Bab 1. Samantha, My Love

2406 Words
Bandung, Februari 1995 “Han!” Pria bernama Han itu mengalihkan perhatian ke arah lapangan basket di mana turnamen basket kampus baru saja berakhir. Kampus mereka, Universitas Trijaya Bandung itu menyabet juara satu berkat kekompakan tim. Terutama sang kapten basket yang sedang jejingkrakan di tengah lapangan sambil mengayunkan tangannya berulang. “Han!” Suaranya menggema lagi. Sepuluh menit lapangan dipenuhi oleh para media massa. Usai perayaan dibarengi wawancara dari para wartawan, pria bernomor punggung 1 itu keluar dari lapangan, langsung naik ke tribun untuk menemui teman yang sejak awal pertandingan selalu mendukungnya. “Selamat, Sam! Ini gue pasti ditraktir, dong!” Pria bernama lengkap Samantha itu tersenyum. Bibir tipisnya yang cantik membingkai senyum dengan deretan gigi putihnya yang rapi. Dua lesung pipi menghiasi kulit sawo matangnya. Begitu tampan dan atletis, menarik para gadis terus menatap gila ke arahnya. Keringat yang terus menetes, menambah kesan seksi pada pria berusia 22 tahun itu. “Ayo! Di café biasa, ya! Gue telepon cewek gue biar dia datang ke sana.” Kedua pria itu berjalan santai meninggalkan gedung olahraga kampus. Samantha menyamankan ransel di punggungnya, sesekali membuka botol minum dan menenggaknya untuk mengusir dahaga. “Dian?” tanya Han. Samantha menggeleng. “Dih! Apaan, lo! Udah tiga bulan lalu gue putus sama Dian. Ini baru lagi. Tapi kali ini gue serius, deh, sama dia.” “Lagu lo! Kayaknya tiap pacaran, itu mulu yang lo bilang.” Samantha tertawa. Mereka mendekati sepeda motor itu. Han melajukan Honda hitam itu dan membonceng Samantha untuk menempuh jalan raya yang sedikit lengang. “Balik ke kos-an dulu. Mandi. Udah gerah banget, gue. Ntar gue ajak lo ketemu dia.” Han tersenyum cuek, terus mengemudi di tengah lalu lintas mobil jalan raya. Sesekali klakson dari bajaj dan angkutan umum itu terlalu berisik hingga terpaksa menaikkan nada suara mereka. “Udah libur kuliah. Kita balik ke Jakarta, Sam?” "Nggak ada pilihan, lah! Tapi gue nggak mau ninggalin cewek gue di sini.” “Gaya, lo! Kayak Jakarta-Bandung jauh aja. Kan, bisa lo samperin kalau kangen.” “Lo kayak nggak kenal bokap gue aja, Han. Sekalinya di rumah, udah, deh, hari-hari gue langsung dipenuhi rutinitas aturan dia. Sebenarnya bokap udah minta gue untuk magang selama liburan ini, sih!” Tak lama, sepeda motor mereka tiba di sebuah kost-an sederhana dengan cat dinding berwarna biru itu. Han tersenyum. Sebenarnya keluarga dari temannya ini sudah menyediakan rumah untuk tempat tinggal Samantha selama kuliah di Bandung. Akan tetapi, pria itu enggan dan lebih memilih tinggal di kos-an sempit dan sederhana. Kalau rumah besar, banyak ruang kosong. Seram, katanya. “Ya lagian, kan, lo juga udah tinggal sidang aja. Jadwal sidang masih ada sebulan lagi. Gue juga udah diminta untuk masuk perusahaan.” “Serius, Han?” Samantha begitu penasaran. Dia menyeret temannya yang berkacamata itu untuk duduk sebentar di taman depan kost-kosan mereka. “Lo masuk perusahaan? Sedivisi sama gue?” Han menggeleng, lalu melempar candaan kecil pada temannya ini. “Nggak, lah! Gue ini pinter, mana mungkin sedivisi sama lo. Lo, mah, paling banter jadi security.” Samantha pun tertawa kecil. Bukannya tersinggung, tapi memang, setiap inchi hidup mereka penuh dengan aturan dari petinggi keluarga mereka. Security? Bahkan dia tak berminat jabatan apa pun di perusahaan besar sang ayah. “Jadi security juga nggak masalah, lah! Daripada gue mumet sama kertas-kertas kerja itu. Puyeng!” gusarnya, memikirkan kalau dia harus duduk di depan meja dan mengurusi semua managemen perusahaan. “Jadi, apa jabatan lo?” Han belum menjawab, lalu beranjak dari duduknya. Dia mendekati jemuran dan mengangkat pakaian yang kering. Tak lupa dia menyampirkan celana dalam Samantha dan mengasingkannya. “Kolor lo dari kemarin, mah, kagak diangkat-angkat!” gerutu Han. “Biarin. Buat tangkal ujan.” Tawa ringan yang selalu mengisi hari bermakna mereka. Samantha mengikuti Han untuk masuk ke kost-kosan mereka. Tak terlalu banyak barang. Hanya dua ranjang, dua lemari, dan juga beberapa peralatan lain. Sebuah radio berada di dekat dinding, juga televisi merk Toshiba yang jarang ditonton sebab mereka sibuk dengan rutinitas semester akhir mereka. Suara telepon berdering. Samantha pun beranjak ke sudut untuk mengangkat panggilan itu. Suara sang ayah menyapa telinganya. “Halo, Sam!” Suara berat itu terdengar dari seberang telepon. “Ya, Pa. Ada apa?” “Kapan pulang? Udah mulai libur besok, kan?” “Iya. Besok aku pesan tiket pulang ke Jakarta.” “Loh, nggak naik motor aja?” “Nggak, Pa. Males. Agak rusak juga. Besok aku pulang sama Han naik kereta.” “Jangan ulur waktu lagi. Ngerti?” “Iya, Pa.” Usai panggilan terputus, Samantha membanting tubuhnya di kasur dengan malas. Han hanya mencebikkan bibir, bersiap tersenyum mendengar Samantha akan memulai drama curhatnya. “Bokap gue itu nggak peka banget, sih!” dumelnya. Han menghela napas, lalu berkata, “Nah, kan! Bener gue,” bisiknya, pelan. Samantha duduk di kasur, bersila dan siap memulai omelannya siang itu pada Han. Han terbiasa mendengarnya. Begitu berisik sahabatnya ini, tapi saat tiba di rumah nanti, dia pasti akan menurut apa kata ayahnya. Bungkam seribu bahasa. “Padahal dia tau hari ini gue tanding basket. Tanya, kek. ‘Gimana? Juara, nggak?’ Sekali aja. Tau gue, mah, nggak sehebat si Alex, nggak sekeren dia. Tapi gue juga punya cita-cita, kan? Pengen bisa jadi atlet basket Internasional,” angannya, membayangkan dia bisa menjadi pebasket hebat kelas dunia. Han hanya mengangguk, lalu ikut duduk di kasur. Pandangannya beralih pada saat Samantha mengeluarkan dompet dan menarik secarik foto dari sana. "Lihat, Sam!" Begitu usil sampai mereka bergumul karena Han merebut kertas foto itu untuk mencari tahu hal yang membuatnya penasaran. Wajah kekasih Samantha. “Gue pengen liat cewek lo, Sam.” “Nggak sabaran banget, sih! Hayuk mandi! Biar gue ajak ketemu. Oke?” “Ngintip doang. Pelit amat!” seru Han, cemberut karena Samantha berhasil mengambil foto itu lagi. Tentu tubuh tinggi tegap Samantha itu tak bisa dikalahkannya yang sedikit cungkring ini. Samantha tertawa kecil, menyodorkan kertas foto itu pada sahabatnya yang merajuk ini. Han tersenyum menatap foto gadis cantik dengan rambut pirang itu. Lantas, Han sedikit mendecak, lalu tertawa geli sambil jatuh ke kasur. “Lah, sinting nih anak!” cibir Samantha. “Nggak bisa gue bayangin kalau lo nikah sama dia. Jadi kopi susu, atau zebra. Black and white!” Samantha terlihat cuek. Dia membuka kaosnya, bertelanjang dada ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian yang pantas untuk menemui sang kekasih beberapa saat lagi. Han menampar sedikit pipinya karena cukup kagum pada bidang dada lebar Samantha, juga susunan otot perutnya yang pastinya paling diidamkan para pria. Sangat seksi. Apalah dirinya yang hanya sebatas papan setrikaan. Mungkin itu gumamnya. “Biarin. Kopi susu itu rasanya maknyus. Gue kopinya, dia susunya,” kekeh Samantha sambil memegang dadanya. Melihat wajah mesum Samantha, Han tertawa sambil melempar guling ke wajahnya. “Gilak! Kawin sonoh! Udah gatel aja.” Samantha mendekati meja belajarnya, lalu mengambil kotak cantik dan membukanya. Tampak sebuah gelang berwarna cokelat dengan ukiran nama sang kekasih. “Kalau gue bawa dia ke Jakarta, trus gue kenalin ke bokap. Gimana tanggapan dia, ya?” gumam Samantha. “Mau kawin, lo? Kuliah aja belum lulus. Kerja juga nggak. Mau dikasih makan apa bini lo? Trus calon mertua lo, gimana? Emangnya mau sama lo?” "Gue belum bilang, sih, kalau gue ini anaknya Narendra Atmadja. Bisa-bisa itu si bapak londo langsung on the way restuin gue sama anaknya. Gue ireng gini, dipikirnya gue anak gembel.” Samantha begitu bahagia hendak bertemu dengan kekasihnya. Han pun diajak berkenalan dengan gadis itu. Mereka pun segera mandi untuk bersiap menemui sang kekasih. Setengah jam berikutnya, mereka tiba di café di mana seorang gadis cantik berambut panjang itu sudah menunggunya. Baju cantik sederhana, begitu pas di badan langsingnya. Bibir merahnya yang mungil, juga bulu mata lentik menghiasi mata beriris cokelat itu. Sangat menawan. “Cantik!” puji Han. Mereka menarik bangku tepat di hadapan gadis itu. Samantha tersenyum, menyerahkan gelang cantik dari kayu khas ukiran Jogja itu pada kekasihnya. Ada bazaar saat turnamen basket kemarin di kampus. “Ini buat kamu. Sementara ini dulu, ya. Nanti kalau aku udah kerja, aku beliin yang emas.” Tak ada jawaban, hanya anggukan tipis. Sejak tadi Han memperhatikan wajah kekasih Samantha itu nampak berbeda. Kesedihan jelas tersembunyi dari bias wajah berukir senyum palsu itu. Samantha mengusap kepalanya ketika gelang itu berada di pergelangan tangan sang kekasih. “Oh iya, kenalin. Ini temenku, Handoko. Panggil aja, Han. Titik. Jangan dipanjangin. Nanti jadi Hantu atau Hansip,” canda Samantha agar kekasihnya tersenyum. Han menyambut jabatan tangan dari gadis itu. “Han.” “Rosea Carmila,” katanya. Nama yang cantik. Hanya makanan kecil untuk perayaan kemenangan Samantha yang tersaji di atas meja. Sangat sederhana. Han beberapa kali menghela napas, ingin sekali dia menarik perhatian Samantha agar temannya itu berhenti bicara panjang lebar dengan candaan. Jelas terlihat gadis itu tak nyaman, seperti memikul masalah besar. “Besok aku balik ke Jakarta, Rose. Atau gini aja, kamu ikut aku ke sana, nanti aku kenalin sama bapakku. Pasti dia senang karena dapat calon mantu londo gini.” Han tak berani menyahut. Mungkin sebentar lagi gadis itu akan marah karena Samantha tampak tak peka dengan mood-nya. Sedari tadi Rosea menaikkan pandangannya, mungkin menahan air mata yang jatuh. Han mencubit lengan Samantha, lalu berbisik, “Mbak Ros kenapa, sih? Kayak ada masalah.” Samantha berhenti dengan tawa khasnya, lalu menatap kekasihnya yang sedang membuang pandangannya pada sisi samping, Tangannya tetap mengaduk segelas teh manis dingin itu. “Sayang, ada apa?” tanya Samantha sambil mengusap kepala Rosea. Mendengar suara manis Samantha, air mata gadis itu akhirnya tumpah. Dia menangis sesunggukan hingga Samantha tak bisa berkata ketika dia memutuskan hal penting tentang hubungan mereka. “Aku itu capek sama kamu, Sam. Aku mau putus, jangan hubungi aku lagi!” Bagai disambar petir di siang bolong, Samantha terkejut mendengarnya. Dia bahkan membeku ketika Rosea berlari meninggalkan mereka. Pergi dengan tangis meski baru saja dia memekik dengan nada tinggi. “Sam,” ujar Han, sambil memegang bahu temannya itu. “Are you oke?” “Dia becanda, kan? Dia mutusin gue?” Han berusaha memecah rasa terkejut di wajah Samantha. Dia memijat-mijat pundak pria itu, lalu berkata, “Bakal jadi berita, nih. Sang playboy diputusin pacarnya. Rekor, deh!” Samantha belum menanggapi. Han akhirnya menyadari bahwa perasaan Samantha tak sedangkal yang dia pikirkan. Sepertinya kali ini sang playboy telah menjatuhkan pilihan pada gadis itu ketika dia sungguh menikmati indahnya jatuh cinta. “Sam!” Han berlari menyusul Samantha yang sepertinya tak terima kekasihnya mengakhiri hubungan. Melajukan sepeda motornya, lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar dengan pelataran yang luas. Rosea baru saja tiba dan disambut oleh sang ayah. Tepat bersamaan dengan sepeda motor kedua pria itu yang berhenti tepat di depan mereka. “Mau apa, kamu?” tukas ayah dari Rosea. Samantha berusaha setenang mungkin. Beberapa kali ngapel ke rumah Rosea, dirinya tak disambut baik oleh pria ini. Walau tak mengusir, jelas terlihat pandangannya kurang ramah. “Kamu udah putusin dia, kan, Rose?” geram pria tua itu lagi. Rosea hanya mengangguk, tak ingin menatap Samantha yang masih shock dengan keputusan kekasihnya. Tak ada kata terucap di bibir Samantha, lalu pria tua itu mendekati kekasih putrinya ini. Han tak banyak bicara, hanya menatap kesedihan di wajah sepasang insan yang saling mencintai ini. “Mulai sekarang, jangan dekati putriku lagi! Kami akan pindah dan Rose nggak boleh ketemu kamu lagi. Ngerti!” “Tapi, Om-” Samantha tak bisa membantah. Rosea juga tak ada pembelaan, hanya menuruti langkah sang ayah ketika beliau menariknya masuk ke dalam rumah. Samantha masih membisu, membiarkan hening mengisi relung jiwanya. “Nggak bisa, Han. Gue sayang sama dia. Dia bilang bakal di samping gue kalau gue tobat mainin cewek,” katanya, tertawa meski lirih. Han merasa kasihan pda kesedihan Samantha. Kedua pria itu enggan pergi. Tak lama, suara berisik terdengar dari dalam. Pertengkaran Rosea dan sang ayah itu menarik perhatian mereka. “Apa lagi sekarang? Aku udah bilang bakal turutin ayah, kan?” “Bersiaplah! Besok kita berangkat dan bertemu calon suamimu. Kita akan tinggal di sana sampai kamu menikah bulan depan.” “Aku putus sama Sam bukan berarti aku mau terima perjodohan ini, kan? Papa nggak suka Sam karena dia miskin, iya? Oke, fine! Tapi jangan mimpi aku terima perjodohan itu!” “Seenggaknya hidup kamu bisa lebih senang! Harusnya kamu bersyukur orang kaya itu mau sama kita. Perusahaan papa lagi krisis, Cuma dia yang bisa bantuin papa sekarang!” Samantha tak ingin mendengar kata-kata itu lagi. Dia berjalan gontai, meninggalkan Han di belakang. Sahabatnya itu pun mengambil motor, mengendarai pelan tepat di samping langkah gontai Samantha. “Sam! Kalau semua ini karena uang, lo tinggal bilang aja sama bokap si Rosea kalau lo itu anak Pak Narendra Atmadja. Langsung dikawinin lo sama dia,” gusar Han. “Itu punya bokap gue, bukan gue. Mereka benar, gue cuma cowok miskin. Belum jadi apa-apa.” Samantha yang selalu bisa optimis memandang segala masalah. Bibir tipisnya tersenyum, lalu menepuk bahu Han. “Hayok kita balik ke Jakarta. Gue mau kerja di perusahaan. Jadi security, kek, atau OB, yang penting gue ngumpulin duit buat ngelamar si Rose.” “Lo pikir ngumpulin duit itu gampang? Langsung jadi kaya, gitu? Lo bisa pake nama besar keluarga lo, bego!” “Santai. Ntar gue urus!” Itu menjadi hari terakhir mereka di Bandung. Esoknya, mereka menaiki kereta untuk tiba di Jakarta. Rumah besar keluarga Atmadja menantikannya. Han masih menenteng ransel, menuruti langkah tergesa Samantha berlarian di antara rumah besar itu. Seorang pria tinggi tegap berkulit putih itu masih membetulkan kacamatanya saat turun dari tangga. Berpakaian rapi dengan kemeja biru, jasnya masih disampirkan pada lengan. Dia membaca sebuah berkas di tangannya. Langkah berisik Samantha tentu menarik perhatian pria itu. “Udah balik, lo?” kata pria itu. Samantha tersenyum, lalu bertanya, “Papa mana, Lex?” “Ruang kerja.” Samantha berlari ke lantai dua. Han meletakkan lebih dulu ransel, menyapa salah seorang penghuni rumah itu juga. “Siang, Mas Alexander,” sapanya dengan nada sopan. “Papa udah bilang kamu bisa mulai masuk perusahaan, kan?” tanya pria bernama Alexander itu. Dia duduk di jajaran sofa itu, mulai memasangkan jasnya dengan rapi. “Iya, tapi belum tau di posisi apa, Mas.” “Tanya aja sana.” Han menaiki tangga untuk pergi ke ruang kerja kepala keluarga di rumah itu. Samantha masih di sana, menatap ke arah toilet. Mungkin ayahnya berada di sana. Tak lama, beliau keluar dan disambut oleh senyum sumringah Samantha. “Pa! Aku mau kerja!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD