Aku hanya diam saja sepanjang perjalanan menuju rumah Mama. Mas Iqbal beberapa kali mengajakku bicara, tetapi aku hanya membalas seperlunya. Hari sudah sore ketika Mas Iqbal mengantarku pulang. Aku sempat pingsan dan siang tadi Jogja tiba-tiba hujan. Dia melarang keras aku pulang lebih dulu. Aku melihat rahangnya menegas ketika mengatakan itu. Dia terlihat marah, tetapi nadanya sama sekali tidak naik. Nadanya tetap rendah, membuatku jadi tidak enak sendiri. “Kenapa berhenti?” tanyaku ketika Mas Iqbal menepikan mobil di pinggir jalan sebelum masuk area kompleks perumahan rumahku—maksudku, rumah Papa dan Mama. “Naya ...” sekali lagi Mas Iqbal memanggilku lembut. Aku tak menghitung seberapa banyak dia menyebut namaku hari ini. “Apa?” aku menjawab, tetapi tak menoleh. “Aku bisa makl