“Den Atlantis, tolong nikahi Ayana putri saya, sekarang juga! Nyawa keluarga kami terancam karena rumah kami saja sudah dibakar!”
“A—Ayana bahkan sudah di ... lecehkan.”
“Selanjutnya karena Den Atlantis juga akan menikahi Non Riana. Den Atlantis boleh langsung menceraikan Ayana!”
“Asal orang-orang tahu, bahwa Ayana sudah menikah!”
“Pernikahan kalian tidak lebih dari formalitas sekaligus rahasia, Den. Kondisi ini sangat diharuskan agar Ayana selamat dari serangan ibu camat!”
“Ayana harus melawan ibu camat, yang sebelumnya sudah menginjak-injak kami, hanya karena kami miskin, Den!” ucap pak Supri sembari berlutut di hadapan bosnya dalam kondisi terluka parah.
Demi menyelamatkan harga diri putrinya berikut nama baik keluarganya. Pak Supri memang langsung meminta bantuan sang bos. Kebetulan, Atlantis bermalam di hotel tak jauh dari desa pak Supri tinggal. Keputusan tersebut diambil agar selain Atlantis bisa istirahat dengan leluasa di hotel, pak Supri juga bisa mengunjungi anak dan istrinya. Atlantis memberi reward tersebut, tak semata karena lokasi pekerjaan mereka tidak begitu jauh dari rumah pak Supri. Melainkan karena pak Supri, bukan orang asing untuknya, maupun keluarga besarnya.
Pak Supri sudah mengabdi kepada Atlantis sekeluarga, sejak Atlantis masih TK. Jadi, ketika pria itu sedang ada kesulitan layaknya sekarang, tak mungkin Atlantis tinggal diam. Masalahnya, yang pak Supri minta itu pernikahan. Atlantis diminta menikahi putri pak Supri yang bernama Ayana Ayunda. Nyawa Pak Supri sekeluarga, apalagi nyawa Ayana, terancam oleh orang yang pak Supri sebut ibu camat.
“Dua bulan lagi, aku dan Riana akan menikah,” pikir Atlantis. Akan tetapi renungan yang dirinya alami langsung buyar, ketika dirinya disodori sebuah ponsel oleh pak Supri.
“Ini ponsel siapa, Pak?” sergah Atlantis masih bertahan berdiri di belakang pintu kamar hotel dirinya menginap.
“Pelaku yang sudah melecehkan Ayana, hingga warga mengira justru saya yang melakukannya ke Ayana, dan—” Tak kuasa menjelaskan, pak Supri berakhir tersedu-sedu.
Menyaksikan itu, d**a Atlantis langsung ikut sesak lantaran kesedihan pak Supri, langsung menular kepadanya.
“Saya yakin, ponsel tersebut merupakan ponsel salah satu pelaku, seperti penjelasan Ayana. Di ponsel tersebut saja ada rekaman ketika Ayana mereka sekap kemudian lecehkan!”
“Saya mohon, Den. Kali ini saja, tolong bantu saya. Hanya pernikahan formalitas dan saya akan merahasiakannya. Ini memang terbilang gila, tapi—”
“Ayo, Pak! Kita usut semuanya sampai tuntas!” sergah Atlantis belum apa-apa sudah emosi.
“Sampah-sampah seperti mereka, memang sudah seharusnya dimusnahkan!”
Mendengar penjelasan dari sang majikan, pak Supri langsung merasa sangat lega. Meraung-raung dirinya refleks bersimpuh kepada bosnya itu. Sambil mengucapkan terima kasih, pak Supri juga nyaris mencium kedu kaki Atlantis. Namun dengan segera, bosnya yang bertampang rupawan itu menghentikannya.
•••
Sementara itu, di tempat berbeda. Ayana masih terdiam di antara sunyi yang memeluknya dengan kepedihan. Sebab pelecehan yang dirinya alami, tapi membuat warga berpikir dirinya justru melakukan zina dengan bapaknya sendiri, menjadi mimpi buruk yang sulit Ayana sudahi.
Di lantai dirinya sempat didekap sang bapak, tak lama setelah dilecehkan tiga orang suruhan ibu camat. Ayana masih duduk loyo. Suara tangis sang ibu yang terdengar begitu pilu, masih terdengar dari luar sana.
“Ibu percaya bahwa aku dan bapak, baru saja melakukan zina ... sakit banget ya Allah. Sekarang bapak pergi entah ke mana.”
“Warga terus menggunjing kami.”
“Sementara ibu bilang, lebih baik dia mati.”
“Ingin rasanya aku balas dendam kepada ibu Sharmila. Namun kondisiku yang sekarang dan telanjur dianggap bobrok ... aku tidak punya alasan untuk melakukannya.”
“Diam begini salah, maju lebih salah lagi.”
Air mata Ayana sudah kering. Dirinya jelas korban, tapi dirinya juga yang dijadikan tersangka.
Suara langkah dari luar dan terbilang cepat, membuat Ayana terjaga. Ternyata itu sang ibu. Tangan kanan ibu Lastri memegang pisau dapur. Dari tampangnya, ibu Lastri yang berlinang air mata, tampak dalam emosi yang kurang baik. Mendapati kondisi tersebut, perasaan Ayana yang sudah tak karuan, jadi makin tak karuan. Sudah jelas, beban hidupnya akan makin bertambah karena ibunya pasti akan membuatnya menghadapi pilihan pelik.
Pisau dapur di tangan kanannya, ibu Lastri lempar ke hadapan Ayana. “Bunuh Ibu, atau bunuh diri kamu dulu!”
Rasa ngilu seketika menguasai d**a Ayana atas pilihan yang baru saja ibunya berikan. Ayana refleks terkesiap, menatap sang ibu dengan air mata yang kembali berlinang. Iya, air mata yang sebelumnya Ayana yakini sudah kering, kini kembali berlinang karena pilihan pelik pemberian ibunya.
“Hidupku terlalu berharga jika hanya karena ini, aku harus mati, Bu,” lirih Ayana yang kemudian menunduk dalam.
“Hidupmu terlalu berharga menurutmu? Jadi, kamu lebih memilih Ibu yang mati, ketimbang kamu, supaya kamu bisa bebas dengan bapakmu, begitu, Ayana?!”
“Istighfar, Bu! Apa yang terjadi, tidak seperti yang Ibu pikirkan!” ucap Ayana kali ini refleks berseru.
Setelah sampai kembali menengadah, tamparan panas, Ayana dapatkan di pipinya dari sang ibu. Ayana berakhir terbanting ke lantai.
“Kenapa harus bapakmu, Ayana? Kenapa dari sekian banyak laki-laki, kenapa kamu justru dengan bapakmu sendiri?!” ibu Lastri meraung-raung. Dirinya tetap tak percaya bahwa yang anak dan suaminya alami, tak lebih dari fitnah keji.
Kini, ibu Lastri yang merasa putus asa, segera mengambil pisau dapur dan awalnya ia harapkan diambil sang putri. Ibu Lastri hendak menusukkan pisau tersebut ke perutnya sendiri. Namun dengan segera, sang putri menghalang-halangi. Tetesan darah segar mengalir dari genggaman tangan kanan Ayana terhadap pisau dapur yang dipegang ibu Lastri.
Dengan mata yang kembali bertatapan, sementara mulut sama-sama bungkam, ibu Lastri makin tak karuan. Di lain sisi, putrinya terluka karenanya. Namun di sisi lainnya lagi, putrinya telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan fatal yang buktinya sudah ibu Lastri lihat dengan kepala dan matanya sendiri, tetapi baik Ayana maupun pak Supri menyebutnya sebagai fitnah keji.
“Jika di kehidupan ini aku tetap tidak bisa membuktikan, bahwa apa yang Ibu dan warga permasalahkan tak lebih dari fitnah keji. Aku percaya, di kehidupan selanjutnya, Allah sendiri yang akan membuktikannya, Bu!” lirih Ayana benar-benar berat.
Ayana tak akan menyalahkan keyakinan sang ibu yang tetap tidak bisa mempercayainya. Sebab kondisi Ayana dan sang bapak beberapa jam lalu, memang sangat meyakinkan. Meyakinkan bahwa Ayana dan pak Supir, bapaknya sendiri, baru melakukan zina.
Di waktu yang baru memasuki subuh, Ayana mengambil pisau dari tangan sang ibu. Rasa perih di telapak tangan kanannya, tak ada apa-apanya dengan rasa perih yang menguasai d**a dan terus menyebar menguasai sekujur tubuhnya.
Suara beberapa motor terdengar mendekati halaman rumah mereka di antara adzan subuh yang tengah berkumandang. Baik Ayana maupun sang ibu yang masih ada di kamar Ayana, kompak diam saling memunggungi. Namun ketika suara Aishar terdengar memanggil-manggil Ayana, ibu Lastri segera beranjak.
“Jika mas Aishar masih mau menikah dengan kamu, terima saja. Lupakan bapakmu karena kalian tak seharusnya berhubungan. Bertobatlah!” sergah ibu Lastri sambil menatap tajam Ayana. Dirasanya, menikahkan Ayana dengan pria mana pun, menjadi satu-satunya pilihan agar putrinya berhenti menjalin hubungan terlarang dengan sang bapak.