Jam sembilan hingga sebelas malam, adalah jam belajar untuk Nabila dirumah. Selama dua jam penuh, gadis itu akan berkutat dengan buku dan tidak akan ada yang bisa mengganggunya. Farisha dan Farhan─kedua orang tua Nabila─yang sudah paham dengan kegiatan Nabila yang satu itu, akan langsung mematikan semua sumber suara sebelum jam sembilan malam. Jarak kamar Nabila dan ruang tv sangat dekat, dan Nabila tidak akan bisa konsentrasi belajar jika ada suara berisik barang sedikitpun. Maka, untuk membuat anak semata wayangnya itu nyaman, Farisha akan menyibukkan dirinya dengan mencuci piring atau menjahit baju-baju pesanan yang belum selesai, sedangkan Farhan akan membaca koran sekaligus meminum kopi buatan Farisha.
Tapi sekarang, belum ada satu jam Nabila belajar, mereka dibuat terheran-heran karena anak gadisnya itu keluar dari kamar dengan gerakan yang terburu-buru.
"Bila mau kemana jam segini?" Farhan bertanya ketika melihat Nabila menyambar jaket cokelatnya.
Nabila menoleh sebentar pada Ayahnya, bola matanya bergerak gelisah sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mendekati Ibunya dan membisikkan sebuah kalimat sebelum melesat pergi keluar rumah.
Farisha tersenyum kecil ketika Farhan menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Biasa yah, perempuan."
Dalam larinya, Nabila terus menggumamkan kata maaf karena sudah membohongi kedua orang tuanya. Dia bilang pada Farisha kalau ingin membeli kiranti untuk datang bulannya, tapi kenyataannya, sekarang Nabila justru berlari ke apotik depan komplek untuk membeli kapas, betadine, alkohol, dan sebagainya.
Nabila masih ingat, saat dia sedang mempelajari materi Biologi untuk pelajaran besok, tiba-tiba ponselnya berdering tanda bahwa ada sebuah pesan masuk. Nabila menghiraukannya karena dirinya tidak akan pernah membalas pesan sebelum kegiatan belajarnya selesai. Tapi, selang dua menit setelah pesan itu masuk, ponselnya kembali berdering dan kali ini ada panggilan masuk, bunyi dering yang berbeda─karena permintaan si pemanggil yang menyuruh Nabila untuk membedakan nada deringnya─membuat Nabila langsung mengangkat panggilan itu tanpa berfikir lagi.
Bil, sibuk?
Bukannya memberikan salam, si pemanggil justru bertanya.
Nabila yang sudah paham betul apa alasan si pemanggil menelfonnya pada saat-saat jam belajarnya berlangsung, langsung dilanda panik sekaligus takut, apalagi setelah mendengar suara si pemanggil yang entah kenapa seperti menahan sakit.
Sepuluh menit gue sampe, jangan kemana-mana.
Setelah mengatakan itu Nabila langsung mematikan sambungan secara sepihak, menyambar ponsel serta dompetnya lalu keluar dari kamar tanpa membereskan buku-bukunya lebih dulu.
Itu alasan Nabila berada di apotik sekarang. Bukan karena tamu bulanannya, tetapi karena si pemanggil.
"Makasih," Nabila menyerahkan uang lalu mengambil plastik putih berisikan barang-barang keperluannya.
Nabila melanjutkan lari malamnya menuju g**g kecil yang bersebrangan dengan komplek perumahannya. g**g kecil itu membawanya menuju jalan besar yang sepi dan sudah jarang dilalui, karena jalan ini lebih sering dipakai untuk arena balap motor.
Nabila segera mendekat kesalah satu pohon besar di pinggir jalan, ada sebuah motor besar yang terparkir didekatnya bersama dengan si pemanggil tadi yang duduk sambil bersandar pada body motornya tersebut.
"Barga." Nabila memanggil, laki-laki itu langsung menoleh kearahnya.
"Hai." Barga tersenyum kecil, beberapa detik setelahnya dia langsung meringis akibat luka di ujung bibirnya yang menimbulkan perih.
Nabila yang melihat luka itu serta beberapa lebam lain di wajah Barga sontak bertanya, "lo kecelakaan apa berantem sih?"
"Dua-duanya."
Helaan napas panjang keluar dari bibir Nabila, gadis itu langsung mengambil kapas serta alkohol untuk membersihkan luka di wajah Barga. Tidak ada suara yang terdengar, hanya gerakannya yang lebih mendominasi dan sesekali terdengar Barga meringis perih. Nabila membersihkan luka-luka Barga dengan serius, tapi dia juga cukup sadar bahwa selama dia membersihkan luka Barga, selama itu pula Barga memandanginya.
"Makasih," ucap Barga tiba-tiba.
Nabila tidak menghentikan kegiatannya tapi dia bertanya, "untuk?"
"Selalu ada setiap gue butuh lo."
Barga meringis ketika Nabila menekan lebam di pipinya secara sengaja, "Sakit, Bila!" Barga mengusap-usap lebam dipipinya sendiri.
Nabila berhenti, bola matanya menatap lurus kearah Barga yang kini juga menatapnya. "Gue nggak bisa kasih saran buat lo berhenti balapan, karena gimanapun juga itu hobi lo. Tapi, gue punya pertanyaan, apa kecelakaan balapan setiap dua minggu sekali itu jadi hobi baru lo?"
"Enggak."
"Terus, kenapa lo selalu kecelakaan setiap dua minggu sekali?"
"Gue juga nggak tau."
Nabila menggepalkan kedua tangannya, mendengar jawaban Barga yang singkat-singkat seperti itu membuatnya merasa gemas, untung Nabila masih punya hati nurani, jika tidak, sudah dipastikan wajah Barga akan Nabila acak-acak sekarang juga.
"Gue ganggu lo?" Barga bertanya.
Nabila menggeleng pelan, "enggak kok, kan gue sendiri yang janji sama lo." Nabila menutup salep luka setelah selesai mengoleskannya pada wajah Barga. "Apa lagi yang luka?" tanyanya pelan.
"Punggung."
Nabila mengangguk, "balik," perintah Nabila, Barga menurut dan kaos belakang laki-laki itu langsung disingkap keatas oleh Nabila. Benar kata Barga, punggung laki-laki itu terluka, banyak luka gores disana dan untungnya tidak cukup parah.
Kembali fokus untuk membersihkan luka Barga, Nabila juga kembali mengingat beberapa potongan masa lalunya bersama laki-laki ini.
Tepatnya satu tahun yang lalu, ketika baru beberapa minggu dirinya menjadi anak SMA. Malam itu, Nabila berniat pergi ke apotik depan komplek rumahnya, dia membeli bahan-bahan pengobatan untuk ayahnya. Ayahnya tertimpa batu-batu besar saat sedang bekerja dipembangunan, seminggu sebelumnya Ayahnya terkena phk dari perusahaan dan terpaksa harus bekerja bangunan untuk mencari nafkah.
Tentu Nabila sedih karena melihat kondisi Ayahnya di hari pertama bekerja, jika hari pertama saja sudah seperti ini, bagaimana hari-hari selanjutnya? Nabila sudah meminta agar Ayahnya berhenti bekerja saja, tapi laki-laki itu malah menawarkan kepada Nabila agar menjadi perawatnya saja jika Ayahnya kembali terluka, dan Nabila menyanggupinya,
Saat keluar dari apotik, Nabila melihat seekor anak kucing yang berada di jalan raya, dari sebelah kanan, ada beberapa kendaraan yang melaju kearah kucing itu. Merasa kasihan, akhirnya Nabila mendekat berniat untuk meminggirkan si kucing tersebut, tapi alih-alih menangkapnya, kucing itu justru semakin menjauh ketika Nabila mendekatinya. Alhasil, Nabila mengikuti kucing itu hingga melewati g**g kecil. Ketika dirinya sudah keluar dari g**g tersebut, samar-samar terdengar suara seseorang merintih kesakitan, membuat Nabila tidak lagi fokus pada anak kucing tersebut melainkan pada laki-laki yang bersadar pada body motor besarnya didekat sebuah pohon rindang.
Menyadari ada seseorang yang mendekat, laki-laki itu sontak menoleh. "Tolong gue.." ucapnya lirih.
Nabila bergeming sebentar ditempatnya, mengenali siapa laki-laki yang ada dihadapannya ini. Raden Barga Bagaskara, Kakak tertua dari tiga saudara kembar yang populer pada saat kegiatan MOS disekolahnya, dengan kata lain mereka satu sekolah.
Mendengar Barga kembali meringis, Nabila langsung buru-buru mendekat. "Lo kenapa?" tanyanya panik, "kecelakaan?"
"Gue baru gabung geng motor, tapi gue masih payah bawa motor gede. Lo bisa obatin luka dipunggung gue nggak?"
Nabila mengangguk, "balik," suruhnya yang langsung dituruti oleh Barga. Hanya butuh waktu lima menit untuk Nabila selesai membersihkan semua luka itu, dia bersyukur dulu saat SMP mengambil ekskul PMR yang membuatnya mengerti cara-cara sederhana mengobati luka.
"Lo Nabila Farisha Kusnandi, kan?"
Nabila tersentak kaget karena Barga mengenalinya, "iya, lo Nabila yang jadi perwakilan penyematan siswa baru bareng kembaran gue Raka, iya ‘kan?"
Nabila mengangguk membenarkan, dia memang menjadi perwakilan siswi dan Raka menjadi perwakilan siswanya.
Barga kembali meringis, Barga melihat Nabila dan luka-lukanya secara bergantian, satu pemikiran muncul dikepalanya. "Lo bawa hp nggak?" tanya Barga.
Gadis itu langsung merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan ponselnya dari sana, Barga menyambar cepat ponsel gadis itu dan setelahnya terdengar nada dering dari ponsel milik Barga.
"Kalo gue butuh lo lagi, lo bisa dateng?" Barga kembali bertanya hati-hati.
Tak perlu berpikir lagi, Nabila langsung mengangguk. "Bisa, gue janji. Rumah gue juga deket sini kok, lo telpon gue aja kalo kenapa-kenapa lagi. Tapi …."
"Tapi apa?" Barga menyela cepat ketika eskpresi Nabila berubah bingung.
"Jam sembilan sampe jam sebelas gue harus belajar, gue nggak bisa tiap hari datengin lo. Lo juga nggak mungkin kecelakaan setiap hari kan? Kalo masih dua atau tiga minggu sekali mah bisa lah izin sama Ayah," jawab Nabila yakin, tapi ketika mengingat Ayahnya, Nabila justru menepuk keningnya kuat, lalu buru-buru membereskan obat-obat yang berserakan dirumput. "Ga, gue harus balik sekarang."
Barga buru-buru berbicara ketika Nabila hendak bangkit.
"Dering telpon gue lo bedain aja, oke? Biar lo tau kalo gue telpon." Nabila langsung mengacungkan ibu jarinya.
"Lo beneran dateng kan, kalo gue butuh lo?"
Nabila tersenyum manis, "gue janji," katanya, lalu segera beranjak meninggalkan Barga.
Mengingat kejadian satu tahun yang lalu itu, membuat Nabila mengulum senyum. Barga yang ditemuinya dulu lebih banyak bicara dibandingkan dengan yang sekarang, Nabila tidak tau apa penyebab laki-laki ini menjadi begitu dingin akhir-akhir ini.
Kejadian itu hanya Nabila dan Barga yang mengetahuinya. Jadi, selama ini tidak ada yang tahu kalau mereka berdua kadang bertemu di luar sekolah, apalagi saat malam seperti ini. Selalu ada alasan untuk keduanya bertemu.
Nabila bahkan tidak menyangka, bahwa setelah kejadian hari itu, Barga benar-benar sering menghubunginya pada malam hari. Entah itu sebulan sekali, atau bahkan satu bulan tidak sama sekali. Tapi akhir-akhir ini, Barga jadi sering menghubunginya setiap dua minggu sekali, membuat Nabila menyimpulkan sesuatu di kepalanya.
"Lo masih aja payah," ucap Nabila pelan.
Tapi sepelan apapun gadis itu berucap, Barga masih bisa mendengarnya karena keadaan disini begitu sepi. Mendengar kalimat Nabila barusan Barga jadi terpikir bahwa bukan hanya dirinya yang mengingat kejadian masa lalu, tapi ternyata Nabila juga.
"Gue emang payah." Barga memberi jeda pada kalimatnya, dia menghela napas pelan sebelum melanjutkan, "bahkan buat ngelindungin lo aja gue masih payah."
"Apa?"
"Enggak."
Nabila berdecak, dia tidak begitu mendengar kalimat terakhir yang Barga ucapkan, karena jujur saja laki-laki itu begitu pelan mengucapkannya. Dan Barga adalah tipe orang yang tidak mau mengulang kalimat yang dia ucapkan.
Nabila menutup botol alkohol karena sudah selesai membersihkan semua luka Barga, dia langsung membersihkan kapas-kapas yang berpotensi menjadi sampai berserakan.
"Udah malem, gue harus pulang." Nabila menatap Barga yang baru saja berbalik ke arahnya.
Merasa bahwa Barga tidak meresponnya, Nabila langsung berdiri dari duduknya.
"Bila."
"Kenapa?" Nabila memperhatikan Barga yang masih duduk, laki-laki itu memanggilnya, tapi tidak sama sekali menatapnya.
"Enggak jadi."
Nabila berdecak pelan, "kok lo ngeselin sih, Ga?" tanyanya sarkas. Barga langsung mendongak dan mengangkat sebelah alisnya.
Nabila mengibaskan tangannya diudara, "udah, gue mau pulang." Nabila berbalik, hendak pergi sebelum panggilan Barga menghentikannya.
"Bila."
Nabila berbalik.
"Hati-hati pulangnya."