Ningrum menatap putrinya dengan penuh pengertian. "Sejak awal, Ibu memang tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi, kamu meyakinkan Ibu kalau semuanya akan baik-baik saja. Ibu tahu kamu adalah orang yang kuat dan kamu pasti bisa menghadapinya."
Jingga menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi kata-kata ibunya. Lalu, ia memeluk Ningrum lebih erat sambil berbisik, "Terima kasih, Bu." Kini perasaannya pun menjadi sedikit lebih tenang.
"Sama-sama, Sayang. Kamu mau Ibu temani tidur malam ini?" tanya Ningrum, khawatir akan kondisi putrinya.
Tetapi, Jingga segera menolak, "Nggak usah, Bu. Lebih Baik Ibu kembali ke kamar saja, kasihan Ayah. Pasti Ayah lagi menunggu Ini."
"Kamu tahu, Ayah tidak akan mempermasalahkannya. Ayah mengerti bagaimana kondisimu, Nak. Tapi, ya sudah, Ibu juga mengerti kamu pasti membutuhkan waktu sendiri. Yang terpenting kalau ada apa-apa, kamu jangan sampai tidak mengatakannya kepada Ibu ataupun Ayah, Ya. Oh iya, ibu mertua kamu itu benar-benar sangat keterlaluan!" ucap Ningrum, merasa sangat kesal mengingat akan hal tadi.
Jingga menatap lelah. "Bu, aku baik-baik saja. Dan aku mohon, apapun yang dikatakan Mama Lena, Ibu jangan masukkan ke dalam hati apalagi mempermasalahkannya, ya. Aku mengerti kenapa mama bersikap seperti itu dan itu adalah hal yang wajar, Bu," ujarnya.
Merasa jengkel dan kecewa, Ningrum memandang putrinya dengan raut wajah sedikit marah. "Apa? Wajar? Itu sama sekali bukan hal yang wajar, Jingga! Sejak kapan ibu mertuamu bersikap seperti itu? Dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan kamu, termasuk ayah dan Ibu. Bahkan, Langit juga tidak bisa membela kamu di depan ibunya. Melempem seperti itu," ujarnya, merasa sangat kecewa. "Untung saja ada Oma Saras yang mendukung kamu. Karena kalau tidak, Ibu tidak tahu bagaimana nasib kamu nanti. Lebih baik kamu ikut Ibu pulang ke Surabaya."
Jingga tersentak, lalu menatap Ningrum dengan tatapan lembut, penuh kepasrahan. "Bu, aku mohon Ibu mengerti. Aku sudah mengambil keputusan ini demi kebaikanku juga. Ibu nggak mau 'kan, rumah tanggaku dan Mas Langit bermasalah? Saat ini, aku hanya masih belum terbiasa. Tapi aku yakin, aku akan bisa lebih ikhlas menerima semuanya." Dia berusaha tersenyum tipis, mencoba menenangkan hati dan pikirannya. "Aku pasti rela berbagi suami dengan sahabatku sendiri, karena ini adalah keputusan yang sudah aku ambil," lanjutnya.
Ningrum melihat kegigihan anaknya, begitu ingin membuat dirinya merasa lebih baik. Ia merasa ingin sekali membantah apa yang dikatakan Jingga, tetapi apa daya, ia juga sudah merestui keputusan tersebut. Hatinya terasa pilu dan ia merasa kasihan pada Jingga, namun tak ingin banyak ikut campur. Mungkin, inilah jalan terbaik bagi mereka. Ia pun memilih untuk diam dan mendukung keputusan anaknya, penuh cinta dan pengertian.
"Untuk sekarang ini, Ibu akan diam demi kamu, Sayang. Tapi, jika Ibu mertua kamu semakin keterlaluan, Ibu pasti akan bertindak dengan atau tanpa persetujuan kamu," ucap Ningrum dalam hati. "Ya sudah, Ibu ke kamar dulu ya."
Jingga menganggukkan kepalanya, lalu ibunya itu pun segera keluar dari kamar tersebut. Namun perasaan gelisah kembali menguasai hatinya, tiba terbayang akan Langit dan Helena yang saat ini sedang berada di kamar pengantin mereka dan menjalani rutinitas sebagai pasangan pengantin baru. Jingga kembali menangis, rasanya tak sanggup untuk berbagi suami. Namun, ia kembali merenung dan memang benar jika pernikahan ini terjadi karena dirinya dan lagi-lagi ia hanya bisa pasrah dan ikhlas.
***
"Kamu harus menikah lagi, Mas!"
"Apa-apaan ini? Apa maksudmu? Aku tidak setuju."
Mendengar ucapan seperti itu, apalagi keluar dari mulut istri yang sangat dicintainya, tentu saja membuat Langit, pria muda berusia 30 tahun itu merasa sangat syok. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya untuk menikah dua kali.
Namun bukan tanpa alasan, selama dua tahun menjadi istri Langit, Jingga memiliki satu alasan tertentu sehingga meminta hal tersebut, sesuatu yang sebenarnya sangat menyakitkan hatinya.
"Mas, aku serius. Kamu juga mengenal sahabatku, Helena, dengan baik' kan? Aku sudah berbicara dengannya dan dia setuju untuk menikah denganmu," ucap Jingga dengan tatapan serius yang tak bisa terbaca.
Langit merasa sangat terkejut. "Apa? Kamu ini sudah gila, ya? Bahkan kamu meminta aku untuk menikah dengan Helena? Dia itu sahabat kamu dan dia juga sudah memiliki calon suami!" Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya itu.
"Helena gagal menikah, Mas. Calon suaminya berkhianat dan berselingkuh, sedangkan neneknya sakit-sakitan dan sangat menginginkannya untuk segera menikah. Aku yakin, ini adalah jalan yang sudah ditentukan untuk hidup kita, supaya masalah kita sama-sama terselesaikan," ujar Jingga dengan suara yang mulai serak karena ingin menahan tangis.
Hati yang sebenarnya rapuh dan ingin menangis sekencang-kencangnya, terasa tersayat. Namun, dia berusaha menahan sebisa mungkin dan memaksakan diri untuk tegar di depan suaminya. Sambil berdoa dalam hati, semoga saja semuanya akan menjadi lebih baik dan bahagia nantinya.
"Itu bukan urusan kita! Tolong, Jingga, jangan meminta hal yang tidak masuk akal," ucap Langit dengan getir. "Aku tahu orang tuaku sangat menginginkan kita memiliki anak, tapi kita pasti memiliki cara lain." Langit berusaha meyakinkan istrinya.
"Cara lain apa, Mas? Bahkan usul kita untuk melakukan program bayi tabung aja, tidak diterima sama mama kamu. Aku benar-benar nggak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang dan kamu tahu kondisi aku." Jingga akhirnya pun tak tahan lagi untuk membendung air matanya, hingga jatuh bercucuran.
Langit merasa sakit melihat keadaan Jingga, lantas dia memeluk istrinya itu dengan erat. "Maafkan aku, Jingga. Tapi aku sangat mencintaimu dan tidak ingin mengkhianati pernikahan kita dengan membagi cinta untuk wanita lain," ucapnya dengan tulus.
Namun, Jingga merasa tidak ada pilihan lain. "Aku tahu itu, Mas. Tapi ini adalah permintaanku sendiri dan aku yakin, Helena adalah wanita yang baik. Kalau bukan dengannya, mungkin aku nggak akan ikhlas," ucapnya dengan suara lirih, namun penuh keyakinan.
Langit terdiam, merenung dalam-dalam tentang keputusan yang sulit dan harus diambilnya. Sebagai seorang pria, hatinya pun terbelah. Di satu sisi, ia begitu mencintai Jingga, wanita cantik nan lemah lembut yang selalu ia impikan. Namun, di sisi lain, ia juga merasa kasihan pada istrinya tersebut, yang selalu menjadi bulan-bulanan hinaan ibu kandungnya sendiri, hanya karena belum bisa memberikan keturunan untuknya.
Dulu, awal pernikahan mereka, ibunya bisa menerima Jingga apa adanya, meskipun bukan dari keluarga kaya. Namun, seiring berjalannya waktu dan belum adanya tanda-tanda kehamilan, sikap ibunya mulai berubah. Pasalnya, Magdalena - ibunya yang merupakan keturunan keluarga bangsawan, terus menuntut agar keduanya segera memiliki keturunan demi menjaga nama baik keluarga.
Dua tahun telah berlalu sejak Langit, dokter muda tampan yang diidamkan banyak wanita, mengikat janji suci bersama Jingga. Kisah cinta mereka dimulai saat Langit bertugas di luar kota dan bertemu dengan Jingga, seorang perawat cantik yang telah membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama. Tak diduga, rasa saling kagum kala itu berujung pada janji menikah dan berusaha membangun hidup bahagia bersama.
Kini, permasalahan terbesar yang dihadapi oleh Jingga adalah ketidakmampuannya untuk hamil. Meskipun Jingga dan suaminya telah berusaha keras selama setahun belakangan, namun belum membuahkan hasil. Hal ini membuat Magdalena merasa muak dan iri dengan teman-temannya yang telah memiliki cucu. Ia bahkan sampai meminta pasangan tersebut untuk melakukan apapun, bahkan sampai mengambil langkah drastis seperti menikah dengan wanita lain atau berpisah jika Jingga tidak setuju dimadu.
Langit selalu berusaha menjaga perasaan Jingga, tapi bagaimana dengan keinginan ibunya sendiri? Apakah dia harus mengorbankan rasa cinta ini demi membahagiakan keluarga? Dia merasa terjepit antara cinta dan tuntutan keluarga, dengan perasaan sedih dan bimbang mencari jalan terbaik untuk mereka semua.
Tentu saja, ini merupakan hal yang terberat bagi Jingga. Rasanya tidak kuat untuk menahan beban ini sendiri. Dia ingin sekali berbicara kepada kedua orang tuanya, namun tidak ingin jika masalah rumah tangganya diketahui oleh mereka dan membuat orang tuanya itu merasa sedih. Pada akhirnya, Jingga memilih untuk bercerita kepada sahabatnya, Helena, yang ternyata juga memiliki masalah yang tidak kalah pelik. Dari sini, tercetuslah ide yang mungkin dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi mereka.
Bersambung …