan sarapan dan kopi untukku seperti biasa!" bentaknya dengan nada yang keras, sambil menatapku dengan mata yang marah. Aku menatap Mas Raja dengan mata yang tidak takut. "Maaf, Mas. Bukankah kamu dulu mengatakan jijik sama masakanku, kamu juga bilang untuk tidak usah ikut campur urusan kamu. Sekarang aku melakukan semua yang kamu mau?" kataku tegas. Aku sedang mengingatkan dia, yang selalu mengatakan masakanku tidak enak saat aku memasak untuknya padahal dia belum pernah mencoba masakanku. Jadi, menyuruh pelayan yang menyiapkan agar Mas Raja mau memakan masakanku. Mas Raja membelakkan matanya, mungkin masih pagi sudah dibuat syok oleh perubahan sikapku lagi. Aku bisa melihat kekesalan di wajahnya, dan aku merasa puas karena telah membuatnya terdiam. Mungkin dia sedang mengingat semua perkataannya dulu untukku. "Maaf, Mas. Aku mau pergi bekerja," kataku dengan nada yang santai, sambil menatapnya sejenak. Lalu, terdengar suara Viora memanggil nama suamiku, "Raja sayang." Panggilannya seperti biasa dengan suara manja, dia seenaknya masuk ke rumah orang tanpa izin. Aku dan Viora bersitatap sesaat, dan aku melihat dia menatap pakaian yang aku gunakan dengan senyum miring. "Kamu mau kemana pagi-pagi sudah rapi, oh jangan-jangan kamu mau melamar kerja ya. Syukurlah, kamu sadar diri sebaiknya kamu cepat dapat kerja agar saat bercerai dengan Raja, kamu tidak menjadi beban calon suamiku," ejek Viora dengan nada yang menyindir. Aku tersenyum dingin, lalu menjawab, "Viora, kamu tenang saja. Aku juga tidak akan menyusahkan orang lain setelah kami bercerai. Karena kamu sudah datang, sebaiknya kamu memasak untuk calon suami kamu. Katanya dia tidak selera makan kalau pelayan yang memasak," kataku dengan nada yang sama-sama menyindir. Lalu, aku mengayunkan kakiku meninggalkan mereka berdua. "Eh, tunggu Kanaya," panggil Viora menyusulku. "Enak saja kamu pergi begitu saja, cepat masakan untuk Raja dan aku sebelum pergi bekerja," perintahnya dengan nada yang sombong, seakan aku pembantunya memerintah seenaknya. Aku berhenti sejenak, menatap Viora dengan mata yang tajam. "Kamu itu calon istrinya, jadi mulai sekarang belajarlah memasak untuk Mas Raja," kataku dengan cuek. Tapi, sebelum aku berbalik dan meninggalkan rumah, Viora kembali mencegahku dengan menarik lenganku dengan kasar. "Kamu itu kerja palingan jadi Cleaning service saja sudah belagu tidak mau memasak untuk suami," ejeknya dengan nada yang menyakitkan, sambil menatapku dengan mata yang penuh dengan kebencian. Aku merasa lenganku sakit karena tarikan Viora yang kasar, tapi aku tidak memperdulikannya. Aku menatapnya dengan mata yang tajam. "Mau aku kerja apa, itu bukan urusan kamu, Viora." Dengan gerakan yang cepat, aku melepaskan tarikan Viora dari lenganku, lalu berbalik dan meninggalkan rumah dengan langkah yang tegap. Aku tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Viora, dan aku ingin fokus pada hidupku sendiri. Saat aku berjalan menjauh, aku masih mendengar suara Mas Raja. "Viora, biarkan saja dia pergi. Aku mau lihat di luar sana apa ada perusahaan yang menerima dia." Aku mengabaikan suara itu dan melanjutkan langkahku menuju jalan raya. Di depan rumah, aku memesan taksi online, tapi belum sempat aku memesannya, mobil Chery berhenti di depanku. "Taksi online sudah tiba," ucap Chery setelah membuka kaca mobil, sambil tersenyum. Aku mengangguk, lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. "Kamu pagi-pagi sudah datang, Chery?" tanyaku dengan senyum, sambil menatap Chery dibalik kemudi. "Ini kan hari pertama Kak Kanaya kerja, Papa menyuruhku untuk menjemput Kakak dan mengantar kakak sampai ke perusahaan Kawandra group dengan selamat," jawab Chery dengan nada yang ceria. Aku tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. "Terima kasih ya, Chery," ucapku tulus, sambil menatapnya dengan rasa syukur. Walau pagi ini moodku sempat hancur karena kelakuan Mas Raja dan Viora, setidaknya masih ada orang yang sangat peduli denganku. Chery melihat keluar jendela, dan alisnya terangkat melihat mobil Viora yang terparkir di depan rumah. "Kak, itu mobil Viora?" tanyanya dengan nada yang penasaran. "Ya, setiap pagi dia akan datang," jawabku dengan nada yang biasa saja. Chery mengerutkan keningnya. "Dasar nenek sihir, pelajaran kemarin belum membuatnya kapok juga. Kak Kanaya disini dulu, aku mau mengusir dia dari rumah," ujar Chery hendak membuka pintu mobilnya. Tapi, dengan cepat aku mencegahnya sambil menggelengkan kepala. "Biarkan saja," kataku mencegahnya dengan nada yang tegas. "Tapi, Kak. Ini tidak bisa dibiarkan apa nanti kata orang," protes Chery dengan nada yang khawatir. "Chery, tadi Viora mengejekku melihatku memakai baju kerja, dia mengatakan aku pasti kerjanya hanya menjadi cleaning service. Jadi, biarkan saja. Aku ingin membuat dia syok," kataku dengan nada yang penuh dengan tekad. Chery menatapku dengan mata yang terkejut, lalu tersenyum. "Wah, jadi Kak Kanaya ingin membuat syok terapi ke Viora lagi?" tanyanya dengan nada yang gembira. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Aku yakin aku bisa membuat Viora syok saat melihatku nanti di perusahaan Kawandra group. Chery menjalankan mobilnya meninggalkan rumah, jantungku berdebar karena aku akan kembali bekerja di perusahaan Kawandra group. Hanya butuh setengah jam, kami sampai di depan gedung pencakar langit yang megah dan modern. Gedung Kawandra group memiliki desain yang unik dan elegan, dengan logo perusahaan yang terukir di atas pintu masuk. Kami turun dari dalam mobil, beberapa karyawan melihatku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku masih ingat sekali, saat aku hamil dan seluruh karyawan tahu aku hamil anak Mas Raja, mereka sinis dan terus mengejekku karena aku sengaja menjebak bos mereka. Tapi, sekarang mereka melihatku dengan ekspresi berbeda-beda, ada yang terkejut, ada yang penasaran, dan ada yang menyambutku dengan hangat. Saat melihat Chery, mereka menyapa Chery dan aku dengan hormat. "Selamat pagi, Nona Chery. Selamat pagi, Ibu Kanaya," ucap mereka serempak. Aku tersenyum, lalu mengangguk sebagai tanda terima kasih karena mereka menyambut dengan ramah walau aku tahu mereka melakukannya karena aku bersama Chery. Aku tidak perduli tanggapan mereka tentang aku seperti apa, sekarang tujuanku kembali mulai bekerja. Chery mengajakku ke ruangan yang terletak di lantai atas, dengan pemandangan kota yang indah dan mempesona. "Chery, sebenarnya aku akan bekerja dibagian apa?" tanyaku penasaran, sambil menatap Chery dengan mata yang ingin tahu. "Kakak kerja menjadi wakil direktur, Kak Raja masih direkturnya tapi tetapi kendali Kak Kanaya yang pegang termasuk kakak yang menghandle keuangan perusahaan. Karena beberapa kali karyawan bagian keuangan mengatakan banyak dana perusahaan dipakai Kak Raja tidak jelas dan aku yakin dipergunakan untuk menyenangkan nenek sihir itu," terang Chery dengan nada yang serius. Aku terkejut, lalu menatap Chery dengan mata yang lebar. "Apa? Aku yang memegang kendali perusahaan?" tanyaku dengan nada yang tidak percaya. Chery mengangguk, lalu tersenyum. "Ya, Kak. Kamu yang memegang kendali perusahaan sekarang." Aku tersenyum, lalu mengangguk. Aku lalu menuju ke ruangan wakil direktur, yang terletak bersebelahan dengan ruangan direktur. Ruangan ini memiliki pemandangan yang indah dan mempesona, dengan meja kerja yang luas dan nyaman. Aku merasa bangga dan percaya diri saat duduk di kursi wakil direktur. Setelah memperkenalkan diri kepada bagian keuangan, aku memberi perintah bahwa semua transaksi keuangan perusahaan harus atas izin dariku. Aku ingin memastikan semua pengeluaran perusahaan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Bagian keuangan terlihat memahami dan menerima perintahku dengan baik. Chery juga sudah memberitahu seluruh karyawan tentang perubahan jabatan dan tanggung jawabku sebagai wakil direktur. Aku merasa lega karena tidak perlu lagi menjelaskan secara detail kepada setiap karyawan. Setelah tugas Chery selesai, dia pamit pulang. "Selamat bekerja, Kak Kanaya. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi aku," ucap Chery sebelum meninggalkan ruangan. "Terima kasih ya, Chery," ucapku. Sekarang hanya aku sendiri yang berada di ruangan wakil direktur. Aku merasa tenang dan fokus, siap untuk menghadapi tantangan dan tanggung jawab baru sebagai wakil direktur Kawandra group. Aku mulai memeriksa dokumen-dokumen perusahaan, mencari informasi tentang proyek-proyek yang sedang berjalan dan rencana strategis perusahaan. Aku juga ingin memastikan semua departemen perusahaan berjalan dengan lancar dan efektif. Aku memutuskan untuk melakukan pertemuan dengan kepala departemen untuk membahas rencana kerja dan strategi perusahaan. Saat sedang mempelajari dokumen perusahaan, tiba-tiba pintu terbuka dengan keras. Ekspresi wajah Mas Raja terlihat marah, dengan rahang mengeras dan tangan terkepal. Aku bisa merasakan aura kemarahan yang kuat dari dirinya. "Kanaya, apa yang kamu lakukan di perusahaan ini!" bentak Mas Raja dengan nada yang keras dan tidak sabar. Aku menatapnya dengan tenang, tidak terpengaruh oleh kemarahannya. Aku meletakkan dokumen yang sedang k****a di atas meja, lalu menatap Mas Raja dengan mata yang tajam. "Aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai wakil direktur perusahaan ini," jawabku dengan nada yang tenang. Mas Raja terlihat terkejut dan syok dengan jawabanku, dan dia melangkah maju dengan wajah yang semakin merah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD