“Mbak Karin, serius ini banyak bangeeet!” Kalau Mbak Ara memberiku dua bungkus kado, maka Mbak Karin tidak tanggung-tanggung langsung memberiku lima bungkus. Katanya, kado-kado itu dipilih langsung oleh kedua anaknya. “Sekali-kali, Nay. Itu rezeki anakmu.” “Tapi lima banget, lho!” “Ya terus kenapa?” “Ya banyak banget. Makasih pokoknya!” “Iya, sama-sama.” Mbak Karin mengangguk, lalu tersenyum. Tatapan Mbak Karin yang semula normal-normal saja, tiba-tiba berubah aneh ketika aku mendekat padanya. Senyumnya juga mendadak penuh maksud. “Kenapa, Mbak?” “Cieee, yang udah punya anak dari Masnya.” Aku langsung tertawa. “Mbak Karin masih ingat ternyata.” “Ya jelaslah!” Jadi, dulu Mbak Karin adalah orang yang cukup sering aku curhati tentang Mas Iqbal. Ini bicara konteks ketika ak