Bab 3. Pengkhianatan Narendra

2418 Words
Hening mengisi detak mereka. Samantha masih menunggu dengan harap-harap cemas. Rose pun melihat kekasihnya itu menunggu di sana. Dia tersenyum, mengangguk untuk mengusir rasa takut Samantha. “Aku benar, kan, Pa?” ulang Rose dengan nada tegas. Ayahanda Rose masih bungkam. Putrinya menatap dengan harap. Samantha takut jawaban beliau justru mengecewakan. Dia pergi saja meninggalkan pijakannya. Pria separuh baya bernama Edward itu mengangguk sesaat, lalu beliau tersenyum. “Ya sudah, coba nanti papa telepon Pak Narendra dulu untuk bicarakan semuanya. Sabar, ya!” Rose tersenyum lega. “Makasih banyak, Pa.” Setelah memeluk sang ayah, dia berlari keluar untuk menemui Samantha. Pria itu tadi pergi sebelum mendengar jawaban calon mertuanya ini. Dia berdiri di taman depan. Punggung kokohnya itu bisa dilihat oleh Rosea. “Sam!” teriaknya. Sam berbalik. Gadis itu berlari, loncat ke pelukannya. Karena terpeleset rumput yang basah, pria itu limbung dan jatuh ke rerumputan. Membiarkan punggungnya membentur daratan hijau itu, memberi bidang dadanya sebagai kasur pendaratan sang kekasih. “Kamu ini, loyo banget. Masa gitu aja jatuh,” gerutu Rosea. “Kamu gendutan. Berat!” ejek Samantha. Mereka duduk santai dengan tawa terukir. Samantha sedikit lega karena sepertinya, kekasihnya itu membawa kabar baik. Bisa dilihat dari garis wajahnya. “Papa bilang mau coba bicarakan sama papa kamu. Itu artinya papaku setuju kalau aku itu nikahnya sama kamu, bukan sama Alex,” ungkap Rosea. Satu masalah terselesaikan. Samantha menggenggam erat tangan Rosea, menciumnya sesekali. Binar cantik kekasihnya itu menguatkan hatinya untuk maju menentang keputusan pernikahan yang diajukan Keluarga Atmadja pada ayahanda Rosea. "Kasian Alex, sih, tapi semoga dia ngerti," ujar Samantha, lirih. "Aku nggak mau kalian ribut cuma karena aku." "Nggak, lah. Itu pasti dia ngambek dulu. Bentar aja, pasti baikan. Dia selalu ngalah sama aku, kok." Dua insan itu sudah memutuskan untuk melangkah maju. Akan tetapi, takdir berkata lain. Beberapa hari setelahnya, Rosea kembali berang saat sang ayah menentang hubungannya dan Samantha. Para orangtua ini bersikukuh untuk melanjutkan pernikahan seperti di awal. "Kenapa, Pa? Apa Papa udah bilang ke Om Narendra kalau aku dan Sam itu saling cinta?" geram Rosea. Ayahnya menghela napas lelah, duduk tegak untuk menenangkan putrinya yang saat ini pasti sedang emosional. "Papa udah bilang sama Pak Narendra dan beliau nggak setuju, Rose." "Alasannya apa, Pa?" Rosea duduk di sebelah papanya, menuntut penjelasan akan penolakan hubungan mereka. "Pak Narendra sendiri yang bilang kalau Alexander lebih baik dari Samantha. Alex itu jarang main sama perempuan, cuma belajar dan kerja. Dia bisa jadi suami yang baik. Kalau Samantha itu playboy, suka mainin perempuan. Mungkin kamu juga dimainin sama dia nanti," tukas beliau. "Pa! Nggak gitu! Itu Om Narendra-" "Kamu tau apa, sih, Rose? Itu papanya sendiri yang bilang. Sam belum ada niat serius sama kamu. Kalau kamu nikah sama dia, belum tentu dia bertanggung jawab. Lagian kenapa, sih? Ada Alex yang jauh lebih baik, lebih mapan, kamu maunya sama adiknya yang belum jadi apa-apa gitu?" Harapannya musnah. Rose nekat pergi ke Jakarta, menaiki kereta agar lebih cepat sampai untuk menemui kekasihnya. Tiba di rumah Keluarga Atmadja, Rose terkejut saat yang menyambutnya adalah Alexander. Pria itu juga tak menyangka calon istrinya itu mendatanginya. "Kamu? Harusnya kalau mau datang, telepon aja. Biar aku yang jemput ke sana," ujar Alex, bernada sopan. Sudah bertemu Alexander begini, apakah ada kesempatan bicara dengan Samantha? Rose dibawa masuk dan mereka bicara di ruang tengah. Sesekali Rose mengedarkan pandangan untuk memeriksa keberadaan Samantha. "Kamu ada waktu weekend ini, nggak? Itu, papa sama aku mau ngajak kamu nyobain baju kebaya buat akad." Rose hanya tersenyum. Istri Pak Narendra ini telah tiada saat mereka masih kecil, jadi tak ada wanita di rumah ini yang mengurus masalah pernikahan. Rose menatap pada dinding. Ada foto Samantha dan Alex di sana. Alex berusia tiga tahun lebih tua dari Samantha. Akan tetapi, karirnya sangat gemilang. Di usianya yang cukup matang ini, dia telah menyelesaikan gelar masternya dan memimpin perusahaan bersama sang ayah selama tiga tahun terakhir. Hal itu yang membuat ayahnya begitu tergiur untuk menjadikan Alexander sebagai menantu dibandingkan dengan Samantha. "Sunyi banget, Mas. Orang rumah ke mana?" tanya Rose, bernada sopan. "Oh. Ada, kok. Papa lagi tidur, kurang sehat. Kalau Sam, tadi aku liat dia ada di kolam ikan di belakang. Rebahan sebentar dekat taman." "Ooh. Aku boleh lihat-lihat kolamnya, nggak?" "Boleh." Alexander yang kasmaran. Tak bisa dia mencium bahwa Rose begitu terpaksa berada di dekatnya. Rose hanya ingin menemui Samantha di sana. Ya, pria itu sedang duduk selonjor di atas tikar di dekat kolam ikan. Dia meletakkan gitar di tangannya ketika Alex datang bersama Rose. "Sam!" seru Alexander. Samantha melihat raut sedih Rose. Alexander mengajaknya duduk di atas bentang tikar untuk mengurangi kesan canggung. Samantha yang ceria pasti akan dengan mudah berinteraksi dengan sang calon kakak ipar ini. "Lex, ini duduk di sini, nggak Lo sediain apa, gitu? Cemilan? Minuman? Kan enak," ujar Samantha. "Sebentar!" Samantha sengaja meminta Alex pergi agar dia bisa bicara berdua saja dengan Rose. Setelah itu, Rose menunduk. Pipinya disentuh Samantha hingga tangis gadis itu luruh. "Nggak bisa, Sam. Papa kamu udah tau hubungan kita, tapi tetap minta aku nikah sama Alex. Papaku juga maunya aku nikah sama Alex." Samantha hanya bungkam. Jika kedua orangtua telah memutuskan, bisakah dia menentang? Rose sangat takut, segera dia genggam tangan hangat Samantha. "Kita lari dari sini, Sam. Aku nggak mau nikah sama Alex," lirih Rose. "Kamu tenang dulu. Aku coba bujuk papa, ya. Nanti kalau papa udah setuju, aku bicara serius sama Alex. Udah, jangan nangis," katanya, sambil menghapus air mata Rose. Tersisa Samantha yang berjuang untuk hubungan mereka. Dia mendatangi sang ayah keesokan harinya, memohon restu untuk hubungan mereka. Dia tahu ayahnya begitu keras, tapi pasti ada celah melunakkannya jika meminta dengan sungguh-sungguh. Han memperhatikan kejadian itu, berusaha mencuri pandang pembicaraan mereka. "Pa, please. Aku serius sama Rose. Aku janji bisa bahagiain dia," kata Samantha, menundukkan kepala untuk menuntut belas kasih sang ayah. "Sam! Papa kenal kamu, loh. Paling juga sebentar lagi kamu bosen. Itu mending Alex aja yang nikah sama Rose. Dia juga udah sayang dan serius sama Rose. Kamu jangan cari masalah, ya! Ini paling cuma kamu lagi bosen aja. Nanti juga kamu lupa, terus ninggalin si Rose. Hapal sekali papa sama kamu," ungkap Pak Narendra untuk menolak permintaan putranya itu. Han hanya menatap dari jauh, merasa kasihan pada Samantha yang tak dipercayai siapa pun. Pembicaraan alot tadi tak berjalan mulus. Samantha keluar dengan langkah gontai. Han pun mendekati temannya itu, memberi saran untuk mencari jalan keluar. "Coba lo jujur aja sama Alex, Sam. Nanti dia yang bakal ngalah. Lo pasti tau Alex nggak akan ngecewain Lo." Samantha terdiam. Pandangannya tertuju pada Alex yang sedang duduk di ruang tengah. Dia menulis beberapa tamu dan rekan yang akan dia undang ke akad akhir bulan ini. Ini pertama kalinya dia melihat Alexander sebahagia itu. "Tapi gue nggak tega liat Alex jadi sedih, Han." "Ya daripada dia tau belakangan nanti?" "Mungkin papa benar. Kali aja nantinya gue bosen dan lupain Rose. Gue, kan, memang gitu," kata Samantha, tersenyum lirih. "Nggak. Kali ini Lo serius, Sam!" pekik Han, bersikeras. Samantha tersenyum, mengusap bahu Han sebelum dia pergi. Samantha yang dilemma. Rosea terus menuntutnya untuk memperjuangan hubungan, lalu sang papa yang tak mempercayai ketulusan Samantha pada Rose. Belum lagi aura manis dan ceria Alexander yang selalu menggoyahkan Samantha. Keesokan harinya, Samantha terkejut ketika papanya memanggil ke ruangan kerja. Han masih mengekor di belakang, memantau situasi jika Samantha butuh bantuan. "Baiklah! Papa kasih kamu kesempatan. Besok kamu pergi ke Inggris dan jalani wawancara dengan Professor Carlo untuk tes awal masuk universitas. Nanti dia akan langsung hubungi papa apa kamu lulus atau nggak. Kalau kamu lulus, papa akan bujuk Alex untuk mundur dari rencana pernikahan." Samantha terkejut mendengar tawaran sang ayah ketika dia menemui beliau di perusahaan. Mungkin belakangan ini dia melihat Samantha uring-uringan, sehingga memberinya kesempatan lagi. "Makasih, Pa!" Hanya satu minggu menuju akad. Samantha menemui Rose dan meminta izin untuk pergi ke Inggris. Dia menempuh jarak ke Bandung di hari itu juga. Menyatakan bahwa jalan untuk hubungan mereka semakin terbuka lebar. Setelah tiba di rumah bercat biru itu, Rosea keluar untuk menemui Samantha saat lonceng rumah berbunyi. "Rose!" Wanita bernama Rose itu menoleh pada panggilan khas dari suara bariton kekasih hatinya. Samantha. Dia tersenyum sangat indah sambil melambaikan tangan ketika mengetuk-ngetuk pintu pagar. "Sam?" Rose segera berlari untuk menemui Samantha. Senyum yang menyurutkan kegundahan Rose akan perjodohannya dengan Alexander. Samantha tepat berada di hadapannya, menarik tengkuk wanita itu untuk memperdalam ciuman manisnya. Apakah ini kabar baik? Rose menurut saja, lebih merapat sambil mencengkram sisi kaos Samantha. Kecupan itu berakhir, Samantha mengajak Rose untuk duduk di kursi taman. Dia menceritakan bahwa ayahnya sudah mengetahui cinta mereka dan memberi kesempatan untuk hubungan suci itu. "Kamu tunggu aku. Kamu percaya aja kalau aku bisa melewati ini semua. Papa janji akan tunda pernikahan dulu sebelum hasil tes keluar dan aku balik ke sini," ujar Samantha. "Aku janji akan lulus. Aku pasti lulus, Sayang. Setelah itu, kita akan menikah." "Tapi-" Rose sedikit menunduk, mengaitkan jarinya pada jari pria itu. "Aku takut, Sam. Gimana kalau semua ini-" "Aku percaya papaku. Dan ingat, jangan cerita apa pun pada Alex tentang hubungan kita. Biar aku aja. Aku takut dia salah paham. Ngerti? Jangan melanggar janji ini, takut nanti ada kejadian buruk. Ya?" pinta Samantha. Rose mengangguk. Dua insan ini mempertaruhkan hubungan mereka pada keputusan Narendra Atmadja. Jika Samantha lulus tes wawancara salah satu universitas di Inggris, maka pernikahan mereka akan mungkin. Bias polos Samantha justru hanya ditanggapi rasa takut oleh Rose. Dia mengantarkan kekasihnya itu ke bandara. Waktu berlalu tanpa kata, dia bersandar di bidang dada pria itu. "Yang kuat, Sayang! Ini demi masa depan kita. Aku akan berjuang semampuku," sahut Samantha sambil mengusap kepala Rose. Wanita itu mengangkat wajahnya, menyapu pipi pria itu. "Tapi gimana kalau kamu gagal tes?" Samantha sedikit mencebik, lalu menjauhkan pelukan erat wanita cantik itu. "Ih, jahat! Doanya gitu banget, sih!" "Aku serius, Sam!" "Ya aku serius. Kalau aku gagal, kita kawin lari. Oke?" kekehnya. Rose semakin merapatkan pelukannya. Dia punya firasat berbeda. Kekasih tampannya itu tak tahu apa yang terjadi nantinya, dia hanya ingin membuktikan kesungguhan cintanya. "Di sana berapa lama, Sam?" "Mungkin seminggu. Doain aku lulus, ya." "Iya. Tapi gimana aku bisa tau kabar kamu? Telepon ke luar negeri kan mahal. Masa harus ngirim surat? Nyampenya kapan?" gerutu Rose. Samantha tersenyum tipis. Menyentuh pipi itu untuk mencium bibir ranumnya. "Aku sayang kamu, Rose." "Aku juga. Oh iya!" Rose menjauh untuk membuka tas cangklong birunya. Dari dalamnya, dia mengeluarkan buku tebal berwarna cokelat untuk dia berikan pada Samantha. "Buat apa ini?" tanya pria berhidung mancung itu. "Buat jadi temen kamu, Sam. Aku, kan, nggak ada di sana. Jadi, kamu harus tulis apa pun cerita kamu di sana, perasaan kamu. Termasuk, kalau kamu gombalin cewek bule di sana!" gerutu Rose, mencubit pinggang Samantha. "Ya Allah! Seminggu doang, loh. Mana sempat aku gaet cewek, Rose!" kata Samantha, bergelak tawa tipis. "Kalau playboy, mah, nggak akan lewatin kesempatan sekecil apa pun." "Jadi, aku harus nulis buku harian?" Samantha meraih buku itu, membukanya. Hanya helaian kertas kosong. "Nanti setelah kamu balik, aku periksain itu satu-satu, ya!" "Iya." Itu adalah hari di mana Rose melepas kepergian Samantha. Pria itu berjalan mundur sambil melambaikan tangannya. Senyum tipis dan indah itu akan disimpan Rose dalam ingatannya. 'Cepatlah pulang, Sam. Aku tunggu!' Han hanya menatap dari kejauhan, menanti akankah perjuangan sahabatnya itu membuahkan hasil. Hari itu, hari di mana Samantha berjuang, tapi justru dikhianati oleh ayahnya sendiri. * London, 9 a.m Pesawat mendarat sempurna di bandara besar di sudut kota London. Samantha turun dan berjalan ragu di ara para penumpang lain yang terasa asing. Setelah mengambil koper, dia meraih secarik kertas dari saku jaketnya. Ada kartu nama di sana. Papanya meminta dia menemui orang pada alamat itu. Dia adalah profesor dari sebuah kampus yang akan Samantha datangi. "Akhirnya sampe juga." Samantha tersenyum, merapatkan jaketnya karena tak mengira udara akan sedingin ini. Dia menoleh ke sana kemari, menunggu seseorang yang telah dijanjikan sang ayah akan menjemputnya. "Masih lama nggak, ya?" Samantha bersandar santai. Hatinya sangat bahagia. Diraihnya buku agenda cokelat itu dan pena. Lembaran pertama berisi baris hati akan suasana kota London yang dia datangi. [Dear, Rose. 3 Maret 1995, aku sampai di bandara jam 9 pagi. Kota London sedingin ini, Sayang. Aku nggak mau bikin kamu khawatir, tapi pasti sebentar lagi aku flu. Kamu, tau, kan, aku nggak terlalu suka dingin. Tapi kamu harus tetap sehat, ya! Tunggu aku.] Tak lama, seorang pria datang dan menyambut kedatangan Samantha. Bibirnya tersenyum, sangat bersyukur saat sang ayah memperhatikannya di sini. Pria itu mengulurkan tangannya pada Samantha. Hanya seorang lelaki Indonesia. Bukan bule seperti yang dia bayangkan. "Aku Rizky, mahasiswa tingkat tiga di Universitas Diamond. Selanjutnya, kamu tinggal di rumahku sampai tesmu dimulai." Samantha mengekor pria itu meninggalkan bandara, menaiki taksi untuk menjejaki jalan menuju rumah pria bernama Rizky itu. Sesampainya di sana, Rizky menunjukkan kamar untuk ditinggali Samantha. Tak terlalu besar, tapi rak-rak buku itu menjadi sasaran utamanya. Dia meletakkan koper dan tas, bergerak ke susunan buku tinggi. "Pak Narendra memintaku untuk nyiapin itu. Semoga tesmu berjalan lancar, ya!" sahut Rizky. Rizky meninggalkan Samantha. Pria itu mulai berberes. Dia yang selama kuliah ini cukup malas-malasan sebab berbeda jurusan dari yang dia inginkan, kini menjadi penuh semangat. Usai menyegarkan diri, buku-buku itu menjadi santapan selanjutnya. Berjam-jam dia membaca dan menyusuri tiap lembaran untuk mencari jawaban dari contoh soal-soal tes yang akan dia hadapi. Tadinya Rizky juga sudah meletakkan makan siang. Belum disentuhnya juga sampai jam 3. Dia sangat berambisi untuk lolos. "Ah, pegalnya!" sahut Samantha sambil merenggangkan lengan dan punggungnya. Senyum tipis kembali terurai. Samantha meraih buku agenda dan menulis sebaris kalimat di sana. [Aku lagi belajar, nih! Capek banget, ya! Demi kamu, Rose. Doain aku sehat, ya! Di sini aku tinggal di rumah Rizky, orang Indonesia yang juga kuliah di sini. Aku selalu baik dan nggak sempat selingkuh.] Samantha berjuang keras untuk mendapatkan restu sang ayah yang telah menjodohkan kekasihnya dengan sang kakak. Alexander Narendra Atmadja. * Sementara itu di rumah Keluarga Narendra Atmadja, Han terkejut saat rumah itu mulai dihias indah dengan tatanan khas untuk prosesi akad. Jantung Han berdegup cepat. Dia berlari mendekati meja telepon, tapi dia mendecak kesal karena tak tahu bagaimana menghubungi Samantha. "Ini kenapa jadi gini?!" Tak lama, Alexander mendatanginya dengan wajah gusar. Mungkin kakak Samantha ini bisa ditanyai untuk apa yang terjadi pada dekorasi rumahnya. "Loh, Mas, ini-" "Itu aku juga nggak tau. Masa papa tiba-tiba mau minta akad dipercepat? Padahal baru aja Sam berangkat untuk ujian awal masuk universitas," gerutu Alexander. Walau gusar, tetap saja ada raut gugup di wajah pria itu karena sebentar lagi dia akan menikah. Samantha yang malang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD