bc

Kidung Cinta Astari

book_age16+
236
FOLLOW
1K
READ
family
friends to lovers
powerful
inspirational
doctor
sweet
bxg
small town
first love
teacher
like
intro-logo
Blurb

Astari memiliki keinginan untuk memajukan pendidikan di desa tempat ayahnya dilahirkan meskipun itu berarti ia harus menjadi guru honorer dengan gaji kecil. Setiap hari ia harus menghadapi cibiran ibunya dan juga semakin sedikitnya murid yang datang ke sekolah. Astari tidak akan menyerah karena ia tahu jika pendidikan akan mengubah hidup dan masa depan desanya.

Dante Dhananda Darmawan adalah seorang dokter muda yang baru saja diterima menjadi PNS. Hal itu membuat ibunya marah karena Dante diharapkan melanjutkan spesialisasi di luar negeri dan bekerja di rumah sakit milik keluarganya. Namun, Dante ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi dokter yang berdedikasi tanpa bantuan orang tuanya.

Pertemuan mereka berdua membuat benih asmara hadir di hati Dante dan ia bertekad akan membuktikan pada Astari bahwa dirinya bukan pria kaya yang manja. Bersama, ia akan menggenggam tangan Astari dan memajukan desa gadis itu.

chap-preview
Free preview
1
Bagi banyak orang, keindahan desa selalu mereka rindukan dan cintai. Pemandangan padi yang menguning dan sungai mengalir tenang, burung-burung yang berkicau riang, atau semilir angin yang menyejukkan dan tanpa polusi, yang akan membuat siapa saja merasa nyaman dan damai. Ya, di manapun berada, desa ataupun tanah kelahiran selalu menimbulkan kedamaian. Namun, seiring waktu, keindahan desa tidak lagi bisa memberi kedamaian. Terlebih, ketika desakan ekonomi bertahta di atas segalanya. Desa tidak lagi menjadi tempat yang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Minimnya upah yang diterima, juga sedikitnya jenis pekerjaan yang bisa didapatkan, menjadi dua dari banyak alasan untuk pergi dan merantau. Satu persatu, anak muda di desa pergi untuk mencari pekerjaan yang lebih bisa menjanjikan gaji besar di kota. Mereka semua pergi dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar demi menyambung hidup keluarga di desa. Meskipun begitu, ada juga anak muda yang mencoba untuk bertahan, dengan menjadi guru misalnya. Menjadi guru itu bukan suatu hal yang mudah. Apalagi menjadi guru di daerah pinggiran yang bahkan sulit dijangkau oleh transportasi umum maupun pribadi. Jaman memang sudah modern, tetapi tidak semua wilayah di Indonesia ini merasakan hasil pembangunan yang merata. Ada beberapa wilayah terpencil yang hingga kini masih merasakan minimnya fasilitas pembangunan dari pemerintah. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan semangat seorang gadis muda untuk mengabdikan diri demi memajukan pendidikan di tempat kelahirannya. Astari. Hanya satu kata itu yang disematkan oleh orang tuanya. Sebuah nama sederhana yang mudah diingat dan dilafalkan. Sebuah nama yang, sesuai artinya, diharapkan oleh orang tuanya menjadi seorang gadis yang mandiri, percaya diri, dan juga berwibawa. Sebagai anak sulung, Astari mempunyai beban sendiri untuk membuat orang tuanya bangga. Astari sekarang berusia dua puluh empat tahun. Usia yang sudah cukup matang untuk hidup mandiri, memiliki pekerjaan mapan, ataupun berumah tangga. Namun, hingga saat ini, ia lebih memilih untuk membangun desanya dari ketertinggalan daripada pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan bergaji besar. Menjadi guru adalah cara yang ia pilih untuk memajukan tanah kelahirannya itu. Meskipun itu hanya menjadi guru honorer bergaji kecil. Astari berasal dari sebuah dusun bernama Girimulyo yang terletak di pesisir pantai di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebagian besar warga di sana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau beternak. Tidak banyak yang berprofesi sebagai petani karena tanah yang tandus dan merah sehingga sulit bagi warga untuk bercocok tanam. Beberapa warga yang memilih untuk berkebun, hanya bisa menanam tanaman selain padi, dan tentu saja hasil yang mereka dapat tidak banyak. Harga singkong dan ubi tidaklah mahal, sehingga kadang mereka memilih mengonsumsinya sendiri daripada menjualnya. Astari sendiri cukup beruntung karena bapaknya berprofesi sebagai pegawai desa sehingga ia dan adiknya, bisa mengenyam bangku pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Astari sendiri adalah lulusan pendidikan guru di salah satu universitas negeri di Yogyakarta, sementara adik laki-lakinya, saat ini juga masih berkuliah di kota yang sama meskipun di kampus yang berbeda. Menjadi nelayan seperti sudah menjadi profesi turun temurun di sana. Hampir semua anak-anak di desa itu sudah melaut sejak kecil. Karena itulah, belajar di sekolah bukan hal yang dianggap penting. Bagi mereka, yang penting bisa dapat uang untuk makan. Uang lebih berharga daripada kemampuan membaca dan menulis. Tidak perlu keahlian matematika agar kamu bisa menghitung uang yang kamu dapat. Hal itu pulalah yang menyebabkan sekolah di desa tersebut hanya memiliki sedikit sekali siswa. Jumlah murid yang mendaftar semakin sedikit setiap tahunnya. Satu kelas hanya terdapat kurang dari lima belas siswa dan bahkan jumlah gurunya lebih sedikit lagi. Hanya lima orang untuk enam kelas. Termasuk Astari sendiri. Tempat tinggal Astari sekarang agak jauh dari desa tempat bapaknya dilahirkan. Hal itu karena permintaan Darini, ibunya yang ingin tinggal di tempat yang lebih ‘modern’ walaupun hanya berjarak beberapa kilo dari desa kelahiran bapak Astari itu. Setiap paginya, Astari harus menempuh perjalanan beberapa kilometer dengan sepeda untuk sampai di sekolahnya. Dan perjalanan itu bukanlah melewati jalan yang rata dan mulus. Ia harus melalui jalan berbatu dan menanjak agar sampai di desa tersebut. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Astari untuk membangun dan mencerdaskan anak-anak desanya. Dia tahu dan percaya bahwa suatu saat nanti, warga di desa ini akan menyadari bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting. Astari percaya bahwa hanya pendidikan yang mampu mengubah jalan hidup seseorang. Pendidikan adalah simbol majunya hidup seseorang. Astari ingin desanya maju dan masyarakat di sini mendapat kehidupan yang lebih layak. Orang tua mereka boleh hidup kekurangan, tetapi jika bisa, anak-anak mereka jangan sampai mengalami hal yang sama. Sejak dulu Astari sangat ingin menjadi guru. Bapaknya yang seorang perangkat desa itu, sering mengajaknya mengunjungi desa-desa di sekitar mereka saat ia kecil. Setiap kali ia bertemu anak-anak kecil seusianya, mereka sudah ikut orang tua mereka berkebun atau pergi ke laut, dan hal itu membuat Astari sedih. Semakin ia dewasa, keinginan untuk memajukan desanya semakin kuat. Susilo, bapaknya, memberi dukungan penuh sementara Darini, sang ibu melarangnya. Ibunya lebih suka jika Astari pergi bekerja di Jakarta seperti para gadis-gadis lain di desa itu. Seperti sudah menjadi tradisi juga, begitu menginjak usia remaja, para anak-anak muda akan pergi dari kampung. Entah pergi ke Kota Yogyakarta atau ke Jakarta. Beberapa ada yang pergi berdagang bakso atau mie ayam di kota, beberapa yang memiliki pendidikan lebih tinggi bisa bekerja sebagai buruh pabrik atau pegawai toko. Ada juga yang menjadi pembantu rumah tangga di kota. Apapun pekerjaan mereka di kota, orang tua mereka lebih bangga daripada anak-anaknya hidup di desa seperti Astari. Mereka akan dengan bangga setiap kali sang anak mengirimkan uang untuk sekedar ibunya membeli beras, atau yang lebih membuat bangga lagi, jika sang anak pulang kampung ketika hari Raya dengan mobil sewaan. Kalung dan gelang-gelang emas, walaupun berkarat kecil atau mungkin imitasi, akan selalu membuat para tetangga lain iri dan menginginkan hal yang sama. Setelah itu, setiap kali anak mereka sudah berusia dewasa, anak-anak itu akan diminta oleh orang tuanya pergi ke kota untuk bekerja apa saja. “Mau jadi apa kamu di sini? Orang-orang sini itu ndak bakalan bisa maju. Percuma kamu jadi guru. Kamu capek-capek ngajar, gedenya mereka juga tetep aja jadi nelayan. Mending kamu kerja di Jakarta ikut paklik-mu.” Itu adalah apa yang ibunya katakan saat pertama kali Astari mengemukakan cita-citanya untuk menjadi guru di desa kelahiran bapaknya. Bagi Darini lebih baik Astari menjadi buruh pabrik di Jakarta tetapi bergaji besar daripada tetap tinggal di desa yang tidak ada masa depannya. Namun, Astari tidak goyah. Dengan dukungan penuh bapaknya, ia berhasil menyelesaikan Pendidikan gurunya di Kota Yogyakarta dan akhirnya menjadi guru honorer di sekolahnya saat ini. SD Muhammadiyah Girimulyo. Sekolah tua dan satu-satunya di desa bapaknya. Dan apapun yang dikatakan ibunya, Astari tidak akan menyerah untuk memajukan desanya. Astari yakin, suatu saat nanti, kehidupan di desa ini akan berubah dan derajat para orang tua akan terangkat oleh anak-anaknya yang berpendidikan. *** “Si Lastri habis ngirim uang buat ibunya. Sekarang mereka mau bikin kamar mandi sendiri, ndak usah ke sungai lagi kalau mau mandi, nyuci. Kita kapan, Pak, bisa benerin dapur? Tiap hujan, dapur jadi kayak sumur. Ibu kan juga pengen punya dapur yang ada tempat cuci piringnya kayak di tipi-tipi. Anak ndak bisa diandalkan gajinya. Bapak juga sama aja, gaji cuma segitu-gitu aja.” “Ya, sabar tho, Bu. Kita kan harus kirim uang buat bayar biaya semesterannya Surya. Sabar dulu, itu kemarin juga Bapak sudah benerin gentengnya. Udah ndak bocor lagi kan?” “Lha yo ora bocor, wong ora udan. Coba kalau Astari kerja di kota kayak si Lastri, kan dia bisa kirim uang buat benerin dapur,” gerutu Darini lagi sambil menyiapkan teh manis untuk suaminya. (Lha ya nggak bocor, orang nggak hujan) Astari yang sedang menyantap makan siang, segera menyelesaikan makannya dan membawa piringnya ke dapur. Ia masih harus kembali ke sekolah setelah istirahat siang ini. Anak-anak di kelas enam memiliki jadwal sekolah di sore hari karena kebanyakan dari mereka harus membantu orang tuanya saat pagi. Lagipula, dengan kurangnya guru, sore menjadi pilihan yang tepat walaupun itu berarti Astari harus pulang menjelang maghrib. “Mbok ya kamu itu cari kerja yang gajinya gedean dikit! Gaji sebulan lima ratus ribu mana cukup buat ini itu. Disekolahin mahal-mahal kok cuma kerja begitu! Kalau mau jadi guru, ya sana jadi guru di kota. Ojo nang kene![1]” (Jangan di sini) Selalu itu yang diributkan ibunya. Uang, uang, dan uang. Bagi ibunya, tidak ada yang lebih penting selain memiliki uang banyak dan hidup berkecukupan di kampung ini. Padahal, jika dibandingkan dengan tetangga sekitar, kehidupan mereka sudah berkecukupan. Suami PNS dengan dua anak yang berkuliah adalah hal yang masih langka di sana. Sayangnya, hal itu masih tidak cukup membuat Darini bersyukur. “Astari berangkat dulu, Bu,” ucap Astari sambil meraih tangan ibunya setelah ia selesai mencuci piring. “Kalau ibu ngomong tuh mbok ya didengerin! Kamu itu nek ibu ngomong mestiii nyelamur!” “Bu, nasinya Bapak ada batunyaa!!” “Batu opo tho, Pak!!” gerutu Darini sambil bergegas menghampiri suaminya. Astari tersenyum. Bapak selalu memiliki cara untuk membuatnya terbebas dari ceramah ibunya tentang pekerjaan. Ia bersyukur Bapak mendukungnya meskipun Astari tidak memiliki gaji besar seperti teman-temannya yang lain. Ia selalu ingat apa yang Bapak bilang padanya bahwa menjadi guru itu bukan hanya tentang gaji besar yang ia terima, tetapi juga tentang pahala yang akan ia dapatkan. “Dengan menjadi guru, Astari ikut berperan memajukan bangsa kita. Coba kalau tidak ada yang mau menjadi guru, siapa yang mau mengajari anak-anak itu membaca dan menulis? Gaji guru memang tidak besar, Bapak tahu itu. Namun itu bukan melulu tentang uang, Nak. Ada banyak pahala yang akan lebih banyak kamu dapatkan karena telah mencerdaskan anak bangsa dengan ikhlas. Insya Alloh hidup kamu akan mulia meskipun gaji kamu kecil, Nak. Bapak selalu mendukung kam

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook