“Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Jika Ayana berani melawan saya dalam acara lamaran Aishar nanti sore? Jangan ragu untuk bertindak!”
Tatapan tajam Ibu Sharmila mengarah ke tiga pria di hadapannya. Di ruang kerja rumah dinasnya, pertemuan rahasia itu berlangsung dalam diam yang mencekam.
“Buat dia malu. Hancurkan reputasinya. Pastikan tak ada pria, termasuk Aishar, yang mau menikahinya setelah hari ini. Dan ingat, ... jangan sampai nama baik saya ikut tercemar!”
Ketiga pria itu mengangguk paham. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi, dan perintah itu bukan sekadar ancaman.
---
Satu jam kemudian
“Maaf ya, Ayana. Meski kamu sekarang sarjana. Statusmu tetap tidak berubah. Kamu anak pembantu dan sopir. Sampai kapan pun, saya tidak akan rela jika putra saya menikah dengan kamu,” kata Ibu Sharmila dengan nada halus tapi menusuk.
Ayana menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Bukan karena terkejut, tapi lebih karena menahan perih. Di hadapannya, seorang camat terhormat—dan juga calon ibu mertuanya—baru saja merendahkan keluarganya tanpa ragu.
“Coba sekarang katakan, Bu. Berapa harga mulut Anda? Saya ingin membelinya. Agar saya bisa pastikan, mulut Anda tak sembarangan menghina orang lagi!” ucap Ayana yang langsung dihadiahi tamparan panas di pipi kirinya, oleh ibu Sharmila.
Suasana di ruang tamu sederhana kediaman orang tua Ayana, seketika membeku. Tamparan dari Ibu Sharmila langsung mendarat di pipi Ayana, menggetarkan suasana yang sudah panas sejak awal. Semua mata membelalak, termasuk Aishar, Pak Dermawan, tiga ajudan, dan orang tua Ayana sendiri. Tak ada yang menyangka Ayana akan melawan sedemikian rupa.
“Ayana, cukup!” Aishar mencoba menghentikan pertikaian. Wajahnya gelisah, bingung harus memihak siapa.
Namun Ibu Sharmila tak memberi Aishar pilihan. Ibu Sharmila langsung menarik lengan kanan putranya yang baru akan maju menghampiri Ayana. “Kalau kamu tidak pergi dari sini sekarang, kamu Mama coret dari kartu keluarga!”
Mendengar ancaman sang mama, Aishar terdiam. Matanya penuh luka, tetapi ancaman mamanya teramat menyesakkan untuknya.
“Percuma kamu kuliah tinggi-tinggi, kalau otakmu tetap rendah, Ayana. Sama seperti pekerjaan orang tuamu yang cuma babu,” cibir Ibu Sharmila lagi, kali ini lebih kasar.
Ayana tersenyum getir. “Ibu Camat yang selama ini disanjung-sanjung orang, ternyata bisa juga merendahkan martabat orang lain! Saya ingatkan, Bu. Orang tua saya memang bukan siapa-siapa, tapi mereka tak pernah menghina orang seenaknya.”
“Kamu benar-benar keterlaluan, Ayana!” Ibu Sharmila mendorong hidangan di meja hingga berantakan.
Ketika semua orang membeku karena terkejut pada ulah ibu Sharmila. Ayana tetap berdiri tegak. Bahkan saat wajahnya diludahi oleh sang camat, Ayana tak gentar. Ia maju selangkah, lalu membanting tubuh Ibu Sharmila ke lantai dengan satu dorongan cepat.
Tiga ajudan Ibu Sharmila terperangah. Pak Dermawan, suami sang camat, juga tak berani bersuara. Sementara Aishar, pemuda tampan itu makin dilema. Sebab alih-alih akur, keputusan Ayana terus melawan ibu Sharmila justru menciptakan jurang pemisah nyata untuk hubungan mereka.
Ibu Sharmila jatuh terduduk di lantai. Matanya melotot tidak percaya, bahwa dirinya dipermalukan di depan umum oleh seorang gadis desa yang selama ini dirinya anggap tak berharga.
“Dia anak pembantu rendahan, tapi dia berani melawanku sedemikian rupa?” batin Ibu Sharmila masih tak percaya. Gigi-giginya kian bertautan akibat emosi yang ditahan.
“Ayana, ayo minta maaf!”
Suara panik Ibu Lastri memecah ketegangan. Wanita yang merupakan ibu dari Ayana itu, bergegas menunduk, bersimpuh di hadapan Ibu Sharmila. “Maafkan anak saya, Bu. Dia hanya terbawa emosi. Saya mohon dengan sangat, tolong maafkan Ayana.”
Pak Supri, ayah Ayana, ikut menunduk dengan wajah pucat pasi.
Namun, Ayana tetap berdiri tegak, meski hatinya remuk. Ayana tetap dengan keputusannya untuk tidak pernah tunduk kepada manusia seperti ibu Sharmila.
“Bangun, Bu! Pak! Jangan rendahkan diri kalian hanya demi orang seperti dia. Kita hidup bukan dari belas kasihan siapa pun, apalagi belas kasihan dia!” seru Ayana, mencoba menarik ibunya berdiri.
Namun orang tua Ayana justru menariknya untuk ikut berlutut. Ayana jatuh tengkurap sejenak, tapi cepat-cepat ia bangkit kembali.
Tatapan tajam Ayana tetap menatap wanita yang tadi meludahi wajahnya. “Saya tidak akan minta maaf. Tidak hari ini. Tidak selamanya. Jika karena ini saya harus kehilangan Aishar, biar saya yang pergi.”
“Ayana!” seru Aishar, panik. Namun Ayana sudah tak lagi peduli.
Ayana menoleh ke arah pria yang semula sempat ia jadikan masa depannya. “Kamu diam saja dari tadi, Mas! Bahkan ketika ibumu menginjak harga diri keluargaku. Bagiku, itu sudah cukup menjadi jawaban. Bahwa pria sepertimu tak sepantasnya aku perjuangkan!”
“Ayana, aku mohon—” suara Aishar tercekat, tapi Ayana tidak memberinya ruang. Ayana telanjur kecewa kepada pria yang mengaku sangat mencintainya, tapi hanya diam saja ketika Ayana sekeluarga diinjak-injak tanpa jeda.
“Ibu Sharmila, Anda boleh membenci saya. Anda bahkan boleh hina saya sepuasnya. Namun satu hal yang pasti—saya tidak akan tunduk maupun minta maaf kepada Anda!”
“Ingat ini baik-baik ... Hidup saya, tidak akan berhenti hanya karena Aishar tidak menikahi saya!”
Mendengar itu, emosi ibu Sharmila langsung tersulut. Gigi-gigi ibu Sharmila jadi bergeretak akibat emosinya. Sampai detik ini, dirinya masih ditopang oleh suami dan anaknya. “Ingat ini baik-baik, Ayana. Tak ada pria waras yang akan menikahi perempuan sepertimu. Bahkan laki-laki rendahan pun pasti tidak sudi!”
Ayana tersenyum tipis. “Saya memang miskin. Tapi saya mahal. Terlalu mahal untuk orang-orang yang mengukur segalanya dari harta seperti kalian!”
“Cukup jaga Aishar baik-baik saja. Karena saya tidak mau Aishar gila hanya karena tidak bisa menikah dengan saya!” Senyum kemenangan di wajah Ayana makin tegas saja. Bersamaan dengan itu, dirinya bersedekap. Namun di hadapannya, Aishar tampak tercengang bahkan hancur. Tatapan Aishar yang jadi basah memelas kepadanya, tidak bisa berbohong.
“Salah siapa kamu hanya diam, Mas. Jadi laki-laki enggak ada tegas-tegasnya. Belum menikah saja, kamu abai ke aku. Apa kabar kalau kita jadi menikah? Kamu dan ibumu pasti akan menerapkan kehidupan patiarki kepadaku!" batin Ayana
Ayana balik badan, melangkah meninggalkan ruang tamu yang kini penuh keheningan. Tak ada yang berani menahan. Bahkan Ibu Lastri dan Pak Supri hanya bisa menangis, menyaksikan putri mereka pergi dengan kepala tegak.
Petang menjelang malam itu, lamaran yang seharusnya menjadi awal bahagia ... berubah menjadi akhir dari hubungan Ayana dan Aishar, calon suaminya.