Bab 10. Lamaran

1611 Words
Doni duduk di sofa, memandangi Liona dengan tatapan yang penuh keraguan. Di samping putrinya, duduk Wirya, pria yang telah melamarnya, membawa secarik harapan besar untuk masa depan Liona. Namun, bagi Doni, itu adalah momen yang penuh ketegangan. Putrinya, akan menikah dengan seorang duda, seorang pria yang pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya. Liona, dengan senyum lembut di wajahnya, menatap ayahnya. "Ayah, ini bukan tentang masa lalu Om Wirya. Ini tentang bagaimana dia memperlakukanku sekarang." Suaranya tenang, penuh keyakinan, meskipun tahu ayahnya meragukan pilihan hatinya. Doni menghela napas panjang. "Liona, kamu tahu, kan bahwa pria yang sudah menikah dan bercerai membawa banyak sekali masalah. Ayah hanya ingin kamu hati-hati." Ia tidak mampu menutupi keraguan yang meresap dalam dirinya. "Kamu yakin dengan keputusan ini? Kamu akan menikah dengan seorang duda?" Liona menatap ayahnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Wirya yang duduk di sampingnya. Ia merasakan kedamaian yang langka bersama pria ini dan tidak ada yang bisa menggoyahkan hatinya. "Ayah, aku tidak masalah dengan status duda Om Wirya. Yang penting bagiku adalah komitmennya. Yang terpenting adalah kesetiaan, bukan status atau masa lalu seseorang." Doni terlihat semakin tidak nyaman dengan jawaban putrinya. "Tapi, Liona, bagaimana kalau dia hanya akan meninggalkanmu lagi seperti istrinya yang pertama?" Liona menyadari bahwa ayahnya tidak akan bisa memahami perasaannya sepenuhnya. Ia memutuskan untuk menjawab dengan lebih tegas. "Ayah sendiri, kan pernah melukai ibu dulu? Ayah berselingkuh dengan Tante Farah sekarang. Kenapa Ayah harus menghakimi orang lain hanya karena status mereka?" Sindiran itu terlontar dengan sengaja, menyentil kenyataan pahit dalam rumah mereka yang selalu disembunyikan di balik senyum dan keheningan. Doni terkejut. Tatapannya menjadi lebih tajam, dan ia sejenak terdiam. Perasaan cemas yang melanda dirinya bertemu dengan kenyataan yang menyakitkan. Sindiran Liona memang benar, meskipun ia tidak pernah mengakui perbuatannya, Doni tahu ia tidak bisa sepenuhnya membela diri. Suara itu mulai terdengar lebih rendah. "Liona, kamu tidak adil. Itu masa lalu yang sudah lama dan kita semua belajar dari kesalahan kita." Farah mulai angkat bicara. Namun Liona tidak mundur. "Tapi Ayah, sudah membuat pilihan dan aku pun begitu. Kita semua punya hak untuk memilih siapa yang kita cintai, meski kadang itu berseberangan dengan apa yang orang lain inginkan." Ia memandang Wirya dengan penuh kasih. "Aku tahu siapa dia sekarang. Aku tahu dia tidak akan meninggalkanku." Mendengar itu, Farah, ibu tiri Liona, yang duduk di samping Doni, merasa sepertinya dunia berputar lebih cepat. Sindiran Liona jelas bukan hanya untuk Doni, tapi juga untuk dirinya. Farah tahu bahwa hubungan Liona dengan Ryan, mantan tunangannya yang kini menjadi calon anak tirinya, hancur karena selingkuh dengan Vina. Tapi sindiran Liona yang mengarah ke perselingkuhan Doni itu membuat Farah merasa seolah dia sedang diperiksa, disalahkan tanpa ada yang menyadari perasaannya. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan wajah memerah, Farah berdiri dari kursinya dan tanpa berkata apa-apa, berjalan menuju kamarnya. "Ini semua sudah cukup," ucapnya lirih, dan pintu kamar pun tertutup dengan keras. Doni mengalihkan pandangannya dan wajahnya tampak semakin memucat. Liona menatap ke arah Farah dan meskipun ia tidak ingin memperburuk keadaan, kata-kata yang keluar begitu jujur dan penuh makna. Ia merasa terjebak antara perasaan sayang pada ayahnya, dan kenyataan pahit yang telah terjadi dalam keluarganya. Namun, itu adalah keputusan yang telah diambilnya, dan ia tidak bisa mundur. Setelah beberapa saat hening, Liona mengalihkan perhatian pada Wirya. "Ayah, Wirya adalah pria yang tepat untukku. Aku ingin dia menjadi suamiku. Kami akan menikah sepuluh hari lagi." "Jika itu pilihanmu, Liona," kata Doni akhirnya dengan suara berat, "Ayah akan mendukungmu, meskipun ini bukan yang Ayah inginkan." Liona tersenyum dan untuk pertama kalinya hari itu, ada rasa lega yang mengalir dalam dirinya. Meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia dan ayahnya akan selalu berada di dua dunia yang berbeda. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin mengikuti kata hatinya. "Terima kasih sudah ingin mendukung kami." Wirya, dengan senyum penuh kebanggaan, menyematkan cincin berlian yang berkilau di jari manis Liona, sebuah simbol bahwa mereka akan segera memulai perjalanan hidup baru bersama. Suasana menjadi lebih meriah, namun ketegangan di dalam hati Farah tidak bisa disembunyikan. Dia memandangi Liona yang kini resmi bertunangan dengan Wirya dan meskipun ia tersenyum, perasaan iri dan kesal semakin menyelimutinya. Liona bisa bahagia dengan pilihannya, tetapi Farah merasa seperti berada di tempat yang salah, di tengah keluarga yang tak pernah bisa dia pahami. Kini, dengan cincin di jari, ia dan Wirya siap melangkah menuju masa depan yang mereka inginkan. Namun, sementara itu, Farah hanya bisa menatapnya dari jauh, menahan perasaan kesal yang tak terucapkan, sambil berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak perlu merasa terancam. *** Pagi itu, Vina berjalan dengan langkah hati-hati di lorong kampus, berusaha untuk tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, meskipun ia berjalan dengan perlahan dan menunduk, bisik-bisik dan tatapan tajam tak bisa dihindari. Sejak gosip tentang dirinya menyebar, setiap langkah di kampus terasa seperti beban yang semakin berat. Orang-orang sepertinya tak bisa berhenti berbicara tentang dirinya, membicarakan dirinya seolah ia bukan manusia, melainkan sekadar subjek untuk dilecehkan. “Dengar-dengar, Vina tuh benar-benar tak tahu malu, ya?” Suara seorang perempuan terdengar di dekatnya. "Dia merebut calon tunangan kakaknya sendiri! Sama persis kayak ibunya yang merebut ayahnya dari istri pertama.” Vina merasa tubuhnya kaku. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seolah tak ada yang peduli tentang bagaimana perasaan orang yang mereka bicarakan. Ia mencoba untuk tetap tenang, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang retak. Mungkin lebih dari satu hal yang retak, mungkin seluruh hidupnya sedang dihancurkan oleh desas-desus. “Tidak tahu deh, kalau aku sih, kalau jadi Liona bakal mau sekali. Dia ditinggalin Ryan, eh, malah dapat ayahnya. Om Wirya kan pengusaha kaya, jadi tidak heran Liona lebih unggul dari Vina,” lanjut suara lain. Vina merasa pipinya memanas. Ia ingin berteriak, mengatakan bahwa ia tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Ia ingin menjelaskan bahwa semua ini salah, bahwa ia bukan orang yang mereka bayangkan. Namun, mulutnya terasa kaku, dan otaknya dipenuhi kegelisahan yang menghalangi setiap kata untuk keluar. “Pantas Ryan lebih pilih Vina daripada Liona. Liona sudah ditinggalin sama Ryan, terus dia malah bisa dapetin Wirya, yang benar-benar kaya. Lihat aja deh, Vina ... sama kayak ibunya, kan? Yang penting gatal.” Salah seorang mahasiswa menambahkan, berbicara lantang seakan Vina bukan hanya orang yang lewat, tapi menjadi objek pembicaraan mereka yang layak dihina. Vina menelan air liur. Ternyata, gosip itu lebih cepat menyebar daripada yang ia bayangkan. Orang-orang di kampus sudah tahu bahwa ia digosipkan sebagai perusak hubungan kakaknya, Liona dengan Ryan. Tak hanya itu, mereka juga tahu bahwa Wirya, bukan ayah kandung Ryan. Semua perasaan Vina yang terkubur semakin terasa sesak. Ia merasa direndahkan dan tak ada satu pun yang membelanya. Tanpa bisa menahan perasaan, Vina mempercepat langkahnya, mencari jalan keluar dari keramaian itu. Ia bergegas menuju parkiran kampus, tempat di mana Ryan sudah menunggunya di dalam mobil. Ryan, lelaki yang kini telah mengambil tempat besar di hatinya, namun juga membuat hatinya terombang-ambing dengan segala ketidakpastian. Setelah membuka pintu mobil dan masuk, Vina langsung menyembunyikan wajahnya yang mulai basah oleh air mata. Ia merasa begitu lelah, namun lebih dari itu, ia merasa sangat dihina. Hanya dalam beberapa hari, seluruh dunia seakan berbalik melawannya. Kapan pun ia berusaha untuk tetap tenang, kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Ryan menatapnya dengan cemas. "Vina, apa yang terjadi?" Suaranya lembut, tapi ada ketegangan yang terasa. “Kamu tidak perlu dengar kata-kata mereka, mereka tidak tahu apa-apa.” Vina mengangkat wajahnya, menatap Ryan dengan mata penuh kesedihan. “Kenapa mereka semua membicarakan aku seperti itu? Mereka bilang aku merebut tunangan kakakku, dan ... sama seperti ibu yang merebut ayahnya dari istri pertama.” Air mata yang tertahan kini mengalir begitu saja. “Apa benar, Ryan? Apa aku benar-benar seperti itu?” Ryan terdiam sejenak, ragu. “Vina... kamu tidak seperti itu. Itu hanya gosip. Mereka tidak tahu cerita sebenarnya.” Ia mengusap pelan rambut Vina, berusaha menenangkannya, meski ia sendiri tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk menghapus luka di hati Vina. Vina merasakan sedikit kehangatan dari sentuhan Ryan, tapi itu tak cukup menghilangkan kepedihan yang mencekam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi tetap ada rasa hampa di dadanya. “Aku hanya ingin semuanya kembali normal, Ryan. Aku ingin mereka berhenti membicarakan aku, tapi bagaimana kalau aku benar-benar hina seperti ini? Bagaimana kalau aku tidak punya teman lagi?” suara Vina terdengar penuh ketakutan. “Mereka semua menganggap aku sebagai perebut.” Ryan mendengus, meremas kemudi mobilnya. “Vina, kamu harus kuat. Aku tahu itu tidak mudah, tapi jangan dengarkan mereka.” Ia menoleh, mencoba memberikan Vina sedikit senyuman untuk menenangkan. “Aku tidak akan biarkan kamu dihancurkan oleh gosip-gosip bodoh itu.” Namun, saat itu juga, pandangan Ryan tiba-tiba mengarah ke arah pintu masuk kampus. Vina mengikuti arah pandangnya, dan melihat Liona keluar dari gedung kampus dengan langkah anggun, dijemput oleh Wirya, yang baru saja datang dengan mobil mewahnya. Liona masuk ke dalam mobil Wirya dengan senyum cerah, seperti tidak ada beban yang menimpanya. Vina merasakan sakit di dadanya saat melihat Ryan yang masih menatap Liona dengan pandangan yang diartikan cemburu. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Ryan memandang Liona, sesuatu yang mengisyaratkan lebih dari sekadar perhatian ingin tahu. “Ryan?” Vina mencoba menarik perhatian Ryan, tapi suara Vina seakan tenggelam dalam pikiran Ryan yang tampak terganggu. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan cemburu yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ryan menoleh, terkejut melihat Vina yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Maaf, Vina," katanya pelan, mencoba memberi penjelasan. "Aku hanya ... berpikir. Maksudnya sedang banyak pikiran. Maaf." Vina merasa hatinya dipenuhi dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia ingin mengerti, tapi melihat bagaimana Ryan begitu terfokus pada Liona, membuat cemburu itu semakin tumbuh, tak terelakkan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ryan? Apa kamu masih punya perasaan pada Liona?” batin Vina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD