bc

Darah Sang Wanara

book_age16+
316
FOLLOW
3.0K
READ
adventure
supernatural
like
intro-logo
Blurb

Naraya tak pernah menduga jika kembali ke kampung halaman membuka identitas tentang dirinya. Memiliki darah seorang siluman monyet di dalam dirinya, ia mendapat tanggung jawab melindungi gunung dan seluruh isinya. Satu masalah dan lainnya berdatangan, pertama; bahwa ia membenci sosok yang disebut ayahnya, lalu tentang tanggung jawab berat yang tidak diinginkan, keserakahan manusia, alam yang perlahan hancur. Bagaimanakah remaja enam belas tahun itu menanggung semua di pundaknya dalam satu peristiwa tak terbayangkan?

Buku Pertama

chap-preview
Free preview
[Prolog: Pindah]
[Prolog: Pindah] Pada satu waktu, Naraya pernah berharap terlahir menjadi Gregor Samsa. Ibunya sangat membenci kecoa dan ia entah mengapa lebih baik digebuk dengan sapu atau disemprot dengan cairan pestisida. Keduanya terdengar lebih baik daripada harus pindah ke desa. Ibunya pernah mengutarakan keinginan kembali ke kampung halaman. Dan Naraya tak menyetujuinya, langsung di depan muka ibu. Desa yang menjadi tempat kelahiran ia dan ibunya tak menyisakan banyak kenangan indah. Ya… mungkin memang tak ada sama sekali. Di usia dua ia dan ibunya diboyong Pakde Widodo ke ibukota. Merantau lalu sukses sehingga bisa pulang dengan bangga. Naraya lebih senang menyebutnya menyelamatkan diri. Di desa, kemunculan Naraya adalah sebuah aib dan ibunya salah satu sumber yang menciptakan kemunculan aib itu sendiri. Pernah ketika Pakde Widodo membawa ia dan ibunya ke desa waktu mudik, beberapa wanita tua berkumpul, berbisik-bisik, sembari melirik ke arah rumah mereka; Enggak malu apa dipelihara suami orang? Anaknya aja banyak pecicilan gitu kayak monyet. Dasar enggak ada malu. Naraya juga pernah mendengar bisik-bisik lain di tahun yang berbeda, ketika ia lebih tua. Kasihan banget, enggak ada suami, orang tuanya udah capek ngurus. Sekarang malah numpang sama saudara. Anaknya malah suka pecicilan sama bikin masalah. Duh, emang kalau udah nasibnya jelek, ya… mau digimanain. Naraya tidak perlu menerka-nerka siapa yang menjadi pemantik para wanita itu bergosip. Ia dan ibunya adalah sumber yang kaya untuk dijadikan bahan berghibah. Ia berusia delapan ketika mulai memahami mengapa orang-orang di kampung halaman sang ibu tidak pernah membicarakan hal baik-baik tentang mereka. Satu. bahwa ibunya pernah menjadi korban rudapaksa. Perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan. Pakaiannya terlalu terbuka, keluar malam-malam sendiri karena tujuan buruk, atau memang punya keberanian berlebih menggoda lelaki. Padahal, waktu kejadian itu, ibunya baru saja pulang dari salat berjamaah di masjid sekaligus mengaji. Berpakaian tertutup dan longgar. Serta ibunya bukan seseorang yang bisa seenak hati menggoda kaum jantan. Warung tempat belanja dipenuhi banyak lelaki, ia lebih memilih putar setir dan menunggu mereka pergi. Namun, perempuan tetap menjadi sumber kesalahannya. Sehari setelah kejadian itu pun, orang-orang—khususnya ibu-ibu—menghimpun banyak informasi, menyusunnya, lalu mengait-ngaitkannya dengan berbagai peristiwa, membentuk susunan cerita yang mengalahkan skenario film atau novel best seller. “Itu, loh Esti, udah tahu di sana biasanya ada cowok-cowok badung, tetep aja nekat lewat. Sendirian aja lagi, apa namanya enggak cari perkara itu….” “Lah iya, loh. Di sana juga ada si itu yang udah ngejar-ngejar dia dari zaman masih pake káncut ke mana-mana. Masih bocah udah dikejar-kejar, gedenya apalagi. Makin dikejar, dong!” “Ya… namanya juga orang cantik, pasti banyak yang ngejar dong, ya.” Dialog-dialog itu berbahasa Jawa, termasuk bisik-bisik , hanya saja otak Naraya mengalihkannya ke bahasa Indonesia. Bahasa jawanya bahkan lebih buruk dari anak TK lokal. Pada akhirnya mereka tidak merasakan simpati ataupun empati. Walaupun di setiap kesempatan mereka tetap menemui ibunya dan memberikan amplop atau bingkisan gula teh. Tentu saja amplop dan bingkisan itu diharapkan akan kembali pada mereka suatu saat nanti. Dua, bahwa ibunya tidak memiliki suami, sehingga sosok ayah kandung Naraya sendiri masih menjadi misteri saat ini. Tidak memiliki suami lalu memiliki anak, maka meledaklah kakek dan neneknya. Tanpa sempat bertanya, ibunya segera diusir dari rumah. Beruntungnya ada Pakde Widodo, kakak sepupu ibu yang berhati lebih lapang. Belum memiliki keturunan setelah enam delapan tahun menikah, merawat Naraya adalah salah satu kebahagiaan bagi pria berperilaku santun itu. Ia dan istrinya—Bude Wiwid—menganggap Naraya seolah anak kandung. Bahkan setelah mereka dikaruniai anak sendiri, kasih saya mereka terhadapnya tidak pernah luntur atau terbagi. Seolah, ia adalah kunci yang membuka peluang mereka mendapatkan seorang putri yang cantik. Anak semata wayang yang sangat dikasihi. Ibunya pun mendapatkan nasib lebih baik di ibukota. Kursus memasaknya selepas lulus SMA sangat berguna. Tak ingin menjadi beban bagi Pakde Widodo dan Bude Wiwid, ibu memutuskan membuat kue-kue tradisional dan modern. Butuh perjuangan panjang dan waktu bertahun-tahun hingga usaha kecil ibunya menjadi besar dan memiliki beberapa cabang. Di kota pun tidak ada yang memandang rendah mereka kendati “syarat-syarat” untuk dihujat sudah terpenuhi semua. Ibu korban rudapaksa, tidak punya suami, latar belakang sang anak yang tidak jelas, dan disempurnakan dengan diusir dari rumah. Harusnya dengan semua itu, Naraya dan ibunya jadi sasaran empuk biang gosip. Awalnya memang iya, tetapi tidak bertahan lama. Orang-orang kota lebih fleksibel dan tidak terlalu peduli. Toh, di kota juga lebih banyak hal seperti itu. Bukan hal yang biasa, tetapi lebih mudah dimaklumi daripada di desa. Jika mereka berdua lebih beruntung hidup di kota, mengapa juga harus kembali ke desa? Pakde Widodo dan Bude Wiwid sendiri tampak terkejut dengan keputusan ibu. “Bapak dan Simbok enggak ada yang merawat. Bahkan Mas Estu dan istrinya enggak mau lagi ngurusin Bapak sama Simbok. Trimo enggak mau pulang dari rantau. Kalau bukan Esti, lalu siapa? Mereka mungkin udah berbuat buruk sama Esti dan Nara, tapi tetap aja mereka orang tua Esti juga, kakek neneknya Nara.” Alasan ibunya begitu tulus. Bahkan setelah dibuang pun, ibunya tetap memiliki rasa tanggung jawab terhadap kakek dan neneknya di masa senja. Naraya sendiri bukan tipe orang yang akan melakukan sesuatu secara menggebu-gebu. Setelah pernah menolak, ia tidak memiliki lagi niatan yang sama. Toh, berapa lama umur kakek dan neneknya? Anggap saja maksimal dua atau tiga tahun ke belakang. Kalau ia juga mau kabur dari desa, pastilah saat lulus SMA. Ia duduk di kelas sepuluh, anggap saja dua setengah tahun ke depan ia tetap akan meninggalkan kakek dan neneknya. Ia hanya perlu menggandakan kesabaran. Maka, di sinilah mereka. Diantar Pakde Widodo dan Bude Wiwid, tak lupa si cantik Sabrina yang sebentar lagi masuk SMP. Sebenarnya mereka masih berada di depan rumah, tetapi sesi tangis-menangis sudah dimulai semenjak koper terakhir dinaikkan ke mobil. Bude Wiwid memeluk Naraya sangat erat, seolah tak ingin dipisahkan. Pakde Widodo pun tidak hentinya menyalami ibu sembari memberikan banyak wejangan. Pria itu jarang menangis, tetapi tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Menyisakan Sabrina yang mimbik-mimbik sembari menggelayuti lengan Naraya. “Jangan lupa telpon kalau udah sampai. Kalau ada masalah, langsung telpon Pakde. Jaga mulut juga di mana pun, Ya. Kamu enggak tahu kalau setiap tempat ada penunggunya. Bicara yang sopan, berperilaku yang sopan. Terutama sama orang tua,” pesan Pakde Widodo kepada Naraya. “Iya, Pakde. Nara bakal ingat.” Terkenal sebagai pribadi yang irit kata, Pakde Widodo tak tersinggung bahkan wejangannya mendapat respons sebatas Ya atau bahkan Y. Sebuah pelukan hangat disematkan pada Naraya. Maka sehabis itu tibalah giliran Sabrina mengucapkan salam perpisahan. Ia tampak mimbik-mimbik sembari berucap terbata,”Kalau nanti Mas Nara pergi, siapa yang bakal jauhin Sabrina dari cowo-cowo rese’? Cepetan pulang ya, Mas.” Sontak perkataan Sabrina sedikit melunturkan hawa kesedihan di antara mereka. Naraya sendiri lantas memeluk perempuan yang sudah seperti adiknya itu dengan singkat. “Mas bakal balik kalau kamu minta. Pokoknya Mas bakal balik cepet.” Maka, sampai di sanalah sesi mengantar kepergian itu menemukan akhirnya. Naraya dan ibunya menaiki mobil, meninggalkan rumah dan keluarga yang telah membersamai mereka selama nyaris empat belas tahun. Lambaian tangan Naraya dan senyuman hangatnya seketika luntur ketika teringat akan menghabiskan beberapa tahunnya di tempat yang teramat asing. Sebuah tempat yang tidak menyisakan kesan menyenangkan di hatinya. |Bersambung|

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.8K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook