BAB 1 MARRA

1924 Words
MARRA (PUTRI AURORA/ Sleeping Beauty) Hari sudah mulai gelap dan Mara mulai panik karena kudanya tidak mau masuk lebih dalam lagi kedalam hutan. Seharusnya dia bisa menemukan penginapan murah atau semacamnya di pinggiran kota bukannya malah membuat api unggun di tepian hutan. Bodohnya lagi dia lupa tidak membawa perbekalan apapun untuk mengganjal perutnya yang mulai berisik, seharian berkuda benar-benar bukan pilihan yang cerdas dengan membiarkan perutnya kosong. Mara mulai mempertimbangkan mana yang lebih bodoh, membiarkan dirinya mati kelaparan, atau membiarkan dirinya dinikahi oleh Pangeran Artur. Yang Mara dengar dia bukan pangeran yang buruk, tapi siapa yang belum mendengar kisah tragisnya. Mara tidak bodoh, dia hanya tidak mau menikahi pria yang sedang patah hati dengan wanita lain. Pangeran Artur sebenarnya pangeran dari negeri Utara, pangeran yang banyak dikagumi bukan hanya karena wajah rupawannya, tapi juga karena kebaikan dan kerendahan hatinya yang membuatnya dicintai seluruh rakyatnya. Tapi sayang nasib pernikahannya harus berakhir tragis, konon calon penggantinya mati di tangan saudaranya sendiri. Sampai saat ini begitu banyak berita simpang siur tentang ketegangan hubungan pangeran Artur dan saudara laki-lakinya itu. King Alzov adalah raja yang terkenal dengan kekejamannya, dan tanpa belas kasih. Sebagai anak pertama dialah yang akhirnya berkuasa menggantikan tahta ayahnya sebagai penguasa Nort Kingdom. Meski King Alzov dan pangeran Artur bersaudara namun sifat kakak beradik itu dikenal sangat bertolak belakang, layaknya dua sisi mata uang yang tidak akan pernah bertemu meskipun juga tidak pernah benar-benar dapat terpisahkan. Sejak tragedi itu pangeran Artur memilih pergi ke selatan, meninggalkan negeri kelahirannya untuk mengasingkan diri dan membawa serta seluruh lukanya. Pangeran Artur memilih hidup sendiri di sebuah kastil dengan beberapa pengawal dan tentara yang memilih setia padanya. Mara masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba pangeran Artur ingin menikahinya, dari begitu banyak Putri dari beberapa negeri di selatan kenapa harus Mara yang dia pilih. Gadis itu merasa putus asa dengan nasib buruknya, bukan hanya karena Mara belum pernah mengenal sosok sang Pangeran, karena sebenarnya Mara juga tidak perduli meskipun pangeran Artur terkenal dermawan dan rupawan sekalipun. Mara tidak ingin menikah, apalagi dengan pria yang masih mencintai wanita lain. Meskipun Mara sudah memiliki kuda hitamnya sendiri, tapi sebagai seorang gadis dia masih tetap berharap akan ada seorang pangeran berkuda putih yang datang untuknya. Mara sudah hampir tertidur saat terganggu dengan tingkah kudanya yang gelisah.. "Hole tenanglah," desis Mara yang sudah sigap dengan belati di tangannya, dia coba menenangkan kudanya yang masih berputar-putar mengibaskan ekornya. "Sial, kita terlalu menarik perhatian." Mara masih sibuk memadamkan api unggunnya saat menyadari derap langkah kaki kuda yang semakin mendekat dan sudah sangat terlambat untuk bersembunyi. Sosok besar itu memang seperti tiba-tiba saja muncul dari sisi kegelapan. Marra masih coba menahan sisa nafasnya yang tercekat, dari postur tubuhnya Mara tahu penunggang kuda tersebut adalah seorang laki-laki. Marra hanya tidak tahu apa pisau kecil di tangannya itu mampu untuk membela diri, tapi dia tetap tidak ingin menunjukan rasa takutnya meskipun mungkin itu akan menjadi akhir dari hidupnya. Pria berjubah gelap itu sudah berhenti tepat di depa Mara. "Apa yang kau lakukan di sini? " Mara spontan melangkah mundur, dan masih terkejut, karena suara itu terdengar jelas mengenalinya. "Bagaimana kau bisa tahu?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mara yang masih syok. Mara merasa sudah cukup sempurna dengan penyamarannya, tapi kenapa pria berkuda itu dapat begitu mudah mengenalinya bahkan dalam kegelapan. Seperti ada teka-teki dan kelegaan yang sama sekali tidak bisa disandingkan. Di satu sisi Marra merasa mungkin dirinya tidak akan mati malam ini, tapi jika pria itu ternyata adalah salah satu utusan Raja untuk mencarinya maka seluruh kelegaannya juga akan sia-sia. "Lihat kudamu, sepertinya dia lebih mengenaliku," kata pria itu sebelum melompat turun dari kudanya dan Marra masih tercekat tak bergeming saat pria tak asing itu mulai berjalan mendekatinya. Marra jelas mengenali suara tersebut dan segera berpikir cepat untuk mengingat ___"dia seorang pemburu"___ Mara yakin karena mereka memang pernah bertemu beberapa kali sebelummya, dia hanya tidak menyangka jika seorang pemburu juga akan tidur di hutan. "Untuk apa kau ada di hutan?" tanya pemuda itu setelah lebih dekat dan membuka tudung kepalanya. "Sepertinya itu bukan urusanmu, kau sendiri memangnya apa yang kau lakukan? "Mara malah balik bertanya. "Karena aku tidak ingin orang-orang menangkapku." "Menangkap mu !!!" Mara menyipitkan matanya karena kembali terkejut, "memangnya apa yang kau lakukan?" "Kau pikir untuk apa aku ingin bersembunyi di hutan?" tanya pemuda itu penuh teka-teki. Otak Mara seperti perputar lebih cepat dari gasing, Oh... Itu sangat jelas. "Kau mencuri!!! " tebak Mara sepontan, menunggu reaksi pemuda tersebut yang justru nampak tidak terganggu sama sekali dengan pendapatnya.. Sepertinya tebakannya benar.... Karena rasanya memang tidak mungkin jika pemuda itu juga kabur kehutan untuk menghindari perjodohan seperti dirinya. Marra hanya tidak percaya jika pemuda baik hati yang pernah menyematkan kudanya saat terperosok kedalam lumpur beberapa bulan lalu itu ternyata adalah seorang pencuri! insting Mara yang cukup waspada bereaksi spontan untuk mengambil jarak. "Kenapa kau takut padaku? aku pencuri bukan penculik atau pemerkosa." Dengan santai pemuda itu kembali berjalan mendekati kudanya dan menurunkan beberapa barang dengan suara berdebum di atas tanah. "Apa yang kau lakukan? " Mara merasa seperti mengulang -ngulang pertanyaan yang sama. Pemuda itu kembali berjalan mendekatinya. "Aku bisa menemanimu, dan sepertinya aku tidak perlu membuat api unggun lagi." Pemuda itu berjalan melewati Mara begitu saja kemudian menjatuhkan kembali barang bawaannya yang sepertinya lumayan berat itu di dekat api unggunya yang hampir padam. Dia berusaha kembali menghidupkan api tersebut dengan beberapa ranting kering yang tadi sudah disiapkan Mara. Sementara Mara sendiri masih berdiri dan bingung kenapa tiba-tiba dirinya harus berada di dalam hutan bersama seorang pemuda yang baru dia tahu ternyata dia seorang pencuri. "Kenapa tidak kau buat api unggunmu sendiri saja! " "Aku sudah terlalu lelah sebaiknya aku tidur dari pada harus membuat api lagi." Pemuda itu melihat Mara dan hampir tersenyum,"Tenang saja aku tidak akan mengganggumu, bukankah kita juga sudah pernah bermalam sebelumnya." Pemuda itu pura-pura memperhatikannya dengan dahi berkerut, "jangan bilang kali ini kau tersesat lagi," tebaknya seperti sengaja mengejek Mara. Mara merasa akan kehabisan energi jika harus mendebatnya. "Terserah kau saja jika kau hanya ingin tidur sebaiknya cepatlah tidur," dengus Mara kesal saat kembali memasang sarung belatinya, gadis itu kembali menyelipkannya di pinggang sebelah kanan, sekedar untuk berjaga-jaga "ingat bagaimanapun dia pencuri." "Terimakasih," pemuda itu kembali tersenyum dan rasanya agak mengganggu bagi Mara. Mara sengaja mengambil jarak sejauh mungkin saat duduk. "Kau mau?" Pemuda itu mengelurka beberapa roti dari bungkusan di sampingnya. Mara masih menatapnya ragu. "Kau tidak perlu khawatir, aku membelinya dari hasil menukar hewan buruan bukan mencuri." Sebenarnya hal itu tidak terlalu masalah bagi Mara karena dia tahu perutnya sudah sangat menginginkannya. Marra hanya tidak terbiasa menerima makanan dari orang asing. "Terimakasih," tapi kali ini dia terpaksa, Mara segera menyambut pemberian pemuda itu dan langsung menggigitnya. Tidak biasanya hanya sebuah roti bisa terasa begitu lejat bagi Mara yang masih sibuk mengunyah dengan cepat. "Kau bisa ambil lagi jika kau suka." Pemuda itu coba menawarkan jatahnya. Jujur Mara masih sangat lapar tapi rasanya sangat tidak sopan. "Sebenarnya aku tadi sudah makan," kata pemuda itu cukup bermurah hati. Dengan mengabaikan rasa malunya ternyata Mara benar-benar menghabiskan roti tersebut. "Kau mau minum?" Pemuda itu kembali menyodorkan botol minumnya, bahkan Mara menyambarnya tanpa perlu menoleh lagi. "Kenapa kau mencuri? " tiba-tiba Mara bertanya, "kupikir kau pemuda yang baik." "Namaku Theo apa kau lupa?" koreksi pemuda itu karena sejak tadi Marra sama sekali tidak menyebut namanya. Jujur gadis itu memang tidak terlalu peduli untuk mengingatnya tapi kali ini Mara benar-benar mulai memperhatikan pemuda di depannya. "Ok, Theo" ulang Mara, "kenapa kau mencuri? " "Kadang hidup tidak mudah, dan tiap orang pasti punya alasannya masing-masing," sepertinya pemuda itu sengaja memilih jawaban singkat untuk membuat Marra diam. "Ok, jika kau tidak ingin orang lain tahu alasanmu," tiba-tiba Mara merasa Theo benar, tidak semua orang harus mengatakan alasannya, sama seperti halnya bagaimana tiba-tiba dirinya ada di tempat seperti ini. "Sorry, kau memang tidak harus mengatakan apapun," Mara coba mengabaikannya. "Terimakasih makanannya" tutup Mara, berusaha mengakhiri obrolan. Theo masih memperhatikan saat gadis itu mengembalikan botol minumnya, Theo meraih botol minum tersebut dengan tangan kirinya, kemudian kembali membenahi api unggun mereka agar tetap menyala. Jika mengabaikan perasaan kesalnya sebenarnya Mara masih berpikir dia tetap pemuda yang baik batin Mara. Malam semakin larut, selanjutnya hanya tinggal suara-suara serangga dan lolongan binatang malam yang mengisi kebisuan mereka. Rasanya masih sangat aneh bagi Marra meskipun ini bukan kali pertama mereka terpaksa bermalam bersama di hutan, sesekali mereka hanya saling melihat di antara remang cahaya api unggun yang ikut menghangatkan wajah mereka berdua dalam kecanggungan. "Sebenarnya aku menyukai seorang gadis," tiba tiba pemuda itu lebih dulu membuka pembicaraan. "Maksudmu kau mencuri untuk seorang gadis?" tebak Mara, klise. "Sepertinya begitu," Theo mengangguk dan tersenyum. Mara masih tak habis pikir, Theo pemuda yang baik dan tidak terlalu buruk, jika boleh jujur dia tampan sangat tampan mungkin, "Kau bisa mendapatkan gadis manapun tanpa harus mencuri." "Mungkin, tapi bagaimana jika yang kuinginkan bukan gadis biasa." Dahi Mara mulai berkerut dalam,"Keluarganya kaya menurutmu? " oh, tragis sekali batin Mara jika itu benar. "Bukan hanya itu, dia juga seorang Putri." Mara yang seperti tersendak, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya. "Kupikir kau pintar," koreksi Marra masih sambil berdiri di depan Theo. "Kau mengumpulkan harta curian untuk melamar seorang Putri! Itu sangat bodoh!!!" "Jatuh Cinta kadang memang membuat orang bodoh Mara," jawab Theo yang hanya mendongak santai dari tempat duduknya. "Itu menggelikan," tepis Mara, tapi di lain sisi tiba-tiba Mara justru mulai berpikir "beruntung sekali putri tersebut," yang jelas dirinya tidak seberuntung itu, Mara hanya menggigit bibir bawahnya saat kembali duduk dan masih memperhatikan Theo. Mara hanya tidak percaya saat memperhatikan wajah pemuda di depannya itu, karena dia nampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Maaf aku hanya berpikir tidak ada seorang Putri yang ingin hidup dengan harta curian," Mara hanya coba mengingatkannya pada realita. "Mungkin kau benar, seorang Putri pasti masih menginginkan pangeran berkuda putih." Sungguh konyol, karena Mara merasa seperti diingatkan kembali pada kenaifannya sendiri. Meski Mara sadar pangeran berkuda putih hanya dongeng dan lelucon belaka, tapi apa salahnya jika kadang dirinya juga masih suka berkhayal. "Aku yakin Putri yang baik itu akan bisa mendengar ketulusanmu." "Putri yang baik," ulang Theo ..."kuharap kau benar." Entah kenapa suasana tiba-tiba menjadi agak mengharukan. "Snow tenanglah," Theo coba menegur kudanya yang mulai gelisah. "Namanya Snow? " tanya Mara heran, dan Theo hanya mengangguk. "Kau memberi nama snow pada kudamu yang berwarna hitam?" koreksi Mara, dia benar-benar tidak habis pikir. "Memangnya apa nama kudamu? " Theo balik bertanya. "Di Hole," sambil menunjuk kudanya "Hole dari black hole," tambah Mara begitu bangga dengan nama kudanya. Mara kembali memperhatikan pemuda di depannya, "Tunggu, biar kutebak,"jeda Mara, "Snow, dari Snow White? " Itu sangat menggelikan tapi anehnya Theo nampak masih cukup percaya diri, meskipun Mara yakin dia benar, "Itu konyol! " tegas Mara. Justru Theo tertawa, "Jangan-jangan aku masih bermimpi bisa menemukan seorang Putri di tengah hutan." Mara kembali tersendak, dan Theo kembali mengulurkan botol minumnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Sepertinya aku kembali membuatmu tersendak dua kali hari ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD