Laura menatap pria di depannya dengan penuh rasa canggung. Mereka duduk di sebuah restoran bintang lima yang begitu megah, tempat yang sama sekali tidak pernah terbayangkan akan ia kunjungi. Suasana mewah dengan lantai marmer mengilap, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan pelayan berseragam rapi membuatnya semakin merasa tidak pada tempatnya.
Pakaian Laura yang lusuh dan rambutnya yang sedikit berantakan menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung restoran. Ia bahkan merasa beberapa dari mereka memandanginya dengan tatapan merendahkan. Tapi bukan itu yang paling membuatnya merasa tidak nyaman—melainkan pria yang duduk di depannya.
Regantara Gaviano, pria yang menawarkan pernikahan kontrak, kini menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi. Mata tajam pria itu menelusuri dirinya dari ujung kepala hingga kaki, seperti sedang menilai barang dagangan. Laura tahu, dirinya tidak terlihat seperti seseorang yang pantas berada di sini. Tadi, ia datang dengan sepeda bututnya, mengayuh sepanjang jalan di bawah terik matahari hingga tubuhnya basah oleh keringat. Berkali-kali ia menyeka peluh di dahinya dengan punggung tangan sebelum memasuki restoran ini.
Regan menaikkan sebelah alis, mengamati Laura tanpa rasa simpati sedikit pun. Meski pakaian wanita itu lusuh, ia tidak bisa mengabaikan satu fakta: Laura Aphrodite, sesuai dengan namanya, memang memiliki kecantikan alami. Wajahnya yang polos tanpa riasan, meski terlihat lelah, tetap memancarkan pesona yang sulit diabaikan. Regan bahkan sempat membandingkannya dengan Aphrodite, dewi kecantikan dalam mitologi Yunani.
Regan akhirnya melipat kedua tangannya di depan d**a, menatap Laura dengan dingin sebelum mulai berbicara. “Aku akan langsung ke intinya,” katanya dengan nada datar yang membuat Laura semakin gugup. “Pernikahan kontrak ini bukan sekadar untuk menyenangkan ibuku.”
Laura menelan ludah, matanya menatap Regan penuh tanya. “Maksud Anda apa?” tanyanya pelan.
Regan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya semakin tajam. “Aku ingin seorang anak. Itu tujuan utama pernikahan ini.”
Kalimat itu menghantam Laura seperti petir di siang bolong. Ia menatap Regan dengan mata membelalak, pikirannya kosong sesaat. “Anak?” ulangnya terbata-bata, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Regan mengangguk ringan, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi. “Ya. Aku butuh penerus untuk keluargaku. Dan kamu,” ia menunjuk ke arah Laura dengan dagunya, “akan menjadi ibu dari anak itu.”
Laura menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran ini sudah cukup gila sejak awal, tapi sekarang? Melahirkan seorang anak dari pria asing?
“Tunggu,” suaranya bergetar. “Kalau… kalau begitu, apakah itu berarti…”
Regan menyeringai tipis, ekspresinya dingin namun menusuk. “Ya, tentu saja kita harus berhubungan seperti suami istri.”
Laura terhenyak, tubuhnya menegang. Kata-kata Regan begitu terang-terangan, tanpa ada sedikit pun rasa malu atau basa-basi.
“Tapi setelah aku mendapatkan anak yang kuinginkan,” lanjut Regan dengan nada santai, “aku akan menceraikanmu. Dan, sesuai kesepakatan, kamu akan mendapatkan uangmu. 500 juta rupiah, plus bonus tambahan yang cukup untuk membuatmu hidup nyaman seumur hidup.”
Laura merasa tubuhnya melemas. Tawaran itu terlalu besar, terlalu menggoda untuk diabaikan begitu saja. Dengan uang sebanyak itu, ia tidak hanya bisa melunasi hutang ayahnya, tetapi juga memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
Namun, harga yang harus ia bayar terasa terlalu mahal. Ia harus menikah dengan pria ini, menyerahkan dirinya, dan melahirkan anaknya—semua hanya untuk uang.
Laura menatap Regan dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keraguan. “Kenapa saya? Kenapa bukan wanita lain? Anda pasti bisa mendapatkan siapa saja yang Anda mau.”
Regan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya masih terlipat di depan d**a. “Aku tidak ingin melibatkan wanita yang akan membuat hidupku semakin rumit. Aku membutuhkan seseorang yang sederhana, yang tidak punya koneksi kuat, dan tidak akan menyulitkanku setelah kontrak selesai. Kamu adalah pilihan yang paling logis.”
Kata-kata itu menusuk hati Laura, membuatnya merasa seperti tidak lebih dari sebuah alat. Tapi di sisi lain, ia tahu Regan tidak salah. Ia memang bukan siapa-siapa, dan itulah alasan utama pria ini memilihnya.
“Apa Anda tidak pernah berpikir tentang bagaimana ini akan memengaruhi saya?” tanya Laura pelan, hampir seperti bisikan.
Regan mengangkat bahu, ekspresinya tetap dingin. “Aku tidak peduli. Ini hanya bisnis. Kau butuh uang, aku butuh seorang anak. Kita saling menguntungkan.”
Laura terdiam, menunduk menatap tangannya yang gemetar di atas meja. Kepalanya terasa penuh, pikirannya kacau. Bagian dari dirinya ingin menolak tawaran ini mentah-mentah, tapi bagian lain tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Ayahnya membutuhkan uang itu. Hutang mereka harus dilunasi secepat mungkin, atau mereka akan kehilangan segalanya.
Regan menatap Laura dengan penuh keyakinan, seolah sudah tahu jawaban apa yang akan ia dengar. “Kau tidak punya banyak waktu,” katanya. “Aku butuh jawabanmu sekarang. Ya atau tidak?”
Laura menatap Regan dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya terus berperang, tapi ia tahu waktu terus berjalan. Pilihan apa yang sebenarnya ia miliki?