Ayah menikah lagi
Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini, Pelakor dan Penghianat Kelak suatu hari akan ku ceritakan dalam novel ini.
Mengapa aku membenci keduanya. Namun, sebelum itu, izinkan aku bercerita dan ku tuliskan dalam sebuah buku diary atau pun sebuah novel. Tentang seorang
Perempuan. Perempuan tegar, kuat dan mandiri. Perempuan paling hebat di dunia. Perempuan paling istimewa yang di anugerahi surga di bawah telapak
kakinya. Perempuan yang sepakat kita panggil ibu, Mamah, Mami, bunda di dunia ini...!
Jauh Jauh hari sebelum bencana itu tiba, Ibu tepatnya atau biasa aku memanggil dengan sebutan bunda.
Bundaku adalah perempuan paling ceria di kampung ini.
Semua mengenalinya sebagai perempuan paling ramah murah senyum dan pekerja keras serta saling membantu satu sama lain. Jika kau jalan-jalan ke kota kecilku terus kampungku, cobalah tanyakan nama bunda ku pada penduduk setempat. Pasti jawaban mereka, “Oh, Bu Lusiana yang berjualan ikan bakar di dermaga Jangari yang ramah, yang paling murah senyum?” begitu pernyataan dan jawaban orang orang tentang ibuku atau pun bundaku.
Yaa...! Bundaku seorang penjual ikan. Lebih jelasnya Ikan bakar di dermaga Jangari tempat pariwisata atau pun para pecinta Mancing di dermaga Jangari yang sangat luas sampai membelah tiga kabupaten Cianjur Purwakarta dan Bandung Barat tetapi orang di kampungku menyebutnya
Waduk Jangari.
Kampung kami terletak di pinggir kota Cianjur yang tidak jauh dari Gerbang pintu masuk dermaga Jangari dengan rumah rumah semi permanen berjejer rapi.
Hampir seluruh penduduk kampungku
menggantungkan hidupnya di dermaga Jangari, ada pengemudi bargas, ada juga yang mempunyai kolam ikan di tengah tengah danau dan ada pula yang bergantung pada lapak rakit untuk tempat tempat pecinta Mancing.
Jika kau berkunjung ke kampungku, aku berjanji akan mengajakmu memancing ikan Nila atau sesama pemancing menyebut nya dengan Lauk Badot atau Babon. Setelah itu, Bunda akan me masakan nya untukmu
Pagi-pagi buta aku selalu menemani Ibu ke
pelelangan, tempat para nelayan membongkar muatan selepas menjaring di waduk tersebut. Bunda biasa nya membeli ikan dari para penjaring dengan harga murah.
Setelah tiba di rumah, bunda
langsung pergi ke pasar yang lumayan jauh perjalanan memakai angkot kurang lebih satu jam lama nya, Untuk membeli kebutuhan yang lainya seperti kopi dan roko serta bumbu bumbu buat ikan bakar. Sedangkan aku menumbuk bumbu bumbu yang sudah ada menanti kepulangan ibu dari pasar.
Hampir tiap hari aku bersama bundaku selalu melakukan bersama sama, apalagi kalau musim liburan sekolah atau pun mendekati bulan puasa dermaga Jangari akan ramai orang orang berkunjung untuk sekedar menikmati waktu libur( papajar ) kata orang Sunda mah.
Bunda tetap cantik meski setiap hari kulitnya terbakar matahari. Bunda tetap cantik meski telah memiliki dua putri dan satu putra sebenarnya bunda mempunyai empat orang anak namun anak yang paling besar sudah meninggal.
Yang paling aku sukai dari bunda adalah matanya. Mata bunda seolah penuh sihir, jernih, teduh dan menenangkan. Sempurna. dari kami berempat, kata orang-orang hanya akulah yang
mewarisi mata indah bunda, dan aku sangat bangga.
Aku anak kedua, yang selalu mengikuti bunda kemana pun ia pergi. bunda yang ceria, punya banyak sekali cerita, paling jago membuatku berhenti menangis dan paling juara rasa masakannya.
Jika aku bertengkar dengan adik adik ku bunda selalu menjadi penengah yang baik. Tak ada yang dibela, bunda selalu berlaku adil kepada kami semua.
“Bunda, jika aku dewasa nanti, aku ingin seperti Bunda.!
“Memangnya Mentari melihat bunda seperti apa?” Ia
bertanya tanpa menoleh, sibuk membolak-balik ikan yang sedang di bakar dalam tungku dagangan nya.
“Bunda baik, dan rajin bekerja.” Tutur mentari seraya menyiapkan piring piring serta nasi untuk di hidangkan kepada pembeli yang sedang menikmati keindahan danau Jangari.
“Bunda rajin itu karena hidup kita pas pasan, Nak.” Balas bunda.
“Tapi aku tetap ingin seperti bunda, titik!” tidak pake koma'' kekeh Mentari
“Baiklah, ingat pesan Bunda, sesulit apa pun
keadaan, hidup tetap harus berlanjut. Kau harus tetap bersinar seperti mentari namamu.” Kata bunda seraya tersenyum menatapku.
“Aku akan tetap bersinar dan bunda menjadi penerang nya.” Kami tertawa bersama dan segera menghidangkan ikan bakar yang sudah matang sambil menunggu senja yang sebentar lagi akan tiba.
***
Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini, Pelakor dan Penghianat Kelak suatu hari akan kuceritakan mengapa aku membenci keduanya.
Beberapa malam terakhir, aku sering
mendengar Bunda menarik ingusnya seperti ada isak tertahan, mungkin karena takut aku terbangun. Aku tahu bunda sedang menangis, bahunya sesekali berguncang. Bunda selalu membelakangi ku, mungkin saja bunda
membekap mulutnya dengan bantal agar tak mengeluarkan suara.
Setelah memastikan aku tertidur, bunda akan
berbalik membelakangi ku. Aku memutuskan tidak tidur lagi dan menemani nya menangis, meski bunda
tidak tahu bahwa aku selalu menjadi saksi bisu air
mata nya.
Ingin sekali ku usap punggungnya dan
berkata, “Tenanglah, berhentilah menangis, apa pun yang terjadi semua akan baik-baik saja, Bunda.
Bunda berubah, benar-benar berubah Bunda semakin pendiam dan lebih banyak menyendiri. Ia
jarang sekali memelukku. Ia lebih banyak
menghabiskan waktu dengan merenung, tak lagi
seceria dulu. Bunda tidak pernah lagi menceritakan dongeng sebelum tidur kepada kami. Masakannya tak
lagi seenak dulu, pun tak pandai lagi meredakan tangis ku. Pernah aku berpura-pura merengek, tapi Bunda bergeming. Tatapannya kosong menatap ke arah pintu. Pernah juga aku bertengkar dengan Adik ku karena berebut gelas minum dan gelasnya pecah. Kami diam mematung, mengira bunda akan memarahi
kami. Namun, ternyata bunda hanya menunduk mengumpulkan pecahan beling tanpa satu kata pun keluar dari mulut bunda.
Bunda tak pernah lagi mengajakku pergi berjualan
bersamanya. Menjelang tutup dagangan bunda tidak langsung pulang kerumah tapi pergi entah ke
mana dan melarangku mengikutinya. Para tetangga
pun merasa heran dengan sikap bunda dengan seketika itu berubah. Bunda tidak sakit, ia tetap bekerja seperti biasa,
hanya sikapnyalah yang berubah. Bunda memang pandai menyembunyikan kesedihannya, tapi aku bisa
merasakan itu. Aku bisa melihat itu di mata Bunda
matanya menyimpan sebuah rahasia yang tak boleh kami ketahui.
Dari kabar yang tak sengaja kudengar Ayah telah menikah lagi di kota. Tentu saja tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan Bunda Ayah memilih wanita yang mungkin lebih menarik dari Bunda yang telah melahirkan empat putri dari rahimnya.
Ah........! Bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal sebesar ini dari kami?
Ayah telah bahagia dengan keluarga barunya. Sampai lupa arah pulang. Ayah terlalu bahagia sampai lupa bahwa Bunda setiap hari menatap ke arah pintu,
dengan penuh harapan dia akan datang.
bersambung.