Setelah berbicara kepada ibu mertua dan neneknya, Jingga memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dan membicarakan situasi tersebut kepada orang tuanya sekaligus meminta restu. Wanita itu tahu betul bahwa ia tak bisa menyembunyikan permasalahan serius seperti ini dari mereka. Namun, ia tak pergi sendirian, Langit bersikeras untuk menemaninya meskipun tengah disibukkan oleh pekerjaannya.
"Mas, bukannya pasien kamu itu banyak? Seharusnya aku pergi sendiri saja," ujar Jingga dengan nada ragu.
"Sayang, mana mungkin Mas membiarkan kamu pergi sendirian dalam kondisi seperti ini. Lagi pula, di sini Mas juga lah pemeran utamanya, jadi Mas harus ikut menjelaskan kepada kedua orang tua kamu," sahut Langit penuh pengertian.
"Terima kasih ya, Mas. Aku harap semua akan baik-baik saja," ungkap Jingga, meskipun di dalam hatinya ia tak bisa membayangkan reaksi orang tuanya nanti.
Ia merasa cemas dan takut, tetapi sekaligus bersyukur karena memiliki Langit yang bersedia mendukung dan menemaninya menghadapi segala resiko yang mungkin muncul.
***
Tak lama kemudian, mereka tiba di Surabaya dan langsung menuju ke rumah orang tua Jingga, tempat di mana dia menghabiskan waktu bersama keluarganya. Kedatangan mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Jingga yang kebetulan berada di rumah karena hari libur, sehingga ayah Jingga yang menjabat sebagai lurah, tidak pergi bekerja.
"Langit, Jingga, kami sangat senang kalian datang ke sini. Tapi, sebenarnya ada apa?" tanya Ningrum.
"Iya, apa ada sesuatu hal yang mendesak dan mendorong kalian harus ke sini? Seandainya kalian mengabari, Ayah bisa menjemput kalian di bandara," timpal Handoko, ayah Jingga.
"Iya Yah, Bu, maaf ya. Sebenarnya, kedatangan kami yang mendadak ini memang karena ada hal penting yang ingin disampaikan," kata Langit sambil menatap Jingga dan istrinya itu mengangguk memberikan semangat untuk menceritakan maksud kedatangan mereka.
"Ada apa?" tanya Handoko. "Oh iya, apa kamu tidak ada pasien di rumah sakit?" tambahnya lagi, menunjukkan kekhawatiran pada situasi ini.
"Pasien selalu ada, Yah, tapi ada rekan yang menggantikan. Karena menemani Jingga ke sini juga hal yang penting," jawab Langit dengan tegas, ingin segera menjelaskan maksud keduanya datang ke sini.
Jingga menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia tidak tahu bagaimana orang tuanya akan bereaksi nanti, apakah akan mendukungnya meskipun ini terdengar konyol?
"Jadi, apa yang ingin kalian sampaikan?" tanya Handoko dengan nada penasaran.
Langit menghela napas sejenak, sebelum mengumpulkan keberanian untuk berkata, "Bu, jadi aku akan menikah lagi."
Jingga merasa sangat gugup, tubuhnya seakan panas dingin. Khawatir menghadapi reaksi orang tuanya. Dia merasa jantungnya berdebar kencang, seolah tidak sabar mendengar jawaban dari kedua orang tuanya.
Akan tetapi, ayah dan ibunya itu tampak terdiam, hingga akhirnya mereka berdua pun tiba-tiba sama-sama tertawa. Tawa mereka membuat Jingga dan Langit merasa bingung.
"Langit, kamu ini apa-apaan sih? Mau mengerjai ayah dan ibu, ya? Kok pakai bilang mau nikah lagi? Sebenarnya ini ada apa? Kalian berdua mau memberi kejutan, 'kan?" Handoko menatap lucu pada anak dan menantunya.
"Ayah, Ibu, ini bukan bercanda. Mas Langit memang mau menikah lagi," kata Jingga dengan serius, penuh harap agar kedua orang tuanya bisa memahami maksudnya.
Mendengar penjelasan Jingga, wajah kedua orang tuanya berubah drastis. Handoko dan Ningrum merasa sangat terkejut. Tiba-tiba saja Ningrum merasakan dadanya begitu sesak sehingga tubuhnya terhuyung.
"Bu, Ibu kenapa? Bu!" teriak Jingga, panik melihat keadaan ibunya yang mendadak memburuk.
***
Ningrum langsung dibawa ke puskesmas terdekat dan ditangani oleh dokter, kondisinya kini jauh lebih baik. Ternyata wanita itu memang memiliki riwayat penyakit jantung, sehingga membuat Jingga sangat waspada saat ingin menyampaikan kabar yang mungkin memicu penyakit ibunya tersebut. Namun, Jingga sadar bahwa ia tak bisa menyembunyikan hal ini selamanya. Lebih baik kedua orang tuanya mengetahui situasi pahit ini sejak awal, daripada mereka menemukannya sendiri nantinya.
Mengetahui bahwa ibunya telah siuman, Jingga dan Langit yang sebelumnya berada di luar ruangan, segera masuk ke ruang pemeriksaan untuk menghampiri Ningrum yang di saat itu ditemani oleh Handoko. Namun, Ningrum malah menoleh ke arah lain, enggan menatap anak dan menantunya. Wajahnya terlihat sangat marah dan kesal.
"Aku mohon, Bu." Jingga berkata pelan. "Jangan bersikap seperti ini. Kami melakukan hal ini karena ada alasan yang sangat kuat. Aku juga sudah menjelaskan alasannya pada ayah."
Mendengar ucapan anaknya, Handoko ikut turun tangan. "Bu, sudah ya. Jangan bersikap seperti ini. Tadi Ayah juga sudah jelaskan 'kan, pada Ibu?" pintanya. Dia tak bermaksud untuk membela anaknya, namun merasa perlu mengingatkan sang istri agar dapat lebih tenang dan menerima keadaan ini dengan kepala dingin.
Orang tua mana yang rela melihat anaknya dimadu?Tapi di sisi lain, Handoko tahu alasan di balik semua ini adalah demi kebahagiaan bersama. Dia juga tahu, Jingga mencoba menjadi ikhlas meskipun hatinya terluka.
"Bu, tolong jangan marah sama Jingga. Ini semua salahku yang tidak bisa meyakinkan mama untuk lebih bersabar lagi, tapi malah memaksa dan memilih jalan ini," ucap Langit, yang merasa sangat bersalah.
Ningrum menghela napas, lalu berbicara, "Tolong tinggalkan Ibu dan Jingga berdua saja."
Handoko pun memberi kode kepada Langit untuk menuruti permintaan istrinya, sehingga kedua pria itu segera saja keluar dari ruangan tersebut.
Setelah itu, Ningrum menatap Jingga dengan kecewa, "Ibu benar-benar kecewa sama kamu, Jingga. Kamu mengambil keputusan sebesar ini tapi tidak mengatakannya dulu pada Ibu. Kamu selalu bilang hubunganmu dan Langit baik-baik saja selama ini, tapi kenapa harus ada kejadian seperti ini?" Air matanya jatuh bercucuran, tak bisa menahan rasa sedih yang mendalam.
"Maafkan aku, Bu," bisik Jingga perlahan sambil menahan air mata yang mulai jatuh.
Jingga merasakan hatinya teriris dengan luka yang dalam. Tangis yang tak bisa tertahan membanjiri pipinya. Perlahan, ia menggenggam erat tangan sang ibu, mencoba mengungkapkan isi hatinya dan kesedihan yang meronta dalam d**a.
"Maafkan aku, Bu. Tapi, Ibu juga tahu kalau aku memiliki penyakit rahim. Sementara mamanya Mas Langit sangat ingin kami segera memiliki anak. Kami berdua sudah berusaha keras selama satu tahun ini, bahkan sempat terpikir untuk menjalani program bayi tabung, tapi-"
Suara Jingga serak, terhenti oleh isakan tangis yang tak mampu dikendalikan. Air mata juga mulai membanjiri pipi Ningrum, ibunya. Ningrum tahu betul bahwa kesedihan yang sedang melanda hatinya saat ini pastilah jauh lebih dalam di hati anaknya.
"Jingga, apa kamu begitu mencintai Langit sampai rela dimadu? Apakah kamu tidak memikirkan resikonya? Meskipun calon istri kedua suami kamu adalah sahabat kamu sendiri, semua tidak akan berjalan mulus seperti yang kamu angankan."
Ningrum mencoba memberikan peringatan, seraya hatinya mencoba menenangkan diri dan anaknya yang kini tengah terpuruk dalam dukacita.
"Aku sadar, ini adalah keputusan yang sulit untuk diambil, bahkan bagi Ibu ataupun ayah. Tapi, aku benar-benar yakin kalau keputusan ini adalah yang terbaik, untuk keutuhan rumah tanggaku bersama Mas Langit juga. Ibu tolong mengerti, aku melakukan ini untuk masa depan kami," ujar Jingga, mencoba meyakinkan ibunya.
Di sudut hati Ningrum, ia merasa sangat kecewa dan tak mengerti dengan cara pandang anaknya. Namun, apa yang bisa ia lakukan saat ini? Setelah berat hati, akhirnya ia pun memberi restu kepada Jingga, walaupun perasaan tidak ikhlas masih menghantui hatinya.
***
Kini, Helena dan Langit pun telah sah menjadi pasangan suami istri, meski tanpa cinta di antara mereka. Helena yang saat ini berada di kamat setelah berganti pakaian, duduk di tepi ranjang berukuran king size, menunggu kedatangan Langit, suaminya yang tadi pergi dengan alasan ada urusan sebentar. Namun nyatanya, sudah hampir 15 menit pria itu belum juga kembali, sehingga pikiran negatif mulai muncul dalam benak Helena.
"Kenapa sih, Mas, kamu harus bohong sama aku? Aku nggak keberatan kok kalau kamu nggak bisa bersamaku malam ini karena Jingga, toh pernikahan kita terjadi juga gara-gara dia. Tapi bagaimanapun juga, aku sudah jadi istri sah kamu, seharusnya kamu bisa menghargai perasaanku dan jangan hilang begitu saja," gumam Helena dengan perasaan sedih.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ternyata Langit yang telah kembali. Wajah Helena langsung berseri, tersenyum bahagia melihat suaminya itu kembali.
"Mas, aku pikir kamu nggak akan kembali lagi ke kamar ini. Apa kamu habis menemui Jingga?" tanya Helena.
"Maaf, sudah membuat kamu menunggu lama. Tapi, tadi aku hanya berbicara dengan ayah mertuaku," ucap Langit seraya melangkahkan kakinya mendekati Helena, lalu duduk di sampingnya.
Helena lega mendengar penjelasan suaminya, melupakan sejenak kekhawatirannya tentang Jingga dan rasa curiga yang sempat muncul tadi.
"Oh, iya Mas, apa kedua orang tua Jingga benar-benar menerima kalau anak mereka dimadu?" tanya Helena dengan khawatir.
Langit menghela napas lalu menjawab, "Kamu juga pasti tahu jawabannya. Tidak ada orang tua yang rela anaknya dimadu, tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi, apalagi ini karena kehendak Jingga sendiri.
Ucapan Langit membuat Helena menganggukkan kepalanya. "Kamu benar, Mas. Semua ini terjadi karena Jingga. Kalau bukan karena dia, mana mungkin aku mau berbagi suami dengan sahabatku sendiri," batinnya.
"Ya sudah, lebih baik sekarang kita tidur. Ini sudah malam," ucap Langit lalu berbaring, rasanya begitu canggung karena malam ini ia tidur di samping wanita lain, walaupun juga istrinya sendiri. Pikirannya saat ini justru dipenuhi oleh Jingga, istri pertama yang sangat dicintainya.
"Mas, kita 'kan sudah menikah dan ini malam pertama kita. Apa kamu sama sekali nggak mau menyentuhku?" tanya Helena tanpa rasa malu.
Langit cukup terkejut mendengarnya, namun ia tahu harus menjawabnya, "Maaf, aku belum bisa melakukannya."
Bersambung …