Part 1

1410 Words
“Namanya Thazin Argan.” Ucap seorang wanita dengan suara lemah lembut dengan sebelah tangan terulur pada si gadis, menunjukkan selembar foto berukuran 4R. “Dhifa harus memanggilnya dengan sebutan Mas Argan.” Gadis kecil yang diberitahu itu mendongakkan kepala, memadang sang wanita dengan tatapan bingung sebelum kemudian mengalihkan tatapannya pada sang ibu yang memberikan senyuman seraya menganggukkan kepala. “Mas Argan.” Ulang gadis kecil itu yang dijawab senyum bahagia si wanita pembawa foto. “Aiih, gemesin.” Pekik wanita itu seraya mencubit kedua pipi si gadis yang meskipun tidak menyukainya memilih untuk tetap diam dan tak banyak berkata. Mata kecilnya lantas memandang selembar foto tersebut, dimana seorang pemuda tampak tertawa dengan ceria ke depan kamera dengan kedua tangan berangkulan dengan teman-temannya. Tampan. Puji gadis kecil itu seraya tersenyum. Wajahnya seperti aktor bule yang sering dia lihat di televisi. “Mas Argan ini calon suaminya Dhifa.” Itu suara lirih milik ibunya. Gadis yang disebut Dhifa itu kemudian mengangkat kepala dan memandang ibunya dengan tatapan kembali bingung. Dhifa tahu, meskipun usianya baru sepuluh tahun, dia tahu apa itu suami. Suami adalah laki-laki untuk ibunya dan ayah untuknya. “Saat dewasa nanti, Dhifa akan menikah dengan Mas Argan, jadi Dhifa, kalo di sekolah nanti ada yang dekat atau ada yang bilang suka, kamu gak boleh mau. Karena kamu, udah punya Mas Argan. Ngerti?” Nadhifa kecil tidak memiliki pilihan. Yang ia tahu, jika ia menikah maka ia akan memiliki orang yang mencintainya seperti ayahnya mencintai ibunya dan seperti ayahnya mencintainya. Dengan pemahaman itu, Dhifa lantas menganggukkan kepala dan kemudian mendapatkan pelukan dari sahabat ibunya. “Mulai saat ini, Dhifa panggil tante Mama. Ma-Ma.” Pinta wanita itu lagi. Nadhifa kembali memandang ibunya dan meminta persetujuan. Wanita yang terlihat pucat itu kembali tersenyum dan menganggukkan kepala. “Mama.” Nadhifa memanggil wanita itu dan kembali mendapatkan pelukan antusias darinya. Waktu kemudian berlalu. Nadhifa kecil kini sudah duduk di kelas satu SMA. Usianya sudah enam belas tahun dan teman-temannya mulai mengatakan kalau Nadhifa kolot karena dia menolak untuk berkencan dan mempunyai pacar seperti teman-teman sebayanya yang lain. Beberapa teman baru yang tidak suka dengan prinsip Nadhifa perlahan menjauh darinya karena menganggap Nadhifa terlalu kolot dan tak bisa diajak bergaul. Namun orang yang menerimanya, masih tetap menemaninya. Salah satunya adalah Aisha. Gadis berkerudung yang menyelesaikan masa sekolah menengah pertamanya di MTs. “Gak usah pikirin apa yang mereka katakan. Lagipula agama jelas melarang kita untuk ‘mendekati’ zina. Berpacaran itu juga mendekati zina dan akan menjadi zina jika kita gak bisa menahan diri.” Tuturnya dengan nada berapi-api kala mereka duduk berdua di bawah pohon rindang setelah panas berolahraga. Nadhifa memandangi teman-temannya yang masih mengejar target waktu lari jarak pendek yang dipimpin guru olahraga mereka kala berkata. “Aku juga bukannya gak mau pacaran, Sha.” Keluhnya yang membuat Aisha memandangnya dengan dahi berkerut. “Tapi sejak SD, Mama aku dan Mama Aul udah bilang kalo suatu saat nanti aku akan nikah sama Thazin Argan.” “Siapa itu Thazin Argan?” tanya Aisha ingin tahu. Dhifa mengedikkan bahu. “Dia anak sahabat baik mamaku dulu.” jawabnya dengan nada tak acuh. “Waktu mama kecil dulu, dia bersahabat baik dengan Mama Aulia. Mereka bilang, mereka berjanji kalau mereka punya anak yang berbeda jenis kelamin, mereka akan menjodohkannya suatu saat nanti.” Aisha memandang Nadhifa tak percaya sebelum kemudian terkekeh geli mendengarnya. “Kayak Siti Nurbaya aja.” Godanya. Nadhifa mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum mengejek. “Ya, semacam itulah.” Akunya lirih. “Terus, kamu udah ketemu sama dia? Kamu suka sama dia?” tanya Aisha ingin tahu. Dua gelengan kepala Nadhifa berikan untuk menjawab kedua pertanyaan sahabatnya itu. “Kalo kamu gak suka, kenapa kamu mau?” tanyanya lagi bingung. “Terpaksa?” tanya Nadhifa dengan lirih. “Aku udah nanya tentang sumpah seperti itu sama pak ustadz. Dan Ustadz bilang, sumpah seperti itu harus tetap dilakukan kecuali salah satu diantara kedua orang yang melakukan sumpah itu menarik sumpah mereka.” “Kamu udah tawar menawar sama Mama kamu?” Aisha penasaran. Dhifa menganggukkan kepala. Bahkan kejadiannya terjadi kemarin sore. “Apa perjanjian Mama sama Mama Aul gak bisa dibatalkan?” tanya Dhifa dengan lirih pada ibunya. kondisi ibunya kian lama memang kian memburuk. Dan Nadifha tidak ingin membuat ibunya semakin banyak pikiran. Tapi sekarang, dirinya sudah paham lebih banyak tentang apa itu pernikahan dan kini ia merasa takut untuk melakukan apa yang diinginkan ibu dan juga sahabat ibunya di masa lalu. “Kenapa harus dibatalkan? Mas Argan-mu akan menjadi suami yang baik. Kamu akan menjadi istri yang bahagia. Dan kamu tahu, kamu akan menjadi menantu yang beruntung karena memiliki mertua yang menyayangi kamu seperti Mama Aul. Sementara diluar sana, banyak menantu yang dirundung sama mertua karena cemburu.” Dhifa menundukkan kepala. Ia tidak puas hanya diiming-imingi seperti itu. baginya, yang utama dalam pernikahan adalah cinta. Seperti cinta ayahnya pada ibunya begitu juga sebaliknya. “Bagaimana kalau Mas Argan gak cinta sama Dhifa?” tanyanya dengan polosnya. “Apa kamu menyukai Mas Argan?” ibunya balik bertanya. Dhifa terdiam. Tentu saja ia menyukainya. Sejak ia kecil ia seolah sudah terbiasa dengan nama Thazin Argan. Betapa baiknya ia, betapa penyayangnya ia pada ibunya. Betapa cerdasnya Argan yang bahkan di usia mudanya sudah berhasil menjadi seorang pengusaha sukses yang memiliki banyak asset. “Mas Argan tidak akan membuat Dhifa kekurangan. Mama Aul janji.” Dan itu juga sebuah kemewahan yang ia dapatkan. Ia dididik untuk menjadi seorang istri bagi Argan sejak tubuhnya cukup kuat dan mampu untuk melakukan semua pekerjaan rumah. Menyetrika, membereskan rumah, memasak dan banyak hal lainnya yang entah apakah gadis seusianya di luaran sana diajarkan hal yang sama atau tidak. “Tapi kami tidak pernah bertemu.” Ucap Dhifa dengan masuk akal. Ibunya kembali menyunggingkan senyum. “Kalau kamu saja bisa menyukai Mas Argan tanpa bertemu dengannya, kenapa dia tidak bisa?” tanya ibunya lagi. Tangan kurus ibunya itu terangkat dan mengusap kepala Dhifa dengan lembut. “Anak Mama sangat cantik.” Pujinya dengan tulus. Dhifa tahu semua ibu akan menyebut putrinya cantik dan tampan meskipun tidak demikian bagi banyak orang. “Rambut kamu bagus, kulit kamu putih dan lembut.” Usapnya di rambut dan lengan Nadhifa. Tentu saja ia memiliki rambut hitam legam yang berkilau. Selain faktor keturunan, itu juga karena ibunya dan Mama Aul rajin memberinya perawatan, sama seperti pada kulitnya. “Dan lebih daripada itu, kamu pintar dan kamu siap menjadi istri.” Lanjut ibunya yang hanya bisa membuat Dhifa terdiam. “Percaya sama Mama, Argan juga akan suka sama kamu.” ucapnya dengan nada menenangkan dengan senyuman cerah terbit di wajah. “Aku suka lihat senyuman Mama. Sampai akhirnya aku janji sama diri aku sendiri kalau memang menikah dengan Argan bisa membuat Mama bahagia. Aku akan lakuin itu.” “Meskipun kamu gak kenal dan belum tentu cinta sama dia dan juga sebaliknya?” tanya Aisha dengan raut khawatir. Dhifa menganggukkan kepala. “Bukannya kamu bilang kalau Allah itu maha pembolak-balik hati?” tanya Dhifa yang dijawab anggukan sahabatnya itu. “Aku hanya bisa berdoa dalam setiap sujudku. Berdoa pada Yang Maha Kuasa untuk memberikanku suami yang baik hati, yang akan menyayangiku, ibuku dan anak-anak kami kelak. Jika memang Mas Argan adalah jodohku, maka buat hatinya terketuk untuk mencintaiku. Jika tidak, maka aku minta Allah menunjukkan sosok yang seharusnya untukku.” Ucap Dhifa dengan lirih. Aisha mengulurkan tangannya dan merangkul bahu sahabatnya. Meletakkan kepalanya di bahu Nadhifa dan menggumamkan doa bahagia untuk sahabatnya itu dalam hati. Sementara Nadhifa hanya menerima pelukan itu dengan tatapan menerawang. Mas Argan. Ucapnya dalam diam. Demi nama itu, aku bahkan tidak menikmati masa remajaku yang sesungguhnya dengan merasakan cinta monyet pada teman sebayaku. Aku tidak bisa menyukai sosok guru lajang yang dipuja-puja teman sekelasku. Dan aku selalu menolak ajakan jalan-jalan apalagi kencan dari pria yang mencoba menarik perhatianku. Semuanya karena Mas Argan, Mama dan Mama Aulia. Karena aku harus menjaga hatiku untuknya. Karena suatu saat aku akan menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang tak pernah aku lihat, aku dengar suaranya dan tak pernah tahu akan kucintai atau tidak. Akan mencintaiku atau tidak. ______________________________ Selamat datang di cerita Mimin yang lain. Siapkanlah tisu untuk membaca cerita ini tapi jangan dulu ditunggu, karena cerita ini belum akan dilanjutkan. Jangan lupa untuk menekan tombol Love/Hati supaya cerita ini bisa tembus 500 follower. Untuk kalian yang baru bergabung, jangan lupa untuk follow IG Restianirista.wp dan pantau story nya supaya kalian tahu cerita mana saja yang Mimin update. Jangan lupa untuk komen ya..Thank U All
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD