“Mas Iqbal marah, kah?” Aku tidak marah. Aku tidak pula cemburu. Aku hanya sedang menikmati bagaimana Naya mencoba membujukku. Baiklah, aku memang kurang suka kalau Naya memuji laki-laki lain di depanku, tetapi itu tidak sampai membuatku cemburu. Arvin adalah pengecualian. Daripada cemburu, aku hanya sudah terlanjur merasa terancam sejak dia begitu dekat dengan Naya sementara aku yang suaminya justru tidak. “Mas, jangan diam aja, dong.” “Enggak, aku enggak marah.” Aku menjawab pelan dengan nada yang kubuat sedatar mungkin. “Bilang enggak marah, tapi judes gitu!” Aku menahan diri untuk tidak tertawa ketika melihat Naya menekuk bibirnya. Aku tebak sebentar lagi justru dia yang akan marah padaku. Seperti sudah hukum alam, perempuan itu sangat pintar membalikkan keadaan. Yang salah siapa