2~BC

1257 Words
Cinta baru memasuki ruang keluarga dengan langkah gontai, saat Ciara menghampiri dan menamparnya tanpa aba-aba. Plak! Tamparan itu mendarat telak di pipi Cinta. Begitu keras, hingga kepalanya refleks menoleh dan matanya terpejam erat menahan perih. Udara di ruang keluarga Naratama mendadak menegang, membeku. Belum puas dengan satu tamparan, Ciara lantas mendorong Cinta dengan keras. “Dasar perempuan murah!” makinya tajam. Tubuh Cinta limbung dan jatuh terduduk di lantai. Ia hanya duduk diam, memegangi pipinya yang terasa panas. Tidak membalas dan enggan melakukan apa pun. Membiarkan Ciara melakukan apa yang ingin gadis itu lakukan. “Kamu, kan?” Ciara menuding penuh tuduhan. “Kamu yang godain Bias!” “Mana mungkin.” Cinta menatap lurus ke depan. Tidak ada air mata, tidak ada ekspresi. Hanya suara datarnya yang terdengar jelas di ruangan tersebut. “Aku di sana ikut teman liputan dan nggak sengaja ketemu Bias. Dia open table sama temannya, dan dia duluan yang ngajak aku gabung ke mejanya.” “Bullshit!” Ciara menjerit sambil menggeleng. Tidak percaya dengan penjelasan saudara tirinya. “Apa papa masih lama, Ma?” tanyanya pada Briana, sang mama yang sejak tadi hanya duduk diam di sofa. Menatap drama yang ada. “Mungkin, sekitar lima belas menit lagi,” jawab Briana sambil melirik jam tangan. Lalu tatapannya jatuh pada Cinta, tajam dan penuh penghakiman. “Jangan harap kamu bisa dapat keuntungan dari kekacauan ini.” Cinta hanya menarik napas pelan. Ia sudah tahu, resiko apa yang akan diterimanya di rumah, di kantor, dan masyarakat nantinya. Namun, rencana sudah separuh jalan, tinggal menuntaskannya saja. “Nyah! Di luar ada Pak Danuar sama istrinya,” ujar asisten rumah tangga keluarga Naratama yang masuk dengan tergopoh. Ciara menelan ludah. Menatap Briana yang bergegas bangkit dan pergi keluar dengan tergesa untuk menemui keluarga Manggala. Kedatangan orang tua Bias secara tiba-tiba, pasti untuk membahas perihal foto-foto dan video putranya yang sudah tersebar luas. Ciara kemudian berjongkok di depan Cinta. Mendorong pelipis gadis itu dengan telunjuknya. “Kamu, diam di sini!” Cinta tersenyum miring saat Ciara sudah pergi dari hadapannya dan bergumam, “Permainan, baru dimulai.” ~~~~~~~~~~~~~~~ “Kedatangan kami ke sini untuk men-clear-kan gosip yang sudah beredar liar di luar sana,” ucap Danuar setelah kedua keluarga besar berkumpul di ruang tamu. “Jadi, Bias bilang dia memang bertemu dengan Cinta. Mengundangnya ke meja dan mereka cuma sebatas bicara. Dan selanjutnya, Bias nggak ingat apa-apa lagi.” “Cinta,” panggil Kiano menatap kesal pada putrinya yang selalu membuat ulah. “Apa lagi sekarang?” Cinta menunduk dan mulai terisak. “Kalau saya juga bilang nggak ingat apa-apa, apa kalian semua akan percaya?” “Cintaaa.” Bias mengepalkan kedua tangannya. Napasnya berat. Wanita itu benar-benar ular. “Berhenti sandiwara." “Bias,” tegur Alma menggeleng pada putranya, lalu kembali menatap Cinta. “Bicaralah, karena kami akan mendengar semuanya.” Cinta mengangkat wajahnya yang basah. Matanya memburam karena air mata, suaranya serak. “Apa saya salah datang ke meja Mas Bias, Tan?” tanyanya masih saja terisak. “Mas Bias yang ngundang dan demi menghormati beliau, saya datang dan kami ngobrol. Bukan saya yang nyelonong datang ke mejanya, tapi Mas Bias yang ngajak.” Cinta menarik napas panjang. Mengusap jejak basah di wajahnya. “Jadi, saya juga nggak tahu dan nggak ingat apa-apa. Saya juga makin bingung, kenapa pagi-pagi saya bangun di samping Mas Bias. Di kamar hotel dan kami—” “Sebentar!” Alma menghentikan kalimat Cinta. “Kalian tidur ... satu kamar?” Cinta menunduk. “Iya, Tante. Dan kami … sudah …” “Mam, aku bisa jelasin,” potong Bias segera. “Aku yakin, aku dijebak karena aku nggak ingat apa-apa.” “Kalian tidur bersama?” Alma kembali mengajukan pertanyaan yang belum sempat terucap. “Satu kamar? Satu ranjang?” “Iya, Tante,” jawab Cinta kembali menunduk dan terisak. “Kami sudah ...” “Mam, aku yakin aku dijebak. Aku bahkan nggak sadar bisa sampai kamar.” “Bias?” Alma menatap tidak percaya pada putranya. “Kenapa kamu nggak ngomong masalah ini? Kita datang ke sini, untuk meluruskan masalah video kalian di bar! Tapi, kenapa mendadak berakhir di ... kamar?” “Mas Bias,” panggil Ciara lirih dan menggeleng. “Ini nggak benar, kan? Kalian berdua nggak sampai berbuat seperti itu?” “Cia ...” Ucapan Bias menggantung, karena belum bisa memberi penjelasan apa pun pada kekasihnya. Ciara pasti terluka karena semua kejadian ini. Saat ini, Bias juga sedang menyelidiki kejadian tadi malam, tetapi ia belum mendapatkan petunjuk sama sekali. “Maafkan saya Pak Kiano dan Bu Briana.” Meski berat, tetapi Alma harus mengambil keputusan. “Sepertinya, kita nggak bisa teruskan acara pertunangan Bias dan Ciara minggu depan.” “Mam—” “Bias.” Danuar menggeleng pada putranya. “Diam dan dengarkan mamamu.” “Tante, kenapa pertunangan kami nggak bisa diterusin?” Ciara pun mulai menitikkan air mata. Isakannya bahkan lebih keras daripada Cinta. “Kami datang untuk menyelesaikan masalah di bar," ujar Alma menatap Ciara. "Tapi yang muncul malah masalah baru. Dan kamu, Cia, harus belajar menerima kenyataan.” “Bu Alma, kita bisa bicarakan lagi semuanya,” kata Kiano melihat Cinta dan Ciara bergantian. “Kita selesaikan semuanya sekarang,” timpal Danuar tidak ingin membuat urusan semakin panjang dan bertele-tele. “Bias nggak bisa lagi melanjutkan hubungannya dengan Ciara dan harus bertanggung jawab dengan Cinta.” "Om, ini nggak adil," protes Ciara. “Pa ...” Bias berdiri dan menggeleng. “Masalah di bar semalam, sedang aku selidiki. Jadi—” Danuar mengangkat satu tangan, memberi isyarat pada Bias agar tidak meneruskan ucapannya. “Masalah di bar tetap akan diselidiki,” ujar Danuar. “Tapi, masalah yang terjadi di kamar hotel antara kamu dan Cinta, itu dua hal yang berbeda. Jadi, acara pertunangan minggu depan, akan berubah menjadi pernikahanmu dengan Cinta.” “Nggak bisa begitu, Om.” Ciara kembali melempar protes, tidak terima dengan keputusan yang diambil sepihak oleh keluarga Manggala. “Apa kata orang-orang nanti? Aku yang pacaran lama sama mas Bias, tapi kenapa Cinta yang harus nikah?” “Betul!” Bias setuju dengan perkataan kekasihnya. “Ini nggak bisa diteruskan.” “Nggak papa.” Celetukan Cinta membuat semua mata tertuju pada gadis itu. “Kalau Mas Bias memang nggak mau tanggung jawab, ya sudah. Lanjutkan aja pertunangannya dengan Cia.” “Betul! Kita bahkan nggak ingat apa-apa, Cin!” Bias setuju dengan ucapan Cinta. “Kita mungkin aja nggak melakukan apa-apa.” “Tapi Mas Bias sudah lihat buktinya pagi tadi, kan?” Cinta berdiri, bicara tanpa ekspresi. “Tapi, ya sudah. Dari kecil, saya sudah biasa diabaikan.” Cinta beralih pada Kiano. “Iya, kan, Pa?” Kiano mengerjap. Tidak siap menerima tuduhan putrinya di depan semua orang. Kali ini, Cinta benar-benar sudah bersikap lancang “It’s okay.” Cinta tersenyum dan mengangguk sopan pada kedua orang tua Bias. “Biar saya yang menanggung semuanya, Om, Tante. Saya—” “Nggak, nggak,” elak Alma ikut bangkit dari duduknya. “Semua sudah ditetapkan. Kamu yang menikah dengan Bias. Kalau nggak, kami akan membatalkan acaranya. Nggak akan ada pertunangan, karena Bias sudah sepatutnya menikah dengan Cinta. Bias, harus bertanggung jawab.” “Ma—” “Bagaimana Pak Kiano?” tanya Danuar memotong ucapan Bias. “Bias dan Cinta?” Kiano mengusap wajah dan menoleh pada Briana yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya sama sekali. “Baik,” jawab Kiano pada akhirnya. “Kita nikahkan Bias dan Cinta, minggu depan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD