Bab 6. Wirya Mengakui

1607 Words
Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Wirya mengendarai mobilnya, dengan Liona duduk di sampingnya. Setelah semalam menginap di rumah Wirya, mereka berdua berangkat menuju rumah orang tua Liona. Suasana dalam mobil tampak tenang, meski ada ketegangan yang tak tampak jelas. Liona terlihat melamun, sesekali menatap keluar jendela, sementara Wirya sesekali meliriknya, mencoba memberi dukungan tanpa mengganggu ruang pribadinya. Liona baru saja melewati malam yang penuh emosional setelah pertemuan yang tidak nyaman dengan Ryan dan Vina. Sebelumnya, dia belum tahu bahwa kata-kata yang sempat terlontar dari bibirnya, tentang ibu tirinya, Vina, yang dianggapnya sebagai "w************n" telah sampai ke telinga Doni. Kata-kata itu, meskipun keluar dalam keadaan sangat terluka, tentu saja menambah ketegangan dalam hubungan mereka. "Om, aku tidak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini," kata Liona dengan suara pelan, hampir tak terdengar. "Aku cuma ... kesal dan sakit hati. Semua yang terjadi kemarin itu terlalu berat buatku." Wirya menghela napas dan menepikan mobil di depan gerbang rumah Liona. "Aku tahu, Liona. Tapi, jangan biarkan emosimu menghancurkan hubunganmu dengan orang tuamu. Mereka pasti mengerti kalau kamu sedang terluka." Liona menunduk, ragu-ragu untuk keluar dari mobil. "Aku tidak yakin mereka akan mengerti. Terutama Ayah. Dia pasti marah besar nanti." "Tapi kamu juga harus ingat, kamu punya hak untuk marah, Liona. Mungkin ayahmu belum bisa memahami sepenuhnya apa yang kamu rasakan. Kita hanya perlu memberinya waktu." Wirya berkata dengan lembut, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan. Akhirnya, mereka keluar dari mobil, dan Liona menatap rumah besar yang tampak kokoh di depannya. Di sana, di dalam rumah itu, ada orang tuanya, Doni dan ibu tirinya, yang tentunya sudah mendengar banyak cerita, terutama dari Vina yang tidak pernah puas dengan hubungan Liona untuk menjauhkan ayahnya. "Kalau Ayah marah, aku harus bagaimana, Om?" tanya Liona sambil melangkah perlahan menuju pintu depan. "Tenang saja. Aku akan di sini untuk membantu kamu," jawab Wirya dengan meyakinkan, sambil menahan Liona untuk tidak terlalu cemas. "Biar aku yang bicara dulu. Kamu cuma perlu bicara kalau kamu siap." Namun, begitu mereka membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah, suasana langsung berubah menjadi tegang. Doni, ayah Liona, sedang duduk di ruang tamu, wajahnya tampak tegang dan serius. Di sebelahnya, Vina, ibu tiri Liona, duduk dengan ekspresi dingin. Namun, Vina sepertinya tidak mampu menahan diri dan langsung melontarkan pertanyaan. "Liona, kamu tahu tidak apa yang kamu katakan kemarin?" tanya Vina dengan nada tinggi. "Aku tidak terima disebut seperti itu! Kamu bisa lebih menghargai ibu kamu, bukan dengan mulut yang kotor seperti itu!" Liona terdiam. Hatinya bergejolak antara rasa kesal dan bingung, tidak tahu harus bagaimana. Doni yang semula diam akhirnya angkat bicara dengan suara yang lebih keras. "Jadi, benar apa yang aku dengar? Kamu bilang ibu tirimu itu w************n? Apa yang ada di pikiran kamu, Liona? Ini bukan masalah sepele! Ini masalah keluarga kita!" Liona menelan ludah dan melihat ke arah Wirya, yang berdiri di belakangnya. Wirya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Liona tenang. Liona memejamkan mata sejenak, lalu mulai berbicara. "Aku cuma terlalu emosi, Ayah." Liona berkata dengan suara pelan, berusaha menahan tangis. "Aku merasa sangat sakit hati. Ryan membatalkan pertunangan kami begitu saja dan memilih Vina, itu terlalu berat untuk aku terima. Dan waktu itu, aku tidak bisa mengendalikan kata-kataku." Doni memandangi Liona dengan mata tajam. "Jadi, itu alasan kamu menghina ibu tirimu?" "Ya, Ayah. Tapi aku tahu itu salah," jawab Liona, menunduk. "Aku tidak seharusnya mengatakan itu." Wirya, yang selama ini diam, akhirnya merasa perlu untuk berbicara. "Maaf, Pak Doni, saya ingin menjelaskan sesuatu," katanya, menarik perhatian Doni yang mulai terlihat semakin marah. "Liona memang sangat terluka dan saya mengerti perasaannya. Ryan, anak saya, tiba-tiba membatalkan pertunangan mereka tanpa alasan yang jelas dan itu sangat menyakitkan. Liona merasa terkhianati, apalagi setelah Ryan malah memilih Vina. Saya mengerti kalau itu bukan alasan untuk berkata seperti itu, tapi saya bisa memahami jika dia sangat emosi saat itu." Doni menatap Wirya dengan pandangan penuh curiga. "Kamu, Wirya, orang yang selama ini aku anggap besan yang baikku, malah membela anakku yang kasar itu? Kenapa kamu ...." Wirya menarik napas panjang. "Ada satu hal lagi yang harus saya ungkapkan, Pak Doni," katanya, mencoba menenangkan situasi yang semakin tegang. "Sebenarnya, saya dan Liona sedang menjalin hubungan dan ... saya berniat melamarnya." Doni terkejut, wajahnya berubah seketika. "Apa ... apa kamu bilang?" Suaranya naik dan dia berdiri tegak, hampir tak percaya. "Saya tahu ini sulit diterima," lanjut Wirya dengan tenang. "Tapi saya ingin Liona bahagia dan saya ingin menikahinya." Doni terdiam, matanya menatap Wirya dengan kebingungan dan ketidakpercayaan. "Tunggu dulu, kamu adalah ayah dari Ryan, mantan tunangan Liona dan sekarang kamu ingin menikahi anakku?" Wirya mengangguk pelan, matanya menatap Doni dengan serius. "Saya tahu ini akan membuat semuanya lebih rumit, Pak Doni. Tapi saya ingin Liona bahagia dan saya tidak ingin dia merasa sendiri setelah semua yang terjadi." Silence menyelimuti ruang tamu. Doni yang masih terkejut, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Sementara Vina di sisi lain tampak semakin tertekan, tangannya mengepal kuat. "Apa yang akan terjadi dengan Ryan? Bagaimana jika dia tahu tentang hubungan ini?" tanya Doni, akhirnya memecah keheningan. "Aku akan bicara dengan Ryan nanti," jawab Wirya, mencoba menenangkan. "Tapi, yang lebih penting saat ini adalah kebahagiaan Liona. Saya berharap Anda bisa menerima kami, Pak Doni." Doni memijat pelipisnya, tampak bingung. "Aku ... butuh waktu untuk berpikir tentang ini semua," katanya, akhirnya merendahkan suaranya. Liona hanya bisa menatap kedua orang itu dengan hati yang berat, menyadari bahwa pertemuan ini telah mengungkap banyak hal yang selama ini terpendam. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa sedikit lebih tenang, karena di sampingnya ada seseorang yang peduli padanya, seseorang yang berani mengungkapkan perasaannya, meski segala hal yang mereka hadapi sangat rumit. "Satu hal lagi yang harus Anda tahu kalau sebenarnya Ryan bukanlah anak kandung saya, itu berarti tidak ada masalah dan Anda tidak perlu merasa khawatir terhadap putri kesayangan Anda," kata Wirya melirik ke arah Vina. "Dia masih tetap akan menjadi tunangan Ryan dan dia juga bisa menikah dengan Ryan. Saya bukan meminta izin pada Anda, tapi saya hanya memberitahu kalau saya akan melamar Liona beberapa waktu ke depan." Doni merasa tertekan, jika dia menolak Wirya, perusahaannya bergantung pada Ryan yang ternyata bukan anak kandung Wirya, bisa saja nanti Wirya menghancurkan mereka semua karena Wirya adalah seorang pengusaha besar. Doni takut kalau itu berimbas ke kebahagiaan Vina kalau sampai pertunangannya dengan Ryan hancur. "Kalau begitu saya pamit dulu, tolong bersikaplah baik pada Liona. Jangan terlalu pilih kasih." *** Pagi itu, Ryan duduk di meja makan, menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang sudah lama mendingin. Ada yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang membuatnya tak bisa tenang sejak kemarin malam. Tadi malam, Vina, adik tiri Liona, menelponnya dengan suara terisak. “Ryan, kamu tahu kalau ayahmu sekarang pacaran dengan Liona? Itu bikin aku tidak nyaman, Ryan. Aku tidak bisa terima.” Kata-kata Vina masih terngiang jelas di telinganya. Ryan merasa bingung dan kecewa. Liona, mantan tunangannya, yang pernah dia khianati kepercayaannya. Sekarang dia justru kembali dekat, tapi bukan dengannya, dengan ayahnya. Itu sangat sulit diterima Ryan. Hanya beberapa menit setelah mendengar keluhan Vina, Ryan memutuskan untuk langsung berbicara dengan ayahnya. Tidak bisa menunggu lebih lama. “Ayah, aku mau bicara sebentar,” kata Ryan akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Wirya, yang sedang duduk sambil memeriksa ponselnya, mengalihkan pandangannya ke Ryan. “Tentu, ada apa?” jawab Wirya sambil menurunkan ponselnya dan memberi perhatian penuh pada anaknya. Ryan menarik napas panjang, menatap ayahnya yang masih tampak santai. “Kenapa Ayah berpacaran dengan Liona? Aku dengar dari Vina kalau hubungan kalian sekarang lebih dari sekadar .... aku tidak mengerti, Pak.” Wirya tersenyum tipis, seolah merasa pertanyaan Ryan tidak begitu penting. “Oh, itu. Kenapa kamu khawatir, Nak?” kata Wirya, berusaha tenang. “Aku pikir hubunganmu dengan Liona sudah selesai sejak kamu membatalkan pertunangan itu. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ryan merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatinya. Tentu saja, dia sudah membatalkan pertunangan dengan Liona. Dia telah memilih Vina dan menurutnya itu adalah keputusan terbaik. Namun, melihat ayahnya dekat dengan Liona, dia merasa cemas dan marah tanpa bisa menjelaskan secara jelas alasan di balik perasaannya. “Ayah, tapi Liona itu .…” Ryan mencoba menyusun kata-kata. “Dia itu mantan tunanganku Ayah. Aku tidak bisa membayangkan kalau Ayah pacaran dengan dia. Apa tidak ada yang aneh, Ayah? Liona itu kakaknya Vina.” Wirya menatap anaknya dengan penuh pengertian. “Ryan, kamu sudah memutuskan untuk berpisah dengan Liona, itu keputusanmu, bukan? Aku dan Liona tidak ada urusan dengan itu. Kami tetap saling menghormati dan aku rasa hubungan kami tidak akan mengganggu hubunganmu dengan Vina.” Ryan menunduk, merasa semakin bingung dan marah. “Tapi, Ayah, aku tidak bisa terima kalau Liona ada di sekitar keluarga kita lagi. Apa tidak ada rasa bersalah sedikit pun?” tanyanya dengan suara gemetar. Wirya menggelengkan kepala, sedikit tertawa. “Tidak, Nak. Kalau kamu merasa sudah melangkah maju dengan pilihanmu, kenapa aku dan Liona harus merasa bersalah? Aku bahagia dengan keputusanku. Dan aku yakin, hubungan kami tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Vina.” Ryan terdiam. Meski ayahnya berbicara dengan yakin, ada perasaan yang terus mengganggu hatinya. “Aku tahu, Pak, kamu bebas memilih siapa yang kamu mau. Tapi, hati aku nggak bisa terima kalau Liona jadi bagian dari keluarga kita lagi.” Wirya menatap Ryan lebih dalam, seolah mencoba memahami perasaan anaknya. “Ryan, kamu harus bisa menerima kenyataan. Liona tidak akan menghalangi apapun dalam hidupmu. Aku juga tidak akan membiarkan itu mengganggu hubunganmu dengan Vina.” Ryan masih merasa tidak ikhlas jika Liona, wanita yang pernah mengisi hidupnya, kembali mendekat, bahkan menjadi pacar ayahnya. "Apa ini karena aku bicara pada Liona tempo hari? Sejak kapan hubungan mereka berjalan?" tanya Ryan dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD