Eps. 3 Menetapkan Tanggal Pernikahan

1011 Words
Bahkan Kana merasa kini otot di seluruh tubuhnya lemas. Hingga tubuhnya pun oleng. Beruntung, Sekar yang ada di sampingnya segera menangkap sebelum cucunya jatuh. Hasan yang melihat itu pun pura-pura tidak tahu, tutup mata dengan kejadian itu. Daripada memikirkan orang lain, lebih baik dia pikirkan putranya sendiri, yang juga merupakan penerusnya. Maaf, aku terpaksa pura-pura tak melihat. Hasan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Astaga! Gadis itu sampai hampir mau pingsan. Istri Hasan yang melihat itu menahan terkejutnya dengan menutupkan telapak tangan pada bibir. "Kana, kamu tidak apa, Nak?" Sekar cemas melihat kondisi Kana. "Aku tidak baik-baik saja, Nek." "Duduk dulu," tawar istrinya Hasan. Kana menggeleng. Ia beralih menatap Sekar. "Nenek, aku ingin pulang saja." Hasan yang melihat penolakan halus itu segera bertindak cepat. "Tunggu Bu Sekar!" Sekar terpaksa menghentikan langkah saat mau keluar dari kamar Hasan. "Ada apa?" "Sebaiknya kelanjutan dari surat wasiat itu kita bicarakan sekarang. Kita tentukan tanggal pernikahannya sekarang." "Apa?!" Kana membeliak mendengar itu. "Bulan depan tanggal 15 kita adakan pernikahan putri Julia dan Dylan." Baik itu Kana maupun Sekar saling tatap dalam syok. Niatnya kemari hanya untuk silaturahmi dan membatalkan perjodohan itu, tapi kenapa malah jadinya mempercepat perjodohan. "Itu ... jika bisa kami mau membatalkan perjodohan." "Maaf, tidak bisa, Bu Sekar. Aku sudah berjanji pada mendiang Faisal dan Julia untuk menikahkan anak kami. Jika janji itu batal, bagaimana kelak bertanggungjawabanku di akhirat?" Bibir Sekar seketika terkunci. Banyak kata yang ingin dia ucap. Tapi semua lesap begitu saja. Tak bisa dia pungkiri jika wasiat harus dilaksanakan tak bisa ditangguhkan. Sekeras apapun dia menolak tetap saja dia kalah dan hanya sia-sia, juga buang tenaga. Istri Hasan yang melihat itu mulai bersuara. "Sayang, apa sebaiknya kamu tidak tanyakan dulu pada Dylan? Dia mau atau tidak menikah bulan depan? Lalu waktunya apa tidak terlalu cepat?" Sungguh, Kana merasa lega seolah mendapat angin segar, ada yang bisa mengerti apa yang dia rasakan dan turut andil membantu. "Tidak perlu. Itu tidak perlu. Dylan pasti mau, apapun itu keputusanku." Istri Hasan pun akhirnya bungkam. Suaminya itu tak bisa ditekuk jika sudah punya kemauan. Tubuh Kana yang bergetar hebat. Ia mencengkeram erat lengan Sekar. Belum reda syoknya yang pertama, sudah dihujani syok kedua. Sekar yang melihat itu hanya mengeratkan tangannya memegang Kana. "Om, jika boleh pernikahannya diundur sampai aku siap bagaimana?" Kana mengumpulkan segenap keberanian untuk bicara. Bagaimnapun juga ini menyangkut hidupnya, menyangkut masa depannya. "Tidak bisa. Cepat atau lambat waktu dilaksanakan pernikahan sama saja, jadi lebih baik dipercepat." "Jika begitu dua bulan ke depan saja, Om." Hasan diam. Dalam hati sebenarnya dia merasa kasihan dan iba juga melihat Kana yang harus menikahi putranya dalam keadaan seperti ini. Lagi, dia harus tetap maju apapun aral rintangan yang akan muncul di depan nanti. Masalah hati nanti bisa ditata. Masalah kesehatan Dylan, nanti juga bisa ditata sambil jalan. Toh selama ini putranya itu juga masih menjalani terapi. "Maaf, tidak bisa. Tapi aku bisa berikan kelonggaran di sini. Pernikahannya bisa dilaksanakan akhir bulan depan," putus Hasan tanpa bisa ditawar. Kana tak bisa berkata lagi. Dia sudah tak ada kekuatan lagi untuk menyanggah. Kana dan pulang dengan syok setelah tanggal pernikahan di tentukan. Di mobil, Kana diam, tak bicara sama sekali. Hanya isak tangis lirih yang terdengar. Dunianya benar-benar runtuh mendadak dengan keputusan yang dibuat oleh Hasan. Dia merasa betapa malang dirinya. Mungkin wanita di luar sana tak ada yang mempunyai suami disabilitas. Jika keadaannya begini pada siapa dia menyalahkan? Apakah nasib mempermainkan hidupnya? "Kana, sudah jangan menangis Lagi." Sekar mengusap rambut panjang Kana, untuk menenangkan. "Bagaimana aku tidak sedih, Nek? Selain aku belum siap menikah, aku juga ingin memilih sendiri pasangan hidupku. Apa ayah dan ibu dulu dijodohkan? Tidak, bukan?" Sekar hanya diam saja. Faisal dan Julia memang menikah atas kemauan mereka sendiri tanpa adanya perjodohan. Dia sendiri merasa heran kenapa putri dan menantunya itu malah menjodohkan Kana? Jika saja mereka berdua masih hidup tentu dia bisa bicara dengannya dan mungkin saja perjodohan ini akan batal. Tapi mereka berdua sudah meninggal. Apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Kana? Tidak ada! "Ayah, ibu ... aku masih sedih kehilangan kalian berdua kenapa aku juga harus mengalami ini?" Buliran bening terus jatuh dari pelupuk mata Kana tanpa bisa dihentikan. "Kana, Nenek juga sedih dengan perjodohan ini." Mata Sekar ikut berembun melihat tangis cucunya yang pecah. Ia meraih Kana dalam pelukannya. Mobil tiba di rumah. Kana turun dari mobil, berlari masuk ke rumah. Ia masuk ke kamar dan mengunci diri di sana. Gadis berkulit putih pucat itu duduk meringkuk di lantai, di sudut kamar. Kepalanya terbenam di antara kedua lutut. Kedua tangannya memegang kepala yang terasa berdenyut nyeri. Dia hanya punya waktu satu setengah bulan saja untuk hidup sebagai dirinya sendiri. Dan setelah itu dia tidak tahu. Akankah dia masih bisa hidup sebagai dirinya sendiri? Mungkin saja dia akan hidup sebagai orang lain nanti. "Kana, buka pintunya. Nenek, mau masuk." Sekar berdiri di depan pintu kamar Kana. Dis sudah dorong pintu itu, namun pintu terkunci. Tak ada respons. "Kana, buka pintunya," ulang Sekar. Barulah Kana mau bicara. "Nek, maaf, untuk saat ini biarkan aku sendiri. Aku ingin menenangkan diriku." Kana menatap sedih ke arah pintu yang tertutup. "Baiklah. Kamu harus keluar makan siang dan makan malam nanti. Nenek tahu kamu bersedih, tapi kamu tidak boleh lama larut dalam kesedihan." Hening, tak ada jawaban. Sekar dengan mata berembun pergi dari sana, menuruti perkataan Kana. Sampai malam dan tiba waktunya untuk makan, Kana masih mengurung diri di kamar. Siang tadi dia juga melewatkan makan siang. Seharian penuh ia habiskan meringkuk di kamar. Matanya sampai bengkak sekarang tapi dia masih tetap menangis. Kala tangisnya terhenti gadis itu tertidur di lantai. "Kana ... kenapa kamu tak mau buka pintu?" Sekar kembali ke depan pintu kamar Kana. Sudah lima kali dia bolak-balik mengetuk pintu kamar yang tertutup itu, namun tetap tak dibuka. Sungguh, dia resah sekali dengan kondisi cucunya. Dia juga khawatir karena tak ada respons dari dalam. Takut Kana mengambil suatu tindakan nekat, maka dia pun memanggil pelayan untuk membuka pintu menggunakan kunci serep yang ada di rumah. Pelayan datang membawa kunci serep, membuka pintu. Saat pintu terbuka, terlihat Kana tergolek lemah di lantai. "Kana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD