Nindy benar-benar sangat kesal setelah tahu orang yang telah membuat anaknya menangis adalah Ethan. Dirinya langsung saja menggendong Elang guna menyusul Ethan yang telah pergi terlebih dulu.
"Beraninya dia, aku tidak akan membiarkan b******n itu membuat anakku menangis," ujar Nindy emosi sekali rasanya.
Ethan mengambil rokok dan menikmatinya di ruangan khusus merokok. Di sana sangat tenang membuat ia cukup nyaman daripada berada di ruangan bersama Julia.
Wanita itu sangat baik namun Ethan tetap tidak menyukainya meski sudah 5 tahun menikah. Bahkan selama mereka berhubungan Ethan tak pernah sadar dan mengingat wanita yang tak seharusnya ia pikirkan lagi.
Ethan menghela napas panjang ketika tiba-tiba teringat akan kejadian 5 tahun. Sebuah kejadian yang membuat seluruh hidupnya menjadi tak tenang hingga sekarang.
"Kau!"
Ethan mengerutkan dahinya tatkala mendengar suara teguran itu. Ia menoleh dengan bibir berkerut. Sesaat kemudian mengangkat alisnya melihat Nindy datang dengan menggandeng anak laki-laki yang tadi mengajaknya berkonfrontasi.
Elang menatap Ethan dengan sedikit sinis, tentu dibalas lebih sinis oleh Ethan membuat Elang menyembunyikan wajah di belakang ibunya.
"Apa kau ini memang sangat gila? Kau sudah dewasa kenapa membuat anak kecil menangis," omel Nindy langsung saja.
Kerutkan di dahi Ethan semakin dalam. "Kenapa kau ikut campur? Apa kau tahu kejadiannya?"
"Aku tidak peduli apa pun alasannya. Tapi seharusnya kau yang tahu diri, Tuan Ethan! Dia anak kecil, kenapa kau malah memarahinya sampai menangis? Apa memang kau sangat hobi membuat orang menangis?" Nindy kembali berbicara dengan tatapan sebal hingga wajahnya memerah.
Mata Ethan menyipit melirik anak kecil pembuat masalah itu lalu beralih menatap ke arah Nindy lagi.
"Anak ini memang salah karena dia yang mendorongku dulu. Lagipula kenapa jadi kau yang marah? Apa kau ibunya?"
Nindy mendadak gugup ketika pertanyaan itu terlontar. Ia terlalu marah sampai lupa dengan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Nindy berdehem pelan guna menguasai dirinya.
"Sebagai suster di sini aku harus memastikan kenyamanan semua pasienku. Kau membuat anak ini menangis, jadi aku harus melakukan ini. Menegur orang yang tidak bertanggungjawab sepertimu," ujar Nindy mencari alasan yang paling masuk akal.
"Tanggung jawab?" Ethan justru tertawa mendengarnya. Ia menunduk menatap Elang sedikit tajam. "Justru anak ini yang menggigit tanganku," tunjuknya pada tangannya yang masih membekas gigi Elang tadi.
"Huaaaa Om itu memelototiku!" Elang menjerit keras seraya menyembunyikan wajahnya di belakang Nindy lagi seolah ketakutan.
"Ethan! Kau menakutinya!" sentak Nindy balas melotot ke arah Ethan. Jika menyangkut anaknya ia tentu harus pasang badan.
Ethan masih menatap Elang yang kini memasang wajah mengejek ke arah Ethan seolah sangat senang Ethan dimarahi oleh Nindy. Ethan mendesis pelan, tidak menyangka jika anak laki-laki itu sangat licik juga.
"Dasar b******n kecil! Kau menipu Nindy untuk memarahiku?" cibir Ethan.
"Bu, lihatlah! Dia terus memarahiku, dia tidak mau meminta maaf. Om ini jahat, Bu!" Elang semakin memanasi, bergelayut manja di paha Nindy dengan ekspresi ketakutan.
Ethan mengernyit kesal, ia menatap tangan kecil itu dengan seenaknya melingkari paha Nindy. Bahkan menciumi tangannya. Melihat itu rasanya Ethan ingin memaki karena anak itu menang banyak.
"Kau memang pria gila! Aku peringatkan padamu ya, sekali saja kau berani membuatnya menangis lagi, aku akan membuat perhitungan padamu!" sergah Nindy memberikan tatapan penuh ancaman ke arah Ethan sebelum mengendong Elang kembali. "Ayo, Elang. Kalau orang ini mendekatimu lagi, gigit saja lebih keras," ucap Nindy sangking kesalnya.
Ethan semakin kesal sekali, baru saja ia ingin menjawab ucapan Nindy namun tatapan matanya kembali teralihkan pada sosok Elang yang kini menyandarkan dagunya pada bahu Nindy. Anak itu tersenyum penuh kemenangan seraya menjulurkan lidahnya seolah meledek Ethan.
"Kurang ajar sekali dia, pasti Ayahnya sama menyebalkan juga. s**t! Anak itu siapa sebenarnya?"
***
Semenjak bertemu Nindy, Ethan merasa ada yang berbeda dari dirinya. Selama 7 tahun ini ia masih mudah menyangkal perasaan yang sering timbul dan tak seharusnya itu dengan mengesampingkan segalanya. Ia pikir masih bisa mengendalikan perasaannya sendiri setelah bertemu Nindy, namun ternyata semua salah besar.
Saat bekerja saja pikiran gila itu kembali muncul bersamaan hasrat dan rasa ingin memiliki itu kembali hadir. Ethan sudah berkali-kali dengan berjanji kepada dirinya sendiri untuk tak lagi memikirkannya apagai menemuinya.
Sayangnya, semua tidak semudah yang ia bayangkan.
Malam ketika pulang dari kantor Ethan meminta Antoni mengantarkan dirinya ke tempat yang tak seharusnya.
Rumah sakit tempat Nindy bekerja.
Kali ini Ethan hanya mengikuti apa yang ada dalam benaknya. Bahkan tidak punya niat apa pun selain melihat Nindy. Tatapan sendu itu seperti memenuhi seluruh otaknya hingga sulit mengendalikan diri.
"Tuan, kenapa kita kesini?" tanya Antoni heran. "Bukankah Nyonya Julia sudah pulang?"
Ethan melirik Antoni sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah rumah sakit itu lagi. Jika ia tiba-tiba datang dan hanya ingin bertemu Nindy, pasti akan sangat aneh. Lagipula akan sangat lucu jika Ethan melakukan hal itu. Bukankah dulu ia yang memilih mengakhiri hubungan mereka?
Ethan terkekeh kesal pada dirinya sendiri. Memang sudah benar Nindy itu tidak datang ke kehidupannya lagi. Kini wanita itu benar-benar mengacaukan segalanya.
"Antoni, apa kau pintar memukul orang?" Ethan bertanya pada asistennya.
"Maksudnya, Tuan?" Antoni mendadak gugup, memberanikan diri melirik Ethan yang ada di belakang.
Ethan menyeringai licik. "Aku ingin memberikannmu tugas."
*
Beberapa saat kemudian Antoni dibuat gemetaran akan perintah yang dikatakan Ethan selanjutnya. Kini keduanya sudah ada di tempat yang cukup sepi. Dan lebih gilanya lagi Ethan memberikannya perintah yang tak terduga.
"Pukul aku," ucap Ethan tanpa beban sama sekali. "Buat aku terluka," imbuhnya lagi dengan senyuman tipis.
"Tu-an maksudnya bagaimana?" Belum apa-apa saja Antoni sudah gemeratan. Mana mungkin ia berani memukul wajah Tuannya yang tampan tanpa cela itu.
"Jangan banyak bertanya, lakukan saja tugasmu sekarang. Cepat pukul aku!" Ethan memerintah dengan mendesak.
"Tuan."
"Cepat!" bentak Ethan tak sabar. "Pukul aku atau kubunuh kau!" ancamnya geram.
Antoni semakin gemetaran, mau tak mau ia segera memukul Ethan namun tak terlalu keras.
"s**t! Lebih keras, buat babak belur saja!" Ethan semakin mendesak. "Aku tidak akan marah!"
Antoni sebenarnya masih takut, namun Ethan terus mendesak membuat ia segera menuntaskan saja. Memukuli Ethan seusai perintah pria itu hingga bibirnya robek begitu pun pelipisnya.
"Tuan, Anda sudah terluka parah. Maafkan saya, Tuan ...." Antoni langsung bersujud meminta pengampunan, lebih takut nasibnya setelah ini bagaimana.
Bukannya marah Ethan justru tertawa, ia mendesis pelan merasakan nyeri pada wajahnya. Namun, bukankah dengan seperti ini penyamarannya semakin sempurna? Dengan begitu ia punya alasan untuk bertemu Nindy tanpa terlihat jika memang ingin bertemu.
"s**t! Kenapa aku sebodoh ini sekarang," umpat Ethan dalam hatinya.
Bersambung~